Rabu, 05 Juli 2023

PENDAFTARAN JELAJAH KOTA PURRBOLINGGO #1

 


Jelajah Kota Purbolinggo #1
Minggu 9 Juli 2023
07.00 - Selesai

Pendaftaran
www.banjoemas.com
DAFTAR DISINI
pre 50K ots 75K
(Makan Siang, Souvenir dan donasi komunitas)


Jelajah ini menggunakan kendaraaan roda 2 yang disediakan sendiri ya !

cp : Moy  0895 3397 29944 / Tiwi 0857 4210 9023
rek. BRI 1377-01-005854-531 a/n Priatin Abdi Pertiwi (Konfirmasi setelah transver ya)


Senin, 15 Mei 2023

Pendaftaran Jelajah Kota Purwakerta #2



Jelajah Kota Purwakerta
Kota Lama Purwokerto
Minggu 21 Mei 2023
jam 07.00 - 11.00 wib

Rute 
Hotel Besar (titik kumpul) - Pasar Pembimbing - Gedung Adi Guna - Pasar Wage - Klenteng Hok Tek Bio - Kauman - Es Brasil - Rumah Kapten Tionghoa - Roti Go

Pendaftaran
sudah ditutup

Keikutsertaan: umum 25K | anggota 20K
free snack & drink

cp : Moy  0895 3397 29944 / Tiwi 0857 4210 9023
rek. BRI 1377-01-005854-531 a/n Priatin Abdi Pertiwi (Konfirmasi setelah transver ya)

Sabtu, 13 Mei 2023

Raden Aria Adipati Sudjiman Mertadiredja Gandasoebrata

Raden Adipati Aria Sudjiman Mertadiredja Gandasoebrata merupakan bupati Banyumas ke 19 yang lahir pada 10 Mei 1890 di desa Prigi Banjarnegara dan meninggal pada 10 Juni 1955 di Purwokerto. Beliau terkenal dengan sebutan bupati 3 jaman karena beliau mengawali menjadi bupati pada masa kolonial Belanda, kemudian masa Jepang berkuasa selama 3,5 tahun dan masuk pada jaman baru setelah kemerdekaan Indonesia. Beliau juga merupakan bupati terakhir yang diangkat secara turun-temurun. Pada masa kepemimpinannya juga kabupaten Banyumas dan kabupaten Purwokerto digabung menjadi satu dan memindahkan pendopo kabupaten Banyumas ke kota Purwokerto.

 


Lahir pada 10 Mei 1890 - Meninggal 17 Juni 1948
Koleksi Ndalem Kepangeranan

R Sudjiman Mertadiredja Gandasoebrata merupakan putra sulung dari RAA Gandasoebrata yang lahir di dusun Prigi kabupaten Banjarnegara pada 10 Mei tahun 1890 dari ibu Raden Pudjasari (Rara Sudjinem). Sejak kecil beliau dan adiknya R Soedirman Gandasoebrata diasuh langsung oleh neneknya, yaitu Raden Aju Pangeran Mertadiredja yang sangat patriarki dan feodal dengan budaya Jawa yang masih sangat kental pada saat itu.

Karir R Sudjiman

Sejak berumur 9 tahun (1899) bisa masuk sekolah dasar Belanda ELS (Europeesche Lagere School) selama 6  tahun di Banyumas, salah satu gurunya adalah C Huge yang mengajarkan bahasa Belanda dan bahasa Prancis. Kecakapannya menggunakan kedua bahasa itulah yang menyebabkan R Sudjiman dapat diterima di HBS Semarang dan kemudian pindah ke HBS Batavia (KW III School) pada usia 16 tahun (1906). Enam tahun kemudian beliau lulus dan kembali ke Banyumas untuk bekerja menjadi Pengereh Pradja di Karsidenan Banyumas (1912).

Setelah bekerja selama 6 tahun pada tahun 1918 R Sudjiman kembali bersekolah di Bestuur School di Batavia selama dua tahun. Sekolah 6 tahun ini diperuntukan bagi Pangereh Pradja (pegawai negeri) pribumi. Setelah lulus beliau kembali lagi menjadi Pangereh Pradja di Banyumas. 

Sebagai calon penerus bupati Banyumas, R Sudjiman harus mempunyai pendidikan yang tinggi dan juga harus belajar bekerja dari bawah, setelah kurang lebih selama 10 tahun menjadi pangereh pradja beliau diangkat menjadi Asisten Wedana di Banyumas, kemudian menjadi Wd. adspirant Controleur hingga tahun 1925. Di tahun 1926 beliau menjadi Wedana Ajibarang kemudian Wedana Purwokerto dan pada tahun 1930 beliau menjabat patih di kabupaten Kendal karsidenan Semarang. 

Ayahnya mengajukan pensiun pada tahun 1933, kemudian R Sudjiman diangkat bupati dengan gelar Tumenggung setelah turun besluit gouvernement tertanggal 25 April 1933 no 2, sehingga bisa di tulis sebagai Raden Toemenggung Sudjiman Mertadiredja Gandasoebrata

Pengangkatan dirinya betul-betul pada masa yang sangat sulit, karena wilayah karsidenan Banyumas sejak tahun 1923 telah mendapatkan peristiwa buruk secara berkepanjangan. Krisis ekonomi (Pageblug/mailese/jaman mleset) sudah menghadang di masa awal pemerintahannya Hingga puncak krisis jatuh pada tahun 1933 hingga 1955.

Tidak hanya itu saja bupati juga mengalami beberapa periode masa sulit dan revolusi diantaranya adalah masa kedatangan dan pendudukan balatentara Jepang, masa kemerdekaan, masa revolusi kemerdekaan, masa polisionil dan pemberontakan DI TII.

Pernikahan

R Sudjiman menikah dua kali, pertama dengan RA Siti Fatimah putri dari Bupati Cirebon R Ad Pandji Ariodinoto, yang kemudian melahirkan RA Tuti Sudjimah Mangundjojo lahir pada tahun 1915 dan Mr R Budiman Gandasoebrata yang lahir pada tahun 1917.

Pada tahun 1926 saat menjabat sebagai wedana Ajibarang menikah lagi dengan putri ketiga seorang dokter di Karawang yang berasal dari Banyumas dr. R Taroenamihardja, bernama Raden Ayu Siti Subindjai yang lahir pada 19 Maret 1904 di Bindjai Sumatra Utara. Raden Ayu Siti Subindjai berpendidikan tinggi, beliau merupakan mahasiswa dan lulusan wanita pribumi pertama di Rechts Hooge School di Batavia. Darinya R Sudjiman memperoleh 5 orang putra yaitu R Adjito (Lahir 1928), R Poerwoto Soehadi, RAdj Trimalijah, RAdj Wahdjudijati dan R Istidjab.

Penggabungan Dua Kabupaten

Pada tahun 1936 beberapa kabupaten dihapuskan dan digabungkan dengan kabupaten lain, diantaranya adalah kabupaten Banyumas yang harus digabungkan dengan kabupaten Purwokerto. Bupati yang menjabat pada waktu itu adalah bupati RAA Tjokroadisurjo. Sebelum betul-betul dileburkan ke dalam kabupaten Banyumas, bupati Purwokerto yang juga sudah berusia lanjut tersebut mengundurkan diri.

Penggabungan kabupaten Purwokerto ke dalam wilayah kabupaten Banyumas, adalah salah satu solusi untuk memperkecil pengeluaran pemerintah Hindia Belanda di Banyumas. Atas usulan ayahnya PA Gandasoebrata yang juga anggota Folkstraad pada saat itu, mengusulkan untuk memindahkan pusat pemerintahan kabupaten ke kota Purwokerto. Meskipun sebenarnya pemindahan ini sudah menjadi polemik tersendiri pada masa itu dan ini menjadi sebuah kesempatan untuk merealisasikannya.

Residen Banyumas yang pada waktu itu sedang menjabat HGF van Huls juga setuju ketika pendopo Sipanji yang berada di kota Banyumas dipindahkan ke Purwokerto menggantikan pendopo kabupaten Purwokerto yang kropos dan kecil. Pendopo Sipanji dianggap sangat bersejarah  dan merupakan pusaka yang sudah turun temurun semenjak didirikan oleh RT Judanegara III.

Setelah pembangunan kembali dan renovasi pendopo kabupaten Purwokerto selesai maka pada tanggal 5 Maret 1937 Keluarga Bupati RT Sudjiman pindah ke rumah bupati di Purwokerto, dengan iring iringan dan sambutan dari masyarakat luas. Sepanjang jalan antara Banyumas dan Purwokerto masyarakat berdiri di pinggir jalan, hingga puncaknya di sekitar alun-alun Purwokerto para pelajar menyanyikan lagu bersama-sama sambil mengibarkan bendera Belanda kecil-kecil. Di pendopo kabupaten sebuah panitia kecil yang dipimpin oleh R Djiwosewodjo menyambut kedatangan rombongan dengan upacara penyambutan. 

Alun-alun yang pada waktu itu masih terdapat jalan tengah dengan pohon beringin berusia seratus tahunan peninggalan Bupati pertama kabupaten Purwokerto, lapangan tenis dan bangunan gedung pertunjukan ini dianggap harus di perbaiki lagi. Sehingga pada keesokan harinya pohon beringin diganti dengan pohon beringin yang baru, lapangan tenis dipindah ke seberang sekolah tehnik (sekarang departemen perindustrian) dan gedung pertunjukan dipindah ke sebelah timur pasar Manis menjadi gedung Kesenian Purwokerto dan kemudian menjadi gedung kesenian Soetedja. 

Selanjutnya banyak sekali perubahan yang dilakukan oleh RT Sudjiman dalam memperbaiki penampilan kota Purwokerto, dari pelebaran jalan, pembuatan taman kota di ujung jalan SDS (jl Mereka sekarang jadi BI) hingga penataan warung-warung yang berada di emperan toko di jalan-jalan besar di dalam kota.

Penghargaan

Atas prestasi yang diberikan terhadap masyarakat dan dihadapan pemerintah kerajaan Belanda, Bupati hingga akhir jabatannya mendapat gelar Raden Aria Adipati Sudjiman Mertadiredja Gandasoebrata.  

Gelar Aria dari pemerintah Belanda (Besluit 15 Agustus 1936 no 14) yang diberikan oleh Residen HGF van Huls pada tanggal 31 Agustus 1936, sedangkan gelar Adipati dianugerahkan menggantikan gelar Tumenggung pada  tanggal 25 Agustus 1939 yang disematkan oleh residen baru Banyumas Mr J Ruys rumah jabatan Residen di Purwokerto. 

Pemikirannya dalam bidang Ekonomi di masyarakat Banyumas pada masyarakat bekas buruh pabrik gula menyebabkan bupati RAA Sudjiman ditunjuk sebagai anggota Suiker Commissie untuk memperbaiki aturan-aturan mengenai perburuhan, industri gula dan sewa-menyewa lahan di Banyumas. selain itu RAA Sudjiman juga diangkat sebagai anggota Komisi PTT (Post Telegraaf en Telefoondienst)


Masa Jepang

Sesuai dengan Geventie Genève (peraturan internasional yang disepakati di Jenewa) Bupati harus menghadapi tentara Jepang, sehingga dalam waktu singkat dibentuklah panitia penyambutan yang dipimpin oleh R Kabul Purwodiredjo (Patih Banyumas), sekertaris oleh Moehammad Muljo dan Mantri Kabupaten Moehammad Soedarmadi beserta Pangereh Praja di Kabupaten.

Dihadapan tentara Jepang, panitia penyambutan, bupati dan pejabat Belanda berdiri sambil memperkenalkan diri. Residen sebagai pejabat tertinggi Belanda di Banyumas mendapatkan pertanyaan-pertanyaan seputar kekacauan di karsidenan Banyumas dan perlawanan militer Belanda. Dan setelahnya tentara Jepang menginap di Hotel Tram SDS.

13 Maret 1942 bertempat di pendopo sipanji terjadi serah terima kekuasaan wilayah Banyumas dari pemerintah Kerajaan Belanda kepada Kerajaan Jepang, antara Jendral Koks dan Jendral Sakaguci. Acara serah terima berlangsung dari jam 10 pagi hingga jam 12 siang ini masing-masing menggunakan penterjemah kedalam bahasa Inggris.


Masa Kemerdekaan

Di Banyumas tidak ada pengumuman resmi dari kantor Syutyo (Karsidenan) mengenai kekalahan Jepang, maka patih Banyumas Mr Iskak Tjokoroadisoerojo pergi ke Jakarta dan mendapatkan informasi bahwa balatentara Jepang sedang menunggu kedatangan Sekutu untuk diserahkan kembali wilayah Indonesia ini ke Sekutu.

Namun pemuda-pemuda di Jakarta bertindak cepat, pada tanggal 17 Agustus 1945 mendorong pemuda Soekarno dan pemuda Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun informasi berita kemerdekaan Indonesia terlambat diterima di Banyumas

Kamis, 23 Maret 2023

Sejarah Hotel Besar Purwokerto

Masa mailese tidak berarti keterpurukan bagi semua pihak, bagi perusahan perusahaan Belanda yang menggantungkan penjualannya ke Eropa mungkin banyak yang "goyang", bahkan gulung tikar, namun bagi usaha-usaha yang bersifat lokal jutru tidak begitu.

Hotel Besar dibangun pada tahun 1930 masa dimana awal terjadinya mailese, jadi belum begitu terasa bahwa krisis ekonomi itu akan berlangsung selama bertahun-tahun kedepan. Hotel ini satu-satunya yang berdiri di kota lama Purwokerto yang berpusat di pasar Wage, dimana hotel-hotel pendahulunya didirikan di kota baru Purwokerto yang berpusat di Paguwan (alun-alun sekarang) seperti hotel Tram milik SDS, Hotel Trio dan Grand hotel.


Tampak depan hotel Besar pada tahun 1940
Koleksi Rumah Arsip Banjoemas

Tampak depan hotel Besar pada 22 Maret 2023
Dokumentasi Yehezkiel Vide



Foto ny. The Sia dan cucunya The Han Key 
Dokumentasi Penulis koleksi Hotel Besar

The Shia awalnya berjualan jamu dengan istrinya di seberang hotel yang sekarang menjadi toko emas Sembada, namun karena kota Purwokerto yang berkembang pesat melihat peluang utuk mendirikan hotel satu-satunya di "China Kamp" (Peta Purwokerto tahun 1899) dengan nama Tjiang Tjoan Lie Kwan. The Shia berharap diusianya yang senja dapat lebih bersantai dengan mengelola hotel, namun sayangnya anak satu-satunya The Ting Hok tidak berminat mengelola hotel orang tuanya. Yang berminat belajar mengelola hotel miliknya justru cucunya The Han Key yang pada waktu itu baru berumur 21 tahun. Setelah 6 tahun bekerja pada kakeknya baru pada tahun 1939 dimana perekonomian Hindia Belanda sudah membaik The Han Key baru diberikan kepercayaan penuh untuk memegang Hotel Besar. 

Pada tahun yang sama The Han Key juga menikahi Cen Cu Cin dan memiliki 4 orang putra dan putri yaitu Dien Tjie, Che Sing, Sin Tjien dan Tjen Hauw. Istri The Han Key setelah kemerdekaan membuka sebuah toko kasur untuk pengantin dan kasur biasa di belakang hotel. 

Setelah The Han Key meninggal pada tahun 1971 hotel diteruskan pada putranya yang ke 3 yaitu The Sin Tjen, yang sejak kecil sudah diajarkan oleh nyonya The Han Key bagaimana mengurus hotel. Setelah mengurus hotel berjalan selama 3 tahun The Sin Tjen menikah dengan Liu Fang Lan pada tahun 1974. 

Pada tahun 2006 The Sin Tjen melakukan perubahan besar pada hotel Besar dengan membongkar bangunan-bangunan sebelah timur dan bekas toko kasur menjadi cafe dan tambahan kamar yang tadinya berjumlah 19 menjadi 33 kamar dan mengganti ubin dengan keramik. Dan juga mengganti nama menjadi hotel Mulia.

Iklan Hotel Besar di sebuah buku advertensi
Koleksi Rumah Arsip Banjoemas

Namun nama hotel Mulia hanya bertahan selama 9 tahun saja dan pada 1 Februari 2015 hotel kembali pada nama lama yaitu Hotel Besar. Hotel ini menjadi satu-satunya yang tertua di ko ta Purwokerto yang masih beroperasi dan terus menerus di kelola oleh keluarga The.

Tahun 1950 hotel no. 332 no Telepon 111
Tahun 1955 hotel no. 292 no Telepon 111

Dirangkum dari beberapa sumber
Terimakasih sebesar-besarnya kepada Isabela Riyanti dan keluarga besarnya.