Sabtu, 27 Juli 2019

Tamasya Bersama R Soetedja

www.banjoemas.com

Raden Soetedja dan Siti Asiah (repro. dok keluarga Soetedja)

RADEN Soetedja Poerwodibroto, semua orang jamak mendengar nama yang selalu dikaitkan dengan dua hal, pertama langgam keroncong "Di Tepinya Sungai Serayu" yang selalu terdengar saat kereta tiba di Stasiun Purwokerto, dan kedua, Gedung Kesenian Soetedja yang baru menyelesaikan pembangunan gedung teater indoor-nya. Lantas, siapa sebenarnya sosok pencipta lagu yang namanya justru jarang didengar di tanah kelahirannya ini.

Sebelum mencari jejak sang komponis, ada baiknya memutar lagu berjudul "I'I'I' (Seruanku)" ciptaan R Soetedja dengan syair yang ditulis Mahargono. Perjalanan dimulai dengan memasuki gang sempit di belakang sebuah mall tepat di jantung Kota Purwokerto. Tak banyak yang tahu, kisah tentang pria kelahiran 15 Oktober 1909 ini berawal dari balik kemegahan gedung itu, 50 meter ke arah timur dari parkir basement.

Tak jauh dari pusat perbelanjaan lima lantai itu, terdapat rumah bercat putih berdinding kusam, berjendela berwarna biru. Sejenak, terbersit dalam pikiran, mungkin tak ada yang pernah menyangka rumah ini adalah saksi bisu masa kecil Raden Soetedja, anak keempat dari delapan bersaudara, buah kasih Poerwadibrata.

Kondisi bangunan itu masih utuh. Beberapa ekor burung gereja terbang bebas di pelataran. Orang yang lalu lalang di Jalan Pereng, Purwokerto tentu paham, bangunan yang kini difungsikan sebagai gudang itu berusia cukup tua.
Rumah Bapak R Soetedja, R Poerwadibrata (sekarang milik Rita Supermall)
Warga setempat lebih akrab dengan sebutan rumah "Bu Sisten", merujuk pada Siti Asiah, istri Poerwadibrata, ayah kandung Soetedja. Rumah itu dibiarkan kosong selama puluhan tahun sebelum akhirnya dimiliki oleh salah satu taipan Kota Mendoan.

Setelah puas melihat-lihat bangunan tua itu, perhentian berikutnya adalah rumah dinas Poerwadibrata. Lagu gubahan Soetedja "Aku Jadi Kepala" yang syairnya ditulis Utjin, menjadi pengantar saat melihat-lihat rumah dinas Asisten Wedana Kebumen, di Desa Rempoah, Kecamatan Baturraden.

Di rumah ini, Soetedja dibesarkan sebelum diangkat sebagai anak oleh Raden Soemandar. Sayangnya, tak banyak yang bisa diketahui dari sini. Sebab bangunan utama sudah berubah menjadi Puskesmas II Baturraden.

Pun demikian dengan rumah milik R Soetedja ketika sudah berkeluarga di Jalan Komisaris Bambang Suprapto atau yang lebih dikenal bekas Hotel Adam. Bangunan itu telah berubah menjadi deretan rumah toko.

Satu-satunya jejak masa kecil yang masih tersisa adalah kediaman ayah angkat sekaligus paman Soetedja, Raden Soemandar. Dalem Kemandaran merupakan sebuah rumah tua di tepi jalan Purwareja Klampok, Banjarnegara, sekitar satu jam perjalanan dari Kota Purwokerto.

Beberapa daftar lagu milik Soetedja seperti lagu Selamat Berjuang, Hamba Menyanyi, Keroncong Melati Pesanku, Keroncong Senja, sampai Tidurlah Intan bisa menjadi teman perjalanan menuju rumah yang berada di komplek Pasar Purwareja Klampok.

Dalem Kemandaran, Klampok, Banjarnegara (dok. Nugroho Pandhu Sukmono)
Rumah bergaya Belanda ini menjadi taman bermain bagi R Soetedja semasa dibesarkan oleh orang tua angkatnya. Raden Soemandar, adalah orang terpandang pada masa Hindia Belanda. Dia pengusaha karung, pemilik kebun tebu dan batik saat kejayaan ekspor gula di Karesidenan Banyumas. Dalem Kemandaran sendiri diambil dari nama Soemandar, tujuannya untuk memudahkan pengantar surat tidak salah alamat.

Tahun 1971, satu keluarga bidan menyewa rumah ini. Lalu, difungsikan sebagai klinik pengobatan hingga sekarang. Bangunan utama yang tadinya digunakan sebagai kantor pengelolaan bisnis Soemandar masih terlihat utuh. Demikian pula dengan pabrik batik di sayap timur rumah utama.

Di rumah inilah, bakat Soetedja sebagai komponis besar mulai terlihat. Soetedja kecil memiliki kebiasaan yang cukup berisik. Dia gemar memainkan peralatan batik untuk bermusik.

Ketika berusia 10 tahun, Soemandar membelikan biola Stradivarius Paganini buatan tahun 1834 yang dilengkapi dengan sebuah piano pada pemberian berikutnya. Kemahirannya bermusik tampak ketika dia mendirikan band semasa duduk di bangku sekolah menengah.

Lagu "Ditepinya Sungai Serayu" yang legendaris itu, lahir berkat kemauan kerasnya untuk menekuni dunia musik. Syair itu tercipta kala berhasil menaklukkan ayah angkat dan menyekolahkannya ke Konservatori Musik Roma, Italia.

Jejak-jejak terakhir R Soetedja masih tertinggal di salah satu sudut studio RRI Purwokerto. Aula Soetedja, yang kini berganti nama Studio Satria masih memajang fotonya. Jika tak percaya, silakan saja mengunjungi ruangan itu.

Konon, ruangan ini merupakan bentuk penghargaan kepada pria yang menggemari kopi dan nasi goreng ini. Setelah sempat menetap di Jakarta tahun 1942, dia sempat kembali ke Purwokerto dan menjabat sebagai Direktur Musik RRI Purwokerto pada tahun 1946.

R Soetedja juga dikenal sebagai sosok yang romantis, gesekan biola, ketukan piano dan aransemennya mampu meluluhkan hati setiap orang yang mendengar. Sebagian besar tembang gubahan Soetedja diciptakan semasa berada di Jakarta. Dia juga menghidupkan Orkes Melati yang kerap tampil di RRI Jakarta, atau bermain di sebuah klub bernama Wisma Nusantara, pojok Istana Negara serta memimpin korps musik Angkatan Udara Republik Indonesia.

Sayangnya, R Soetedja wafat pada 12 April 1960 dan dimakamkan di TPU Karet Jakarta. Penerima penghargaan bidang kesenian pada masa Gubernur Jakarta Ali Sadikin ini meninggalkan seorang istri dan sembilan putra. Meninggal di usia relatif muda dan lemahnya dokumentasi karya, membuat lagu-lagu R Soetedja kurang begitu dikenal pada masa sekarang.

Setelah menempuh perjalanan jauh Purwokerto-Banjarnegara, tamasya bersama Soetedja ini haruslah dilengkapi dengan bersantai di kawasan Lembah Sungai Serayu. Menikmati senja di ketinggian Bukit Watumeja, Desa Tumiyang, Kecamatan Kebasen, ditemani kopi hangat dan mendengar sayup-sayup lagu "Ditepinya Sungai Serayu". (Nugroho Pandhu Sukmono)