Senin, 13 Juni 2011

Penelusuran jalur SDS Purwokerto - Patikraja

Hari ini Sabtu 4 Juni 2011 sesuai yang sudah di jadwalkan sebelumnya melalui Facebook banjoemas.com.  Penelusuran ini adalah yang pertama kali di lakukan bersama dengan follower blog banjoemas.com, Railfans dan pecinta fotografi Lensa Manual reg. Banyumas (LM).


banjoemas.com
Peta Google Earth Pasirmuncng Wetan
banjoemas.com
Lokasi persimpangan yang di buat setelah SS (Staats Spoorwegen) pada tahun 1915
Jalur telepon pun kelihatannya mengikuti jalur SDS
Perjalanan dimulai pada  08.15 setelah terkumpul 6 orang (Saya, Arif, Rizky, Hilmy dan  Dodo, Wisnu (LM). Lokasi pertama dari percabangan SS dan SDS di Pasirmuncang Timur, menurut Amstari yang tinggal di samping rel letaknya berada di 150 m  ketimur dari Perlintasan kereta dari Stasiun Purwokerto Timur ke Stasiun Besar Purwokerto. Rel sepertinya berada di antara gang Konvoi Barat dan gang selatannya, ini jika ditarik garis lurus dari persimpangan rel ke Gang Margabakti.dan ini dibenarkan oleh seorang warga Robertus Joko Prayanto yang kita temui di lokasi Penelusuran. Dua rumah yang kita tengarai dulunya sebagai rel pun merupakan aset milik PT.KAI.
banjoemas.com
Peta Google Earth Pasirmuncang Wetan

banjoemas.com
Gang Margabakti
Perjalanan dilanjutkan ke gang Margabakti yang dipastikan dulunya adalah jalur SDS dari Maos ke Purwokerto. Sampai di pertigaan mentok, terdapat gang tapi posisinya lebih tinggi dari gang Margabakti. Dari sini kita tidak yakin bahwa gang merupakan bekas jalur rel. Sepanjang jalan yang kita lalui bahkan adalah tanggul selokan, hingga kita menjumpai sebuah kuburan di sebelah STM. Disana kita bertemu dengan seorang bapak yang mengatakan bahwa jalur rel berada di bawah selokan yang tadi dilalui oleh rombongan. Jadi kalo di tarik dengan garis memang benar bahwa kemungkinan rel adalah di bawah selokan.
banjoemas.com
Peta Google Earth Tanjung

banjoemas.com
Team gabungan Lensa Manual, Railfans dan Follower

banjoemas.com
Bekas jalur rel ternyata berada di bawah selokan

banjoemas.com
Mendapatkan informasi tambahan di lokasi

banjoemas.com
Team gabungan menyusur sepanjang selokan yang berada diatas bekas jalur SDS
Dari sana medan perjalanan semakin basah dan sulit, sementara kita terus saja terheran-heran dengan track yang kita lalui karena jalan yang di tunjuk oleh bapak di kuburan sama dengan yang sebelumnya, sedangkan tanah di bawahnya (sekitar 2 - 5 meter) terdapat tanah yang luasnya sekitar 3 sampai 5 meter yang sudah berubah menjadi kolam dan kebun yang berada di sepanjang selokan yang kita lalui. Sesampainya di sebuah perkampungan kita mencari narasumber yang bisa menjelaskan keberadaan bekas rel SDS itu. Kita bertemu dengan bapak Mardi, dan membawa kita tepat di pinggir kampung. Disana dia menjelaskan bahwa tanah  yang di bawah parit itulah yang dulunya merupakan jalur kereta SDS. maka terjawab sudah keraguan kita.
banjoemas.com
Peta Google Earth Tanjung (jembatan)

banjoemas.com
Team mencocokan Peta  Belanda + Peta Google Earth + GPS

banjoemas.com
Pak Mardi menunjukan dimana letak rel SDS dulu berada

Jam sepuluh kurang 3 menit kita menyeberang jalan lewat saluran air di atas jalan Veteran yang konon di gali pada tahun 1960han. Melintasi saluran air adalah tantangan tersendiri, dimana ketinggian sekitar 10 meteran diatas jalan raya.
banjoemas.com
Team melewati saluran air diatas jalan Veteran

banjoemas.com
Team melewati saluran air diatas jalan Veteran

banjoemas.com
Team melewati saluran air diatas jalan Veteran

Perjalanan setelahnya berjalan dengan penuh kepastian, bahwa bekas jalur rel berada di bawah selokan yang sedang kita lalui, walaupun kondisi bekas jalur rel sudah berubah menjadi semak belukar, kolam dan kebun. Hingga perkampungan di Kedungwringin, bekas rel semakin terlihat lebih jelas, dan bahkan terdapat sebuah bangunan semacam terowongan yang mungkin berfungsi sebagai saluran air melintas diatas jalur SDS. 
banjoemas.com
Peta Google Earth Perumahan Kedungwringin

banjoemas.com
Bekas jalur rel berubah menjadi semak belukar dan kolam warga

banjoemas.com
Sebuah terowongan yang diatasnya di jadikan jembatan warga
Dari sana medan yang kami lalui turun sejajar dengan jalur rel SDS, jalur ini memang landai. Pada peta lama yang Belanda buat terlihat disini terdapat jalur ganda. Tapi bekasnya tidak terlihat sama sekali karena adanya bangunan baru perumahan di Kedungwringin ini. Bahkan lokasi tempat kita beristirahat di Masjid Dhuefulloh Al Mutoiri letaknya tepat diatas cekungan bekas Jalur rel SDS.
banjoemas.com
Peta Google Earth Peta Karanggude

Setelah cukup perjalanan dilanjutkan, dari Masjid bekas jalur terlihat sangat jelas di samping jalan di perumahan, beberapa sudah didirikan bangunan, di pertigaan sebelah selatan jalur berubah menjadi jalan kampung hingga Karanggude. Masuk di perkampungan Karanggude jalur terpotong oleh rumah-rumah permanen. Sehingga kita harus bertanya kesana kemari untuk memastikan dimana letak rel sebenarnya. Disana kita bertemu dengan seorang bapak yang anaknya masih teman dari mas Arif dan Rizky. Bapak itu menjelaskan bahwa jalur berada di samping pekarangan rumahnya, dan hanya sedikit yang mengenai pekaranganya. Dulu lokasi ini adalah pereng (lembah) tapi setelah banyaknya penduduk, tanah berubah menjadi datar.

banjoemas.com
Jalur membatasi tanah kuburan dengan perumahan

banjoemas.com
Ibu Rasitem memberikan kesaksian dan informasi tentang dibongkarnya rel SDS

Team kembali masuk ke jalur yang berada di samping kuburan Karanggude, setelah melewati pekuburan kita bertemu dengan seorang ibu bernama Rasitem (75 tahun), beliau menceritakan bahwa rel dulunya berada di bawah pondasi rumahnya (bukan di gang) dan pada jaman setelah Jepang rel dibongkar dan ditumpuk oleh orang-orang Indonesia. " Pak Lurah, Pak Bau pokoke pejabat dusun sing ngertos nggenopo rile, kulo tiang alit dados mboten wani takon-takon" ( Pak Lurah, Pak Bau dan pejabat desa yang tau mengapa dan untuk apa rel di lepas, saya orang kecil jadi tidak berani bertanya). Lalu jalur rel SDS sebelah mana yang di bongkar oleh Jepang?

Sudah setengah 12 saya harus ke kantor (bekas) dan yang lainnyapun sudah kelelahan, maka penelusuran gabungan ini di hentikan dan kita semua pulang ke Purwokerto ...

Terimakasih buat team gabungan; Lensa Manual Regional Purwokerto(Foto-fotonya ditunggu), Railfans dan Follower blog Banjoemas Heritage.

Selasa, 31 Mei 2011

Menelusuri Jejak Saluran Irigasi Bandjar-Tjahjana


29 Mei 2011

Blusukan kali ini saya di temani oleh anak perempuanku dan istri tercinta. Hanya mengandalkan Google Earth dengan melakukan pemetaan secara online jalur-jalur yang saya perkirakan sebagai jalur BTW (bandjar Tjahjana Werken) dan hanya mamahami jalur jalan raya dari perempatan Ngebrak (Majasari) hingga kota Banjarnegara melalui Rakit dan bendung Mrica.

Berangkat dari rumah (Purwokerto) dan sampe di Bukateja 1 jam kemudian. Wilayah yang mudah di capai adalah wilayah Cipawon dimana aliran irigasi ini berada di tepi jalan raya dan terlihat sangat jelas. Di Cipawon aliran Irigasi membelok melintasi jalan raya dan masuk ke perkampungan di Cipawon. Sementara di daerah Karang Cengis aliran menjauh masuk ke tengah sawah dan bertemu lagi dengan jalan raya Karang Gedang - Kebutuh. Setelah melewati persawahan di sebelah timur Karang Gedang Air melewati luncuran yang lumayan panjang di desa Rakit. Dan kamipun berhenti untuk sarapan pagi tepat di tepi luncuran diatas rumput yang rapi dan menghijau.

banjoemas.co.cc
Peta Google Earth Cipawon hingga Rakit



Saluran irigasi di Cipawon





Tanggul berundak untuk menahan kecepatan air, terlihat tanggul yang jebol





Luncuran air masuk daerah rakit
Setelah cukup makan paginya kami meneruskan perjalanan ke arah hulu dari saluran irigasi ini. Desa Adipasir, Kincang, Tanjunganom, dan Siteki. Dijumpai banyak sekali luncuran dan air terjun yang berfungsi untuk menahan kecepatan air, ini juga berguna untuk menjaga dinding dan dasar saluran irigasi agar tidak cepat tergerus air ada puluhan bahkan ratusan buah. Di Tanjunganom dan Siteki yang merupakan daerah perbukitan sekarang terdapat PLTM (Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro) unit bisnis Pembangkit Mrica yang hanya bisa membangkitkan listrik sebesar 1 x 1,2 Megawatt. 
banjoemas.co.cc
Peta Google Earth Rakit hingga Tapen

banjoemas.co.cc

Peta Google Earth daerah Tapen

banjoemas.co.cc

Air terjun di daerah Adipasir, terlihat level yang tinggi

Masih di Adipasir, air terjun dibawah jembatan


Aliran air di bendung untuk membangkitkan PLTM Siteki


 Jembatan dengan aliran Irigasi Bandjar-Tjahjana saat masuk Tapen

Dari PLTM Siteki kita kehilangan jalan yang mendekati saluran irigasi ini. Setelah melewati Lengkong dan sebelum asuk Tapen Aliran irigasi melintas dibawah jembatan sehingga, kami harus menelusuri balik ke arah aliran. Aliran air terlihat besar dan tenang namun berwarna coklat kehijauan. Dari perempatan Tapen kami menganbil jalan kekiri (kearah desa Kasilip). Tepat 200 m terdapat jembatan yang dibawahnya melintas aliran irigasi, dan 200 m arah aliran terdapat air terjun buatan yang mungkin sedang di bangun PLTM baru. Dari sana kita menju ke arah Wanadadi, namun baru 700 m kami menjumpai PLTM Tapen dan aliran irigasi sesudah PLTM Tapen ternyata debit airnya hanya selebar 1 meter. Disana bertemu dengan bapak pengembala bebek, dan menceeritakan bahwa aliran Irigasi Bandjar-Tjahjana dulu sangat bagus dan menjadi tempat yang banyak dikunjungi orang seperti tempat wisata. Terutama tempat tempat seperti grojogan (saluran air yang dibuat seperti air terjun), terowongan air, juga syphon yang berfungsi sebagai pompa penyedot air.Dia juga bercerita kalau aliran Irigasi Bandjar-Tjahjana sekarang di alirkan dari sana.

banjoemas.co.cc
Peta Google Earth Tapen hingga Wanadadi


Saluran Irigasi tidak lagi digunakan

Saluran Irigasi tidak lagi digunakan

Selanjutnya, penelusuran akan lebih sulit karena saluran tidak lagi di fungsikan sebagai saluran irigasi tapi kelihatannya sudah berubah fungsi menjadi sawah, kebun atau mungkin kolam. Nggak mau ambil resiko kepanasan di jalan, setelah mendapatkan informasi dari bapak penggembala bebek di bekas aliran irigasi itu, langsung saja kami bergerak ke arah Kandangwangi - Karangkemiri dimana terdapat syphon.

banjoemas.co.cc
Peta Google Earth Wanadadi hingga Linggasari


Ujung syphone berada di belakang perahu, anakku asik bermain perahu


Selokan bekas saluran irigasi di tumbuhi enceng gondok

Selokan bekas saluran irigasi di tumbuhi enceng gondok

Saluran irigasi berubah menjadi kolam ikan

Alangkah kecewanya ketika sampai di lokasi, semua syphon yang ada di blog dah raib, dah tenggelam dan tersisa ujung dari pondasinya saja. Namun galian sedalam 10 - 15 m lebar 10 m masih menganga tergenang air diam dan menguning. Hampir satu jam kita disana sambil main perahu dan makan bakso (beli di perempatan Wanakarsa). Setelah jeprat-jepret dan puas main perahunya, perjalanan di teruskan lewat jembatan gantung "cableburg" (jembatan Paris kata orang situ). Terdapat jembatan serupa juga di daerah Linggasari. Jadi buat yang suka berkelana pake jalur ini untuk tracking.

banjoemas.co.cc
Peta Google Earth Linggasari hingga Rejasa, terlihat saya harus memutar untuk sampai di Rejasa

Gumingsir, Jenggawur dan Rejasa adalah tujuan terahir penelusuran ini. Jalur irigasi berada tepat di sisi lereng sungai Serayu bagian utara. Saluran masih terpagari pohon-pohon besar dan rindang. Sedangkan pada saluran sudah berubah menjadi kolam ikan, sawah, genangan air, kebun salak dan jalan ke depo pasir. Tidak bisa di blusuki dengan motor pastinya, dan cenderung menjadi lahan yang susah untuk di jamah. Sampai di Jenggawur kami sudah lelah dan kepanasan, anakku di jok belakang sudah tertidur jadi final penelusuran justru tidak bisa turun ke medan. Bahkan sampai di Rejasa dimana harusnya saya turun ke bendungan dan syphon di sungai Merawu pun ternyata tersesat ke jalur depo pasir sungai Merawu yang hanya dapat di lalui truk besar pengangkut pasir. Fuih .. berat sekali medannya, dan akhirnya mengalah dan rehat sejenak di masjid Agung Banjarnegara, sebelum melanjutkan mblusuk ke Stasiun Bandjarnegara dan mencari duuriann .. ..
Terimakasih Kayla (anakku) dan Istriku dah menemaniku mblusuk.



Rabu, 11 Mei 2011

Suikerfabriek Poerwokerto

Pada tahun 1893 bertepatan dengan rencana pembangunan jalur kereta Serajoedal Stoomtram Maatschappij dari Maos ke Purwokerto berdiri juga sebuah pabrik gula di Purwokerto yang dipimpin oleh administratur M.C. Brandes. Komplek pabrik gula yang berada di antara kota lama Purwokerto dengan kota baru Purwokerto ini dibangun lengkap dengan perumahan pegawainya. Pabrik berada di sebelah selatan jalan dan perumahan pegawai tinggi berada di sebelah utara jalan raya, sedangkan mess untuk pegawai rendahan berada di sebelah selatan pabrik.

purwokertoheritage
Bangunan awal depan pabrik gula Poerwokerto, bangunan ini menghadap ke utara
foto sekitar tahun 1900

Perkebunan tebu milik pabrik ini tersebar dari sekitar Purwokerto hingga Ajibarang, Karangpucung, Pamijen, Pandak, Banteran dan Karangbenda (Berkoh), ini terlihat pada jalur rel Lorie pada peta Belanda tahun 1944. Namun daerah yang tidak dapat di bangun rel lorie tebu diangkut dengan menggunakan gerobak dengan tenaga pendorong manusia, seperti daerah Ajibarang dan Kalibogor.

Pada tahun 1915 perusahaan di pimpin oleh Ferdinand Hendrik Schroder yang menikah dengan Jeanne Doornik putri dari Charles Doornik. Pada akhir masa beroprasinya pabrik gula dipimpin oleh L. Stegeman 
Setelah Hindia Belanda mengalami masa krisis ekonomi (Mailese yang berlangsung mulai tahun 1928) pabrik ini tidak bisa di pertahankan lagi. Pada tahun 1935 pabrik akhirnya gulung tikar dan asetnya digabungkan dengan pabrik gula Kalibagor. Beberapa rumah pegawai hingga kedatangan Jepang pada tahun 1942 masih di tempati oleh bekas pegawai

Dalam ingatan penulis, salah seorang pegawai berkebangsaan Belanda bernama Max Doornik (Lahir di Klaten 4 Maret 1886) yang menjabat sebagai Tuinopcichter (Pengawas kebun/Mandor) menikahi gadis lokal asal Bukateja bernama Robingah. Max Doornik adalah anak ke tujuh dari sepuluh bersaudara, ayahnya Jacob Gerrit Doornik beristrikan pribumi Gusti Suminah yang masih keturunan Kraton Solo. (SUMBERJacob Gerrit Doornik adalah kakak dari Charles Doornik diatas.

Sisa-sisa pabrik telah berubah-ubah fungsinya hingga sekarang. Setelah pabrik gulung tikar, berubah menjadi gedung olahraga ISOLA, kemudian menjadi gedung Bioskop Presiden, menjadi pusat perbelanjaan Moro dan Rita. Sedangkan perumahan pegawai senior berada di seberang jalan jensud. Perumahan ini pernah di pakai juga oleh TNI untuk perkantoran KODIM, namun entah kenapa pada era bupati Rudjito bangunan ini di jual kepada pihak swasta, dan di bangunlah Ruko Eks. KODIM.




purwokertoheritage
Peta Belanda tahun 1899

purwokertoheritage
Peta Belanda tahun 1928

purwokertoheritage
Peta Belanda tahun 1944

purwokertoheritage
Potret kelompok staf lama dan baru pabrik gula Poerwokerto | sekitar tahun 1900

purwokertoheritage 
Rumah administrator pabrik gula Poerwokerto di Jawa Tengah | Sekitar tahun1900-1905

purwokertoheritage 
Keluarga Korndörffer dengan anak bayinya, foto kepala bayi sudah di sisipkan

purwokertoheritage 
Nyonya Korndörffer dengan putrinya di teras rumahnya


purwokertoheritage   
Sebuah deretan rumah untuk staf senior pabrik gula Poerwokerto. Daniels dan Brandes berpose di kereta terbuka | 1890-1915

purwokertoheritage
Pemandangan selatan perusahaan gula Poerwokerto | Sekitar tahun1900-1905

purwokertoheritage
Menorong gerobak sarat dengan tebu dari Adjibarang untuk perusahaan gula Poerwokerto | sekitar tahun 1905

purwokertoheritage
Jembatan kayu di atas sungai Logawa di Karang Anjar. Jembatan ini diperlukan untuk transportasi tebu perusahaan gula Poerwokerto | sekitar tahun 1900

purwokertoheritage   
Stasiun Timur Poerwokerto dekat dengan Pabrik gula Poerwokerto. Rangkain gerbong barang mengangkut hasil pertanian | sekitar tahun 1900


Poosting pertama pada 30 Juni 10


Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 3.0 Unported License

Kamis, 28 April 2011

DAM Kali Bandjaran dan Kali Kradji Poerwokerto

1930 selesai sudah pembangunan DAM kali Bandjaran di sebelah timur desa Kober tepatnya di desa Karangandjing. Aliran DAM kali Bandjaran di alirkan untuk memperbesar aliran kali Krandji yang mengair di tengah kota Purwokerto (Pagoewon). yang nantinya akan di bendung juga di Krandji (sebelah barat Stasiun Timur). Aliran DAM Krandji di alirkan ke pesawahan Tipar, Tanjung, Kedungwringin, keselatan sampai Patikradja dan selatan Gunung Toegel.

Banjoemas Heritage
Peta aliran DAM Kali Bandjaran dan kali Krandji

Banjoemas Heritage
DAM kali Bandjaran di desa Karanganjing

Banjoemas Heritage
Pintu air dari sungai Bandjaran

Banjoemas Heritage
Pintu air yang mengalirkan air ke sungai Krandji

Banjoemas Heritage
Pintu air dari sungai Krandji

Banjoemas Heritage
Aliran air irigasi

Banjoemas Heritage
Bendungan Krandji dilihat dari atas (Jalan)

Banjoemas Heritage
Aliran air yang mengalir sampai Patikradja

Banjoemas Heritage
Selokan yang miring, di dekat jembatan Krandji

Gambar diambil dari
http://commons.wikimedia.org/
Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 3.0 Unported License

Jumat, 08 April 2011

Sejarah Bank BRI

Raden Bei Aria Wirjaatmadja sebagai seorang patih di Kabupaten Purwokerto, suatu saat tercengang mendengar seorang Guru di wilayahnya yang ingin mengadakan sebuah pesta besar dengan cara berhutang kepada seorang rentenir Tionghoa dengan bunga yang sangat tinggi.

Sehingga Raden Bei Aria Wirajaatmadja sebagai seorang priyayi dan juga pengurus kas masjid berpikir untuk membuat sebuah lembaga bagi pegawai Pangreh Pradja agar tidak terjerat oleh hutang dengan bunga yang tinggi. Maka didirikanlah De Poerwokertosche Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden pada 1894 yang dikelola dan di peruntukan untuk kalangan priyayi untuk mendapatkan Pinjaman, maka oleh masyarakat di juluki sebagai "Bank Priyayi".

Asisten Residen Banyumas yang pada waktu itu dijabat oleh E. Sieburgh, membantunya menjadikannya sebuah lembaga yang resmi dan berganti nama menjadi Hulp - en Spaarbank der Inlandsche Bestuur Ambtenaren (Bank Bantuan dan Simpanan Milik Pegawai Pangreh Praja Berkebangsaan Pribumi) pada 16 Desember 1895. Tanggal inilah yang dijadikan tanggal berdirinya Bank Rakyat Indonesia.

Namun pengganti E. Sieburgh yaitu W.P.D. De Wolf van Westerrode (Asisten Residen Poerwokerto) yang pernah mengelola sebuah bank di Jerman pada tahun 1897 bank ini di tata ulang dan berganti nama menjadi Poerwokertosch Hulp Spaar en Landbouw Kredietbank (Bank Bantuan Simpanan dan Kredit Usaha Tani Purwokerto). Ini berarti bahwa De Wolf melakukan perluasan kebijakan penyaluran kredit yang tidak hanya kepada para priyayi saja, namun pegawai kabupaten (afdeling) juga memperoleh kesempatan untuk mendapatkan kredit dengan catatan lolos dalam memenuhi persyaratan. Dan pada perkembangannya Poerwokertosch Hulp Spaar en Landbouw Kredietbank lebih dikenal dengan Volksbank atau Bank Rakyat. Ini berarti bahwa usaha "merakyatkan" banknya telah membuahkan hasil.

Keberhasilan ini memberi pengaruh terhadap daerah lain yang mempunyai asisten residen untuk mendirikan bank serupa. Pendirian bank-bank di setiap daerah juga diikuti dengan pembentukan lumbung-lumbung desa yang kelah berubah menjadi Badan kredit Desa (BKD) dan KUD. Kemudian selanjutnya di jadikan bank sentral untuk lembaga perkreditan di pedesaan. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mendirikan kas sentral lewat Keputusan Raja Belanda No.118 tertanggal 10 Juli 1912, yang tertuang dalam Staatblad 1912 No. 392, dengan nama lembaga Centraale Kas Voor het Volkskredietweswen.

Pendirian Kas Sentral inilah yang justru membuat bank-bank rakyat kurang berkembang. Kemudian parlemen (Volksraad) memutuskan untuk dibentuknya Algemene Volkskredietbank (AVB). AVB didirikan untuk melakukan penggabungan antar bank rakyat (Volksbank lokal) guna menghindari kesulitan finansial akibat kebangkrutan.

Pada tahun 1942 jepang datang dan berkuasa hingga 1945, Algemene Volkskredietbank ditutup dan selanjutnya diubah menjadi Syomin Ginko, pembukaan kembali Syomin Ginko yang bekas AVB itu dilakukan lewat Gunseikan (penguasa tertinggi pemerintahan militer Jepang). Dan cabang-cabangnya hanya dibuka pada daerah yang ditempati oleh bala tentara Jepang saja. Lembaga keuangan tersebut kemudian juga dimanfaatkan pemerintah militer Jepang untuk mendukung biaya perang.

Setelah Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Syomin Ginko pun berubah menjadi Bank Rakyat Indonesia (BRI). Secara de facto BRI dikuasai oleh pegawai Indonesia. Direksi pertama BRI adalah M. Harsoadi (presiden direktur), M. Soegijono Tjokrowirono (direktur), dan M. Soemantri (direktur merangkap sekretaris). Pada awalnya, BRI berkantor di Gedung Escompto (bekas kantor Bank Escompto pada masa penjajahan Belanda dan kantor Syomin Ginko pada masa Jepang) yang terletak di Jakarta Kota. Pengukuhan ini terjadi pada 22 Februari 1946 melalui peraturan pemerintah (PP). Dalam pasal 2 PP tersebut dinyatakan bahwa wilayah kerja BRI adalah di seluruh Indonesia. Dengan dikeluarkannya PP ini, baik secara de facto maupun de jure, BRI menjadi bank pemerintah pertama sebagai kelengkapan negara Republik Indonesia.

Presiden pertam Indonesiapun memprakarsai penggabungan BRI dengan Bank Tani Negara dan Nederlandsche Handels Maatschappij (NHM) yaitu perusahaan Belanda yang telah dinasionalisasi pada 1960 menjadi Bank Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN). BKTN adalah penyokong revolusi agraria yang dicetuskan pada 24 September 1960 yang bertugas membantu usaha-usaha koperasi, pada umumnya, serta kaum tani dan nelayan pada khususnya.

Dalam pidatonya dalam bidang ekonomi pada 28 Maret 1963, yang menegaskan strategi dasar dan kebijakan jangka pendek yang akan ditempuh pemerintah di bidang perekonomian. Untuk mencapai tujuan itu, BKTN memberikan fasilitas pinjaman kredit kepada nelayan dan petani untuk memperbaiki taraf hidup mereka disertai dengan pendidikan, bimbingan, dan pengawasan.

Masa Orde Baru, Presiden Soeharto waktu itu mencanangkan program rehabilitasi, stabilisasi, dan program pembangunan. Untuk menyukseskan program itu, BRI dilibatkan secara aktif dengan UU No. 21 Tahun 1968 tentang Bank Rakyat Indonesia. Pada pasal 7 UU itu, ditegaskan bahwa BRI diarahkan kepada perbaikan ekonomi rakyat dan pembangunan ekonomi nasional dengan jalan melakukan usaha bank umum dengan mengutamakan pemberian kredit sektor koperasi, tani, dan nelayan. BRI juga mesti membantu petani dan nelayan dalam mengembangkan usahanya; membantu koperasi dalam menjalankan kegiatan bidang kerajinan, perindustrian rakyat, perusahaan rakyat dan perdagangan rakyat.

Keterlibatan BRI dalam bisnis pedesaan di awal Pelita pertama 1969 tampak setelah ditunjuk oleh pemerintah untuk menyalurkan kredit program bimbingan massal(bimas). Program bimas, yang terutama ditujukan untuk menggenjot swasembada beras, mengalami beberapa kali penyempurnaan. Bentuk penyempurnaan program bimas itu, antara lain yang cukup berhasil adalah dengan pembentukan BRI Unit Desa. Sampai sekarang, lembaga ini masih ada dan menjadi sahabat para petani, nelayan, dan koperasi unit desa (KUD) dalam urusan kredit.