Senin, 30 April 2012

Tanam Paksa Dan Politik Etis

Berahirnya perang Diponegoro (De Java Oorlog/Perang Jawa 1825-1830 ) membawa malapetaka besar untuk penduduk Jawa khususnya Mancanegara kilen yaitu Kedoe (Kedu) dan Banjoemas (Banyumas), wilayah ini jatuh ke tangan Belanda dari kekuasaan Kasultanan Surakarta sebagai ganti atas biaya kekalahan perang. Ini berlaku di seluruh tanah Jawa dan beberapa di luar pulau Jawa. Setelah jatuh ke tangan Belanda wilayah-wilayah tersebut tidak lagi berada di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan yang tersebar di seluruh tanah Jawa. Namun di bagi menjadi beberapa Propinsi - Karsidenan - Kabupaten - Distrik untuk mengakomodasi kepentingan Belanda dalam mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia.

Campur tangan pemerintah Belanda dalam menjalankan kekuasaannya sangat terlihat sampai dengan wilayah Kabupaten dimana Residen (orang Belanda) juga melakukan tugas monitoring langsung dengan menunjuk seorang asisten Residen di setiap kabupaten untuk bekerja selevel dengan Regent (Bupati).

Banjoemas Heritage
Graaf Johannes van den Bosch, pelopor Cultuurstelsel

Cultuurstelsel
Cultuurstelsel adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor yang memang sangat di butuhkan pasar dunia, khususnya kopi, teh, tembakau, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Banjoemas Heritage
Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) logo

Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah Belanda. Dan menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa. Badan operasional sistem tanam paksa dipegang oleh Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) yang merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut. Dan aset tanam paksa memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
Cultuurstelsel di Banjoemas (Banyumas)


Bencana Kelaparan.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras dan berbagai bahan pangan semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850.

Berakhirnya Cultuurstelsel
Serangan-serangan dari orang-orang non-pemerintah mulai menggencar akibat terjadinya kelaparan dan kemiskinan yang terjadi menjelang akhir 1840-an di Grobogan,Demak,Cirebon. Gejala kelaparan ini diangkat ke permukaan dan dijadikan isu bahwa pemerintah telah melakukan eksploitasi yang berlebihan terhadap bumiputra Jawa.

Banjoemas Heritage
Agrarische Wet 1870 (Undang-undang Agraria 1870)

Undang-undang Agraria 1870
Yang bahasa belanda adalah Agrarische Wet 1870 diberlakukan pada tahun 1870 oleh Engelbertus de Waal (menteri jajahan) sebagai reaksi atas kebijakan pemerintah Hindia-Belanda di Jawa yang di pelopori oleh kaum Liberal. Latar belakang dikeluarkannya Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) antara lain karena kesewenangan pemerintah mengambil alih tanah rakyat. Politikus liberal yang saat itu berkuasa di Belanda tidak setuju dengan Tanam Paksa di Jawa dan ingin membantu penduduk Jawa sambil sekaligus keuntungan ekonomi dari tanah jajahan dengan mengizinkan berdirinya sejumlah perusahaan swasta. UU Agraria memastikan bahwa kepemilikan tanah di Jawa tercatat. Tanah penduduk dijamin sementara tanah tak bertuan dalam sewaan dapat diserahkan. UU ini dapat dikatakan mengawali berdirinya sejumlah perusahaan swasta di Hindia-Belanda.

Banjoemas Heritage
Buku Max Havelaar (1860) karya Douwes Dekker (Multatuli)

Banjoemas Heritage
Eduard Douwes Dekker (Multatuli)

Sedangkan kaum Humanis mengeluarkan beberapa karya sastra diantaranya adalah yang terkenal dengan buku Max Havelaar (1860) karya Douwes Dekker yang menggunakan nama samaran Multatuli. Dalam buku itu diceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat tekanan pejabat Hindia Belanda. Eduard Douwes Dekker adalah seorang Asisten Residen di Lebak, Banten. Seorang wartawan Raad van Indie, C. Th van Deventer membuat tulisan berjudul Een Eereschuld, yang membeberkan kemiskinan di tanah jajahan Hindia-Belanda. Tulisan ini dimuat dalam majalah De Gids yang terbit tahun 1899. Van Deventer dalam bukunya menghimbau kepada Pemerintah Belanda, agar memperhatikan penghidupan rakyat di tanah jajahannya. Dasar pemikiran van Deventer ini kemudian berkembang menjadi Politik Etis.

Politik Etis
Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa.

Banjoemas Heritage
Conrad Theodore van Deventer

Banjoemas Heritage
Peter Brooshoft

Banjoemas Heritage
Wolter Robert baron van Hoëvell

Munculnya kaum Etis yang di pelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para pribumi yang terbelakang. Wolter Robert baron van Hoëvell seorang negarawan dan pendeta ini pada tahun 1848, ia menggalang demonstrasi di Batavia, dan mengajukan petisi untuk kebebasan pers, pembentukan sekolah-sekolah di daerah koloni (dalam hal ini di Jawa) dan perwakilan Hindia Belanda di Tweede Kamer.

Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van Deventer yang meliputi:
  • Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian.
  • Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi.
  • Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan.
Banyak pihak menghubungkan kebijakan baru politik Belanda ini dengan pemikiran dan tulisan-tulsian Van Deventer yang diterbitkan beberapa waktu sebelumnya, sehingga Van Deventer kemudian dikenal sebagai pencetus politik etis ini.

Kebijakan pertama dan kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun irigasi untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan dengan memindahkan penduduk ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi. Hanya pendidikan yang berarti bagi bangsa Indonesia.

Banjoemas Heritage
DOOR DUISTERNIS TOT LICHT, buku karya Mr. J.H. Abendanon
yang berisi surat-surat R.A. Kartini yang di kirimkan kepadanya.

Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan sekali dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Salah seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H. Abendanon (1852-1925) yang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.

Mr. J.H. Abendanon (1852-1925) adalah yang merangkum semua surat RA. Kartini menjadi sebuah buku “DOOR DUISTERNIS TOT LICHT” (Habis Gelap Terbitlah Terang) dan merupakan teman dekat Snouck Hurgronje (Abdul Ghaffar) seorang teologi ahli sastra Arab. R.A. Kartini terlalu kritis untuk pemerintah Belanda apalagi sebagai seorang priyayi, sehingga pemerintah Belanda banyak memperkenalkan orang-orang Belanda untuk mengajari (Baca:Mengawal, meredam dan meluruskan) R.A Kartini diantaranya adalah Dr. Adriani (Pendeta), Annie Glasser (tangan kanan J.H. Abendanon), Estelle Zeehandelaar (Perempuan Yahudi Belanda) dan Nellie Van Kol (humanisme progresif) yang berperan mendangkalkan aqidah dan berusaha mengkristenkan RA Kartini. Maka bisa jadi pemikiran Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar (guru besar Universitas Indonesia) benar dimana "R.A.Kartini Pahlawan Wanita Bikinan Belanda".


Sementara itu, dalam masyarakat telah terjadi semacam pertukaran mental antara orang-orang Belanda dan orang-orang pribumi. Kalangan pendukung politik etis merasa prihatin terhadap pribumi yang mendapatkan diskriminasi sosial-budaya. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka berusaha menyadarkan kaum pribumi agar melepaskan diri dari belenggu feodal dan mengembangkan diri menurut model Barat, yang mencakup proses emansipasi dan menuntut pendidikan ke arah swadaya.

Penyimpangan Politik Etis
Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik. Akan tetapi dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para pegawai Belanda. Berikut ini penyimpangan penyimpangan tersebut.
  • Irigasi : Pengairan hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda. Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.
  • Edukasi : Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah. Pendidikan yang dibuka untuk seluruh rakyat, hanya diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada umumnya.
  • Migrasi : Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan-perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatera Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lain. Mereka dijadikan kuli kontrak. Migrasi ke Lampung mempunyai tujuan menetap. Karena migrasi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan diri. Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri, pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale Sanctie, yaitu peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi, kemudian dikembalikan kepada mandor/pengawasnya.
Dari ketiga penyimpangan ini, terjadi karena lebih banyak untuk kepentingan pemerintahan Belanda.

Kritik Politik Etis
Pelaksanaan politik etis bukannya tidak mendapat kritik. Kalangan Indo, yang secara sosial adalah warga kelas dua namun secara hukum termasuk orang Eropa merasa ditinggalkan. Di kalangan mereka terdapat ketidakpuasan karena pembangunan lembaga-lembaga pendidikan hanya ditujukan kepada kalangan pribumi (eksklusif). Akibatnya, orang-orang campuran tidak dapat masuk ke tempat itu, sementara pilihan bagi mereka untuk jenjang pendidikan lebih tinggi haruslah pergi ke Eropa, yang biayanya sangat mahal. Ernest Douwes Dekker 1879-1950 (Danudirja Setiabudi) termasuk yang menentang ekses pelaksanaan politik ini karena meneruskan pandangan pemerintah kolonial yang memandang hanya orang pribumilah yang harus ditolong, padahal seharusnya politik etis ditujukan untuk semua penduduk asli Hindia Belanda (Indiers), yang di dalamnya termasuk pula orang Eropa yang menetap (blijvers)


Ada 3 Douwes Dekker yang berbeda dalam sejarah kita yaitu
  • Eduard Douwes Dekker (Multatuli), lahir di Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820 – meninggal di Ingelheim am Rhein, Jerman, 19 Februari 1887 pada umur 66 tahun, dialah yang terkenal dengan buku "Max Havelaar" (1860) yang memicu lahirnya politik Etis.
  • Dr. Ernest Douwes Dekker 1879-1950 (Danudirja Setiabudi), lahir di Pasuruan, Hindia-Belanda, 8 Oktober 1879 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 28 Agustus 1950 pada umur 70 tahun adalah seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia, dan merupakan angggota "Tiga Serangkai" bersama dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat.
  • Camille Hugo Douwes Dekker 1877-1933 (assistent-resident) untuk Poerwokerto tahun 1918 hingga 1928, merupakan saudara laki-laki Eduard Douwes Dekker (Multatuli)

Baik Politik Cultuurstelsel maupun Politik Etis semua berjalan dan di dasari untuk kepentingan Belanda, dan kepentingan itu juga masih di tumpangi kepentingan-kepentingan yang lain. Yang tentunya masih saja ada penindasan dan diskriminasi.


Tulisan juga diambil dari berbagai sumber:
www.wikimu.com
collectie.tropenmuseum.nl
id.wikipedia.org/wiki/Christiaan_Snouck_Hurgronje
id.wikipedia.org/wiki/Eduard_Douwes_Dekker
id.wikipedia.org/wiki/Ernest_Douwes_Dekker
id.wikipedia.org/wiki/Perang_Diponegoro
id.wikipedia.org/wiki/Johannes_graaf_van_den_Bosch
id.wikipedia.org/wiki/Cultuurstelsel
www.uniknya.com
asetow.wordpress.com
www.nhm-eenkleinegeschiedenis.nl
www.gertjanbestebreurtje.com
www.nhm-eenkleinegeschiedenis.nl


Minggu, 15 April 2012

Pameran BHHC di Parade Onthel Satria

GOR SATRIA Purwokerto
7 – 8 April 2012
Banjoemas Heritage

Acara Parade Onthel Satria yang pertama kali di gelar di Purwokerto merupakan acara pembentukan KOSTI Banyumas, yang juga masih termasuk dalam rangkaian perayaan HUT kabupaten Banyumas. Acara yang di gelar lumayan unik diantaranya adalah; Sarasehan sepeda tua, Parade sepeda tua, Pameran sepeda tua, Klithikan, Jamasan Sepeda tua, Penilaian komunitas terbaik, Hiburan : Music kroncong dan lagi-lagu Koes plus.

Banjoemas Heritage
Peserta bertukar pikiran dalam iven nasional ini


Banjoemas Heritage
Berjajar Sepeda yang dijual dan klithikan


Banjoemas Heritage
Peserta yang datang dari berbagai daerah menggunakan
Truk untuk mengangkut sepedanya


Banjoemas Heritage
Suasana klithikan

Banjoemas Heritage
Peserta menggunakan seragam tentara


Banjoemas Heritage
Puluhan club onthel dari berbagai daerah

Peserta juga datang dari seluruh kabupaten di Jawa Tengah, beberapa kabupaten dari Jawa Barat dan Jawa Timur, Luar pulau Jawa diantaranya ada yang datang dari Kalimantan, Sumatra, Sulawesi dan Bali. Mereka datang secara individu atau kelompok sesuai dengan komunitas-komunitasnya.

Banjoemas Heritage
Suasana di stand pameran BHHC


Banjoemas Heritage
Rizki, Rini, Hilmy dan Jatmiko anggota BHHC


Banjoemas Heritage
Bagus Priyana (KOTA TOEA MAGELANG) dan Jatmiko (BHHC)


Pameran BHHC
Tema pameran yang kami tampilkan kali ini adalah Kota Poerwokerto dan sekitarnya, tema ini memperlihatkan foto-foto bangunan yang pernah ada di Purwokerto versi wikimedia dan tropenmuseum yang juga di tampilkan di banjoemas.com. Selain itu juga terdapat peta kota Purwokerto tahun 1944 buatan Belanda dan beberapa poster propaganda tentang pelestarian Bangunan Cagar Budaya.

Respon positif kami terima dari peserta PARADE ONTHEL SATRIA dan pengunjung datang untuk menonton jalannya rangkaian acara. Beberapa pengunjung juga merupakan penggiat sejarah dan bangunan tua di beberapa daerah diantaranya Semarang, Surabaya, Yogyakarta(Kotagede) dan Magelang (Kota Tua Magelang), sehingga diskusi dan tukar pikiran pun tidak bisa ditolak oleh temen-teman BHHC.

Dari kami BHHC juga mengucapkan selamat dan sukses atas di bentuknya KOSTI Purwokerto dan ucapan terimakasih atas diberikannya kesempatan untuk komunitas kami melakukan program edukasi melalui pameran di acara Parade Onthel satria.


Terimakasih juga kepada:
KOSTI Purwokerto Pak Riyanto, Mas Agus Bangkon, Mas Sigit, dan panitia Acara
Olson Simanjuntak, Bu Nunu, Mas Tanto, Bu Ike, Mas Angga G.14 Studio, Percetakan SPC dan teman-teman yang tidak bisa di sebutin satu satu


Jelajah Tjilatjap 1

26 Februari 2012
Stasiun Cilacap adalah stasiun yang di bangun pada tahun 1884 oleh perusahaan Staats Spoorwagen. Jalur ini dibangun dengan menghubungkannya dengan Stasiun Maos yang sudah lama berdiri. Faktor terbesar dibangunnya jalur ini adalah dibukanya pelabuhan besar dan satu-satunya di selatan pantai Jawa. Pelabuhan ini di bangun untuk membagi jalur eksport import barang dari Banyumas Kedu hinggga Yogyakarta yang sebelumnya sangat tergantung sekali dengan pelabuhan Semarang. Hingga pada masa itu kota Cilacap merupakn kota pelabuhan yang ramai, namun juga tidak kalah ramainya yaitu stasiun bongkar muat barang dan stasiun Cilacap dan stasiun Maos. Stasiun Maos adalah tempat persinggahan sementara kereta-kereta SS dari Jogja, Purworejo, Kebumen, Gombong dan Dayohluhur dan juga SDS dari Wonosobo, Banjarnegara, Klampok, Purbalingga, Sokaraja dan Purwokerto, sebelum kereta di perbolehkan masuk ke jalur Maos-Cilacap-Pelabuhan.

Dari fakta peta Belanda, foto kuno dan arsip yang di dapat kami BHHC mengadakan acara "Jeladjah Tjilatjap 1" dengan mengandeng 2 Komunitas yaitu Spoorlimo dan Lensa Manual reg Purwokerto.Jelajah Tjilatjap I memperkenalkan secara langsung sisa-sisa kejayaan jalur SS sta. Cilacap - Pelabuhan.

Banjoemas Heritage

Dengan Jumlah peserta terdaftar sebanyak 36 namun 5 diantaranya membatalkan keikutsertaanya, tidak perlu berkecil hati ternyata peserta yang datang pun lebih banyak dari yang di bayangkan sebelumnya. Keberangkatan peserta dibagi menjadi 2 start dari Purwokerto (Sebelah museum BRI di jl. Bank) atau langsung menuju ke Stasiun Cilacap.

Sesampainya di sta. Cilacap Rombongan lain sudah menunggu, sehingga acara langsung di mulai dengan mengurus beberapa perijinan ke pihak stasiun Cilacap yang sebelumnya juga secara tersurat sudah di sampaikan ke kantro DAOP V di Purwokerto. Walaupun terjadi sedikit miss antara Kantor DAOP V dan sta. Cilacap mengenai perijinan namun penyelesaian berjalan cepat.

Banjoemas Heritage
Stasiun Cilacap nampak depan

Banjoemas Heritage
Foto bersama peserta

Prolog Sejarah Cilacap dan Jalur SS
Sambil menunggu peserta yang belum datang acara prolog mengenai Komunitas BHHC dan sejarah Jalur Sta. Cilacap - Pelabuhan dan sedikit nmengungkap sejarah kota Cilacap. Peserta yang terdiri dari beberapa komunitas ini larut dalam cerita sejarah yang di sampaikan oleh kami (Jatmiko W). Awalnya mungkin agak asing di telinga mereka karena terbiasa belajar tentang sejarah perjuangan bangsa Indonesia (secara umum) di sekolah bukan sejarah lokal Cilacap dan sejarah kereta api di tanah Jawa. Acara pertama ini berjalan lancar meski sesi tanya jawab peserta kurang begitu antusias karena 70% adalah peserta yang baru pertama kali mengikuti acara semacam ini.

Penyusuran Rel (rel masih aktif)
Penyusuran rel mengambil rute Stasiun Cilacap - Pelabuhan sepanjang 3km. Penyusuran dilakukan dengan berjalan kaki karena 70% jalur tidak bisa di lewati dengan kendaraan. Sesi ini merupakan sesi inti yang sangat di tunggu-tunggu dan sangat menantang karena suhu udara yang sangat panas Cilacap dan jarak yang di tempuh lumayan jauh kurang lebih 3km. Dari ujung stasiun tepat dari perlintasan dengan jalan RE Martadinata, disana melihat beberapa jalur yang di matikan, dan masih terlihat bekas bekas double track keluar dari stasiun Cilacap kearah stasiun Maos. Didalam stasiun masih juga terdapat beberapa bangunan yang sebagian sudah tidak di fungsikan lagi seperti menara pemantau/signal, namun masih banyak bangunan yang di fungsikan seperti Empalsemen, menara air, turn table, dipo kecil dan juga jalur ke arah pelabuhan.

Banjoemas Heritage
Tepat di perlintasan Jl. RE Martadinata penelusuran rel dimulai

Banjoemas Heritage
Nampak bekas double track

Banjoemas Heritage
Teman-teman nampak bersemangat mengikuti susur rel, diskusi dan dokumentasi

Banjoemas Heritage
Rangkaian ketel milik Pertama terparkir di Stasiun Cilacap

Banjoemas Heritage
Turn Table dengan latar belakang Depo Stasiun Cilacap,
Inzet Gambar poros Turn Table produksi Daschretlen &Co Leiden

Banjoemas Heritage
Beberapa loko berkode "D" di depo Stasiun Cilacap

Dari lokasi turn table dan jalur keluar stasiun Cilacap - pelabuhan berhenti cukup lama untuk mengisi perbekalan, dari sana rombongan Jelajah Tjilatjap menyusur di atas rel ditengah perkampungan hingga perlintasan kereta di jalan Veteran, disana terdapat bekas adanya track lain yang melintas di jalan raya dan juga sama seperti 50 meter kearah barat terdapat juga 2 buah bekas jembatan rel di sebelah jembatan rel yang masih aktif. Kedua bekas jembatan itu terlihat menjauh dari rel utama yang sedang kami telusuri ini.

Banjoemas Heritage
Jalur lama masih terlihat melintas di Jl. Veteran

Banjoemas Heritage
1. Rel Aktif Stasiun - Pertamina (Pelabuhan) 2. Jadi Jalan gang
3&4 Pondasi bekas jembatan

Satu km dari stasiun rombongan memasuki areal persawahan yang luar biasa panas karena areal ini langsung berhadapan dengan selat Nusa Kambangan (Muara sungai Donan). Ini adalah 800 m perjalanan terberat rombongan dan harus di lewati karena sudah setengah jalan.

Banjoemas Heritage
Persawahan yang luas dan panas adalah tantangan utama peserta Jelajah Tjilatjap

Banjoemas Heritage
Peserta berjalan di atas rel Aktif dengan latar belakang
drum-drum raksasa milik PT. PANGAN MAS INTI PERSADA





Banjoemas Heritage
Peserta dengan gigih melewati teriknya panas matahari

Tepat di km ke 1.8 rel masuk ke kompleks industri dimana terdapat penjagaan dari petugas pengamanan PT Sari Pangan yang mewajibkan kami melapor dan meminta ijin melewati rel yang masuk ke wilayah perusahaan swasta tersebut. Selama proses perijinan oleh penulis (Jatmiko W dan Riyadh (BHHC Cilacap)) peserta Jelajah Cilacap beristirahat cukup lama di pintu gerbang rel kereta, dan begitu ijin di berikan dengan beberapa syarat yang kami sepakati antara lain tidak ada pengambilan gambar di dalam lokasi pabrik dan tidak di perbolehkannya berhenti di dalam lingkungan pabrik. Di dalam pabrik rel bercabang satu kearah gudang Pupuk Sriwijaya dan satunya masih lurus.

Banjoemas Heritage
Rel yang melewati PT. PANGAN MAS INTI PERSADA
Di spanjang rel di kompleks pelabuhan banyak sekali truk berlalu-lalang membawa pasir besi bahkan kompleks bekas gudang gudang tuapun sekarang di fungsikan sebagai tempat pengepulan pasir besi sebelum di bawa ke pabrik peleburan besi. Di ujung rel sebelum rel masuk ke kompleks Pertamina, sebuah bangunan gudang tua masih berdiri kokoh dan tepat di sebelahnya 2 bangunan gudang sudah rata dengan tanah dan terlihat masih baru beberapa bulan di robohkan. Penelusuran di pelabuhan berahir dan rombongan yang telah terbagi menjadi beberapa kelompok kembali ke lokasi pertama yaitu stasiun Cilacap.


Banjoemas Heritage
Peserta diantara semak belukar yang tumbuh di samping rel


Banjoemas Heritage
Rangkaian rel di empalsemen gudang PT PUPUK SRIWIDJAJA


Banjoemas Heritage
Gudang PT PUPUK SRIWIDJAJA


Banjoemas Heritage
Penghujung rel yang masuk ke wilayah Pertamina dan bangunan gudang tua yang tersisa


Banjoemas Heritage
Gudang tua satu-satunya yang masih tersisa

Banjoemas Heritage
Gudang tua yang sudah di hancurkan beberapa bulan lalu

Benteng Pendem Cilacap
Rencana ke Benteng Pendem adalah rencana terahir untuk mengahiri Jelajah Tjilatjap 1, dan bersifat optional, jadi hanya sekitar 10 orang saja yang mengikuti.


Banjoemas Heritage
Peserta berfoto bersama dengan Loko seri D

Kami mengucapkan banyak terimakasih dengan pihak-pihak yang telah membantu terlaksananya acara Jelajah Tjilatjap 1. Humas DAOP V Bapak Surono, Bapak Sarikin, Kepala Stasiun Cilacap, HUMAS Pelabuhan Intan Cilacap, Skuritas PT Pangan Mas Inti Persada, G.14 Studio, Percetakan SPC, Blackbird, Keluarga Handi Andan, Percetakan Nalini Jogja, Komunitas LENSA MANUAL reg. Purwokerto, Komunitas Railfans DAOP V SPOORLIMO dan yang tidak bisa di sebutkan satu persatu disini.

Artikel juga dapat di baca di jalanjalanrizky.blogspot.com milik Rizky Dwi Rahmawan

Minggu, 11 Maret 2012

Satelit Post 11 April 2012



Satelit Post 11 April 2012
Banjoemas History Heritage Community
Sejarah Bukan Untuk Dilupakan

Senin, 09 Januari 2012

Warta Jateng Senin 9 Januari 2012


Jumat, 06 Januari 2012

Wirasaba Sebelum Terlambat

Dalam beberapa tahun mendatang Purbalingga dan kota-kota sekitarnya akan segera mempunyai bandara besar. Rencananya pangkalan TNI AU Wirasaba di Purbalingga sebentar lagi akan dijadikan bandar udara besar untuk menangani penerbangan komersial. Ini merupakan sebuah kemajuan yang sangat membanggakan, tetapi dibalik itu pembangunan ini di indikasikan akan mengkorbankan beberapa situs sejarah di desa Wirasaba. Wirasaba adalah desa kuno dimana dahulu kala adalah pusat pemerintahan kadipaten Wirasaba yang luas wilayah kekuasaanya lebih luas lagi dari wilayah karesidenan Banyumas bikinan Belanda. Dan Wirasaba adalah cikal bakal adanya kabupaten Banyumas, Purbalingga, Cilacap dan Banjarnegara secara langsung atau tidak langsung. 
Tepat tanggal 20 Oktober 2011, mbak Esti seorang pecinta sejarah juga yang berkantor di Pemkab Purbalingga yang juga masih keturunan dari Djajadiwangsa di Wirasaba, mengundang teman-teman BHHC untuk mendokumentasikan pendopo-pendopo dan situs-situs peninggalan yang lain milik keluarganya yang memang sangat dekat dengan LANUD Wirasaba. Situs-situs inilah yang terancam akan tergusur. Atas undangan itu kami dari BHHC pun berinisiatif untuk melakukan penyusuran dan dokumentasi terhadap situs-situs tersebut dengan menggandeng dua komunitas lain yaitu komunitas fotografi Lensa Manual Purwokerto dan komunitas pecinta kereta api (bagian Heritage) untuk tema "Wirasaba Sebelum Terlambat" dan akhirnya disepakati dengan pihak pengundang untuk di laksanakan pada 28 Desember 2011.

Banjoemas Heritage

Sesuai dengan pengumuman yang telah disebarkan melalui email, Blog, Facebook dan SMS hari ini teman-teman dari 3 komunitas berbeda yaitu Banjoemas History Heritage Community BHHC, komunitas fotografi Lensa manual reg. Purwokerto dan komunitas pecinta kereta dari DAOP V SPOORLIMO dan follower www.banjoemas.com sebanyak sebelas orang berkumpul di GOR Satria Purwokerto untuk bersama berwisata sejarah bertema "Wirasaba Sebelum Terlambat".

Penyusuran Rel SDS
Tepat jam 7.30 kita menuju 3 Km ke arah timur kota Purwokerto, Stasiun Sokaraja adalah lokasi pertama blusukan kita dimana dulu SDS membangun Stasiun ini pada tahun 1896 dan meresmikannya pada 05 Desember 1896. Bangunan Stasiun yang berupa Peron dan Gudang masih utuh hanya sekarang beralih fungsi sebagai Gedung PWRI Persatuan Wredatama Republik Indonesia dan  kita masih dapat menjumpai bekas menara air yang kondisinya masih kokoh namun nampak tak terawat. Bahkan letaknya berada di dalam halaman rumah warga yang di pagari, sehingga kami hanya bisa mengamatinya dari luar halaman. Namun rangkaian rel yang membentuk emplasemen stasiun dan membagi rel ke arah pabrik Gula kalibagor dan Pabrik Tepung Tapioka sudah hilang entah kemana. Kini berubah menjadi pemukiman warga dan hanya tersisa sedikit bekas jalur-jalur rel yang berubah menjadi jalan gang saja. Untuk saat ini belum ada papan asset tanah milik PT. KAI di sekitar eks-Stasiun Sokaraja, hanya plat penanda asset bangunan saja yang tertempel di bangunan eks-Stasiun Sokaraja. Kami juga memperhatikan potongan rel di depan bangunan yang berubah menjadi semacam pembatas parkir dan tiang papan nama. Masih terlihat pula di rel tersebut tulisan emboss “SJC 1914 SDSM” yang menandakan rel tersebut masih asli.

Banjoemas Heritage
Bekas Stasiun Sokaraja, temen teman dari SPOORLIMO memeriksa rel yang tergeletak

Banjoemas Heritage
Bekas jembatan kereta yang diurug dan di jadikan bangunan permanen

Banjoemas Heritage
Bekas jalur rel yang berubah menjadi jalan gang

Setelah puas mengamati eks-Stasiun Sokaraja kami berlanjut ke arah timur menelusuri gang yang dulunya merupakan jalur KA lintas Sokaraja-Banjarsari. Hanya tersisa patok yang terbuat dari potongan rel yang berjejer disebelah gang tersebut dan beberapa bantalan besi yang beralih fungsi menjadi pagar maupun jembatan kecil untuk menyeberangi parit kecil (kalen dalam istilah Jawa). Ketika jalan mulai membelok ke arah Sungai Pelus, Nampak terlihat potongan rel yang masih dapat terlihat walaupun terkadang hanya potongan pendek saja. Tampak pula sebuah pondasi jembatan kecil yang kami temukan di antara rumah warga. Kemudian diatas sungai Pelus sebuah jembatan kereta yang masih kokoh kini berfungsi sebagai jembatan jalan yang bisa dilalui motor, kondisinya sudah lebih bagus karena sudah diberi pagar dan sudah di cat ulang sehingga nampak menawan dan lebih aman dilewati warga sekitar.
Masih menyusuri bekas rel ke arah Banjarsari, kami menyusuri jalan gang lagi. Sempat kami berhenti sejenak untuk mengambil foto rel yang menggantung di atas sungai kecil. Setelah kami perhatikan memang dahulu terdapat jembatan kecil di atasnya, karena terdapat nomor registrasi pada bagian pondasinya. Namun besi penyangganya telah hilang dan hanya menyisakan pondasi  dan rel yang menggantung di atasnya. Jalan gang selanjutnya masih terdapat rel yang posisinya telah dilebarkan menjadi jalan gang yang berakhir di jalan raya Sokaraja-Purbalingga. Relnya terdapat di sebelah kanan jalan arah Purbalingga namun kondisinya sudah tertimbun tanah sehingga sudah tidak terlihat lagi. 

Banjoemas Heritage
Lintasan dan bangunan bekas jembatan rel Lori Sf.  Kalibagor

Banjoemas Heritage
Bekas Stasiun Banjarsari

Di depan SPBU Klahang kami berhenti untuk mengamati persilangan antara jalur SDS dengan jalur lori yang tampaknya terhubung ke Pabrik Gula Kalibogor. Masih terlihat rel bekas jalur lori yang sedikit terlihat di pinggir jalan persilangan dan perlintasan lorinya. Kemudian terlihat jalur lori juga menyebrangi sungai Sogra yang sekarang hanya menyisakan pondasinya saja. Hanya sebentar saja kami mengamatinya karena kami sudah tidak sabar untuk lanjut mblusuk ke eks-Halte Banjarsari, dan hanya dalam waktu kurang lebih 3 menit kami sampai di eks-Halte Banjarsari yang posisinya terletak di sebelah kanan jalan raya dekat pintu masuk sebuah pabrik. Sampai disana kami mulai mengamati eks-Halte Banjarsari tersebut. Cukup lama kami mencari namun tidak ada tanda-tanda bahwa bangunan tersebut dulunya merupakan bekas Halte & persimpangan jalur KA ke Purbalingga dan Wonosobo. Kami juga tak dapat mengakses bagian dalam bangunan karena tertutup teralis tinggi sehingga kami hanya bisa mengamatinya dari luar. Setelah puas mengamatinya kamipun melanjutkan mblusukan ke arah Klampok.

Banjoemas Heritage
Jalur kereta yang berubah menjadi jalan setapak yang tidak mudah di lalui kendaraan roda 2

Banjoemas Heritage
Sebuah jembatan kereta melintas diatas parit

Memasuki jalan desa, kami menemukan jalan yang memiliki radius tikungan yang lebar dan sangat bisa ditebak kalau dulunya jalan tersebut merupakan bekas jalur SDS ke arah Purbalingga. Terdapat pula papan asset PT. KAI yang kondisinya sudah hancur dirusak oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dan patok PT. KAI yang baru di sebelah patok asli SDS yang terbuat dari batu namun tulisannya telah pudar terkikis oleh waktu. Banjarsari-klampok adalah track lurus sehingga memudahkan team untuk menyusurinya. Sampai dekat grumbul Jalan Jamid jalan kampung yang menggunakan bekas jalur rel SDS membelok 90 derajat, sedangkan jalur tetap lurus namun sangat susah untuk di susuri. Kami urung menyusurinya karena menurut seorang petani yang terdapat di sana pematang terssebut hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki karena jembatan Kali Jompo bagian tengahnya berlubang sehingga tidak bisa dilalui motor. Akhirnya kami beristirahat sejenak disana dan waktu istirahat tersebut digunakan oleh teman-teman dari Lensa Manual untuk mengambil foto pemandangan dan Human Interest yang tersedia sangat alami disana. Setelah cukup, kami mulai melanjutkan mblusukan ke daerah Kalialang.
Disanalah mblusukan yang sebenarnya dimulai. Kami harus melalui sempitnya pematang sawah dengan kondisi tanah yang lembek dengan sepeda motor. Memang kondisi yang cukup menantang adrenalin namun kami justru merasa senang. Beberapa kali kami berhenti sebentar untuk mengambil foto bekas jembatan-jembatan KA yang relatif kecil dan pendek namun masih berdiri kokoh. Dan setelah sampai di daerah Sumulir, kami berhenti karena menemukan area yang cukup luas dan terdapat beberapa pondasi tiang. Setelah kami cocokan posisi di peta, ternyata bekas pondasi tiang tersebut merupakan bekas tiang stasiun Muntang yang kini telah musnah dan hanya menyisakan sedikit jejak. Justru bangunan yang sampai saat ini masih ada dan berdiri kokoh ialah bekas pos perlintasan (PJL) jalur KA SDS dengan jalan desa Sumilir yang berfungsi juga sebagai pos penjagaan jalur lori yang terletak tak jauh dari sana.

Banjoemas Heritage
Kondisi atas dan bawah jembatan SDS

Banjoemas Heritage
Crew mblusuk berfoto bersama di atas jembatan SDS

Sekitar 100m ke arah timur, disitulah terdapat salah satu situs termegah peninggalan SDS. Adalah jembatan Sungai Klawing yang membentang kokoh di atas derasnya aliran Sungai Klawing dengan rangka baja yang masih terlihat kuat. Konstruksinya sama persis dengan jembatan Sungai Serayu yang ada di Patikraja, hanya saja belum diketahui pasti berapa panjang jembatan Sungai Klawing ini. Karena sosoknya yang kokoh dan besar, jembatan ini menjadi sasaran kamera kami. Sayang rasanya untuk tidak mengabadikan kemegahan jembatan ini, apalagi panorama alam sekitarnya lumayan menantang. Hanya saja kondisi musim penghujan membuat air Sungai Klawing terlihat kecoklatan, ditambah lagi banyaknya perahu penambang pasir yang lalu-lalang di sekitar jembatan itu.

Puas mengabadikan jembatan Sungai Klawing dan berfoto bersama di sana, kamipun melanjutkan perjalanan ke Klampok, tepatnya di area Lanud Wirasaba untuk mengikuti Undangan dari Keluarga Tirtasentana. Di sela-sela acara tersebut, kami masih bisa menjelajahi eks-Jalur SDS, dan di dekat Lanud Wirasaba kami menemukan jembatan SDS yang masih kokoh membentang diatas Sungai Serayu. Posisi rel yang cukup tinggi dari permukaan air Sungai Serayu serta jalan yang cukup sempit memberikan sensasi tersendiri karena cukup memompa adrenalin. Posisinya yang sulit mebuat kami kesulitan mendapat angle foto yang bagus sehingga kami hanya bisa mengabadikannya dari atas jembatan.

Keluarga Tirtasentana, Djajadi Wangsa dan situs-situs Peninggalannya
Dari sana Team melanjutkan perjalanan ke Sebuah Pendopo Tirtasentana di desa Kembangan dimana BHHC diundang untuk mendokumentasikan situs Keluarga besarnya dan situs-situs yang lain di Wirasaba. Di Pendopo Tirtasentana sedang di adakan kumpulan trah Tirtasentana seluruh Indonesia. Disana kita disambut oleh Mbah Tomo yang merupakan penghubung BHHC dengan Keluarga Tirtasentana dan Djajadi Wangsa di Wirasaba.

Banjoemas Heritage
Foto lukisan Ki Tirtasentana dan istrinya

Banjoemas Heritage
Pendopo Tirtasentana di desa Kembangan

Siapakah Eyang Tirtasentana itu? Beliau adalah salah satu tokoh di daerah Wirasaba pada masanya (1873-1940). Beliau adalah putra mantu dari Ki Djadjadi Wangsa yang berhasil meneruskan kesuksesan nya sebagai saudagar kaya yang di hasilkannya dari bertani dan berkebun. Ketokohan beliau masih terlihat sampai sekarang salah satunya adalah dari kerukunan anak cucu keturunannya. Dua tahun sekali mereka yang sudah berdomisili di berbagai pelosok di Indonesia berkumpul seperti hari itu di rumah tua milik leluhur mereka hanya untuk bersilaturahim. Rumahnya sebetulnya sudah agak reot, tetapi unik karena begitu orisinil, dan anak cucu keturunannya itu bermalam di kamar-kamar rumah itu, tidak dihotel. Betul-betul sebuah aksi “nguri-uri” peninggalan leluhur yang nyata.

Banjoemas Heritage
Makam ki Tirtasentana

Banjoemas Heritage
Makam adipati Peguwan

Banjoemas Heritage
Mendengarkan cerita sejarah dari pak Suyono

 Oleh mbah Tomo dan pak Suyono kita seluruh team di ajak berkeliling Desa. Diantaranya ke beberapa makam-makam tua, makam Tirtasentana dan anak-anaknya di pemakaman umum desa Kembangan.  Di setiap makam kita berhenti sambil menerima penjelasan tentang sejarah tokoh yang ada di makam tersebut. Diantara makam yang kita kunjungi adalah makam Eyang Djayadiwangsa (1835-1918). 

Banjoemas Heritage
Mendengarkan cerita dari Mbah Tomo dan juru kunci makam Adipati Wargahutama I

Banjoemas Heritage
Nisan Adipati Wargahutama I

Banjoemas Heritage
Pantangan yang terkenal itu di pahatkan di sisi makam Adipati

Banjoemas Heritage
Pak Suyono menerangkan sejarah pantangan yang terpahat di tembok

Selanjutnya Mbah Tomo mengajak ke desa Pekiringan dimana adipati Warga Hutama I dimakamkan. Adipati Warga Hutama I adalah adipati yang meninggal terbunuh di dusun Bener karena kesalahpahaman penguasa Pajang. Dari adipati inilah yang menurunkan 4 pantangan yang sangat terkenal itu;
- Jangan makan Pindang Angsa
- Jangan tinggal di rumah dengan atap Bale Malang
- Jangan memelihara kuda Dawuk Bang (Abu kemerahan)
- Jangan bepergian di Sabtu Pahing
Dari Pekiringan team menyebrang lewat jembatan bekas jalur SDS yang melintas diatas sungai Serayu. Setelah menyebrangi jembatan jalur bertemu dengan jalan kampung, dan team pun berhenti disana. Mbah Tomo menceritakan bahwa dahulu Djajadi Wangsa mengusulkan ke Maskapai SDS untuk membuat jalur khusus bongkar muat hasil pertanian dan perkebunan miliknya. Dan dari sinipun mbah Tomo memperlihatkan dermaga kecil di tepi sungai Serayu di belakang pendopo Djajadi Wangsa. Dermaga ini adalah sarana transportasi untuk mendistribusikan Hasil perkebunan dan pertaniannya ke pelabuhan Cilacap sebelum dibangunnya jalur rel SDS di desa Wirasaba.
Kemudian pendopo Djajadi Wangsa adalah tujuan selanjutnya, kita semua masuk dan melihat kedalam pendopo yang masih sangat orisinil dan terawat. Tuan rumah yang merupakan ahli waris pendopo Djajadi Wangsa menerima kami semua dengan ramah, namun kita tidak bisa berlama-lama di sana karena jam sudah menunjukan jam 12 siang.

Banjoemas Heritage
Pendopo Djajadi Wangsa


Banjoemas Heritage
Bekas Pelabuhan kecil milik Ki Djajadi Wangsa

Banjoemas Heritage
Makam ki Djajadi Wangsa

Masih ada dua tujuan lagi yang harus kita kunjungi yaitu Pemakaman keluarga besar Djajadi Wangsa di tepi Lanud Wirasaba. Cukup lama kita disana karena mbah Tomo menceritakan dengan detail siapa saja yang di makamkan disana hingga akhirnya sampai juga di tujuan terakhir perjalanan kita yaitu pemakaman orangtua Djajadi Wangsa di lereng sebelah selatan desa Kembangan.



Catatan blusukan ini ditulis oleh Garin Nur Alif SPOORLIMO, Deddy Kurniawan IRPS, Rizky Dwi Rahmawan BHHC dan Jatmiko W BHHC.

Fotografi oleh Garin Nur Alif dan Jatmiko W

Terimakasih www.banjoemas.com, komunitas BHHC, Komunitas Lensa manual dan Komunitas Spoorlimo dan dari keluarga Wirasaba mbak Estining 'Engky' , Pak Tomo , Pak Suyono dan keluarga besarnya ... dan semua pihak yang telah membantu melancarkan acara WIRASABA SEBELUM TERLAMBAT 28 Desember 2011.

Kembali ke Atas