Sabtu, 29 Oktober 2011

Penaklukan Pulau Jawa

purwokertoheritage







Penulis; Major William Thorn
Penerbit; Elex Media Komputindo
Tanggal terbit; Maret - 2011
Jumlah Halaman; 436
Jenis Cover; Soft Cover
Kategori; Sejarah Indonesia
Text Bahasa; Indonesia


SINOPSIS BUKU
Peperangan era Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte (1799-1815) mengubah wajah dunia ketika itu, khususnya di Benua Eropa.
Perang itu sebetulnya bersifat kontinental, karena berlangsung di Benua Eropa, tapi kemudian merembet ke daerah-daerah koloni masing-masing negara yang terlibat, salah satunya Hindia Belanda (Jawa).
Inggris saat itu adalah lawan yang paling tangguh bagi Prancis, terutama armada lautnya. Bahkan, Inggrislah kemudian yang mengakhiri kekuasaan Napoleon pada 18 Juni 1815 dalam pertempuran Waterloo.
Pasukan Inggris di bawah kepemimpinan Lord Minto dan Letnan Jenderal Sir Samuel Auchmuty juga yang mengakhiri kekuasaan Prancis di Jawa. Jawa sebelumnya merupakan bagian dari koloni Belanda, tapi setelah Belanda dikuasai Prancis, kekuasaan atas Jawa pun berpindah ke tangan Prancis.
Prancis kemudian menunjuk Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Ia memerintah di sana dari 1808-1811.
Secara keseluruhan, Jawa diambil alih Inggris melalui pertempuran yang sengit di beberapa tempat, seperti di Batavia, Yogyakarta, Semarang, Surabaya hingga Madura.
Buku karya William Thorn ini merekam cukup detail penaklukan Jawa oleh Inggris, karena ia adalah salah satu tentara Inggris dengan pangkat Brigadir Mayor pada divisi pimpinan Sir Robert Rollo Gillespie.
Sebelum ekspedisi ke Jawa, Thorn berpangkat letnan dan terdaftar sebagai pasukan Light Dragoon ke-29 di India selama perang Maratha tahun 1803-1805, dan ikut terlibat dalam penaklukan Aligarth, Delhi, dan Agra tahun 1803.
Ia juga ikut dalam penyergapan Bharatpur pada 1805. Pada 1807, Thorn dipromosikan sebagai kapten dan diangkat sebagai brigadir mayor, ditempatkan di pangkalan militer di Bangalore.
Ia juga berpartisipasi dalam penaklukan Mauritius pada 1810. Thorn meninggal pada 29 November 1843, di Neuwied, yang terletak di Sungai Rhine, setelah menyatakan pensiun pada 1825.
Dalam buku yang selesai ditulis pada 1813 dan diterbitkan pada 1815 di London, Thorn tidak hanya mencatat jalannya peperangan yang terjadi di Jawa, terutama, yang kemudian berlanjut ke wilayah-wilayah lainnya, seperti Sumatera (Palembang), Kalimantan (Banjarmasin), Sulawesi (Makassar), hingga Maluku (Ambon).
Ia juga mencatat cukup detail kondisi sosiokultural masyarakat setempat. Tentang pola hidup masyarakat, kondisi lingkungan (iklim), mata pencarian, struktur pemerintahan hingga tingkat bawah warisan Belanda, kota-kota, jalan-jalan, dan sungai-sungainya.
Sebagian besar catatan itu mulanya ditulis Thorn untuk kepentingan militer Inggris, misalnya untuk mengetahui lokasi-lokasi benteng pertahanan, pos-pos militer, kota-kota, dan pangkalan-pangkalan militer, lengkap dengan peta grafisnya.
Tapi, Thorn kemudian melengkapinya dengan catatan-catatan lainnya. Thorn ini semasa dengan Sir Thomas Stamford Bingley Raffles yang mulai 1811 menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda setelah Jawa berhasil ditaklukkan.
Seperti halnya Thorn, Raffles juga penulis buku tentang Jawa. Namun, bukunya yang berjudul History of Java baru terbit pada 1817, dua tahun setelah buku Thorn ini terbit.
Seluruh penduduk Pulau Jawa dalam catatan Thorn ketika itu diperkirakan berjumlah 5 juta jiwa. Orang-orang pribumi bisa dikelompokkan berada dalam dominasi orang-orang Jawa dan orang-orang Melayu. Orang-orang Eropa terhitung sedikit, seperti halnya China dan Arab.
Orang-orang Melayu dikenal nekat dan suka merantau karena watak mereka yang gemar menjarah, berperang, dan melaut. Mereka ini, menurut Thorn, umumnya lamban, tapi juga di saat bersamaan grasak-grusuk, pendendam, dan pemberontak, serta tidak bisa dipercaya (hlm 216). Meski begitu, keberanian mereka tidak perlu dipertanyakan lagi. Mereka tidak takut mati.
Dibandingkan dengan etnis Melayu, etnis Jawa jauh lebih banyak. Etnis ini terutama mendiami daerah pedalaman. Secara umum, mereka merupakan penggarap tanah (masyarakat agraris).
Dalam pandangan Thorn, etnis Jawa ini dinilai luar biasa lamban, dan boleh dikatakan tidak ada dorongan positif apa pun, ataupun didorong suatu kebutuhan hidup, ataupun menuntut kesenangan hidup, yang bisa membangkitkan mereka dari kondisi yang apatis itu, yang wajar-wajar saja bagi mereka (hlm 218).
Thorn cukup heran dengan kondisi seperti itu, padahal penguasa mereka (Belanda) dianggap jelas-jelas sangat lalim.
Secara fisik, Thorn melihat etnis Jawa jauh lebih menarik daripada etnis Melayu. Kaum perempuannya juga memiliki bentuk wajah yang lebih menarik dibandingkan perempuan-perempuan Melayu.
Mereka biasanya memakai kebaya dan kain panjang hitam, dengan stagen lebar yang melingkari tubuh, yang berfungsi sebagai pakaian dalam. Kaum laki-lakinya berbaju panjang katun warna hitam, berikut sarung yang diikat di pinggang atau sepasang celana selutut.
Orang-orang dari kelas sosial yang lebih tinggi berdandan dengan kain bermotif, sutra, dan beludru yang sangat mereka sukai berhiaskan sulaman.
Mereka memakainya terutama ketika mendatangi acara-acara perayaan dan acara-acara umum lainnya. Agama mereka umumnya Islam. Namun, untuk etnis Jawa, dalam beberapa hal terjadi percampuran dengan tradisi Hindu (sinkretis).
Buku ini menjadi salah satu rujukan berharga untuk melihat sosiokultural masyarakat Jawa abad ke-19 ketika Jawa dikuasai Inggris, selain tentu saja jalannya perang Inggris di Jawa.
Meski kekuasaan Inggris tidak lama di Jawa, karena seiring kekalahan Napoleon pada 1815, Jawa dan Hindia Belanda secara keseluruhan dikembalikan kepada Belanda, tapi catatan Thorn menjadi peninggalan penting untuk melihat Jawa ketika itu. 

*Peresensi adalah Peneliti Institut Studi Agama Sosial & Politik (Isaspol) Jakarta.

Kamis, 27 Oktober 2011

Sisa-Sisa Kejayaan Ko Lie

Perjalanan pencarian beberapa marga keturunan Tionghoa di kota Banyumas dan Sokaraja untuk sebuah proyek silsilah membawaku ke sebuah rumah keturunan keluarga Kho di sekitar pertigaan Klenteng. Pemilik rumah dengan ramah menerima saya dan mempersilahkan untuk memasuki lingkungan Rumah utama keluarga Kho yang sudah tidak di tinggali, dan hanya di gunakan untuk tempat sarang burung lawet saja. Seorang penjaga gedung mengantar saya dan mas Wawan ke dalam gedung, meski tidak begitu paham seperti apa fungsi rumah tersebut dahulunya.

Pada bangunan yang saya kunjungi ini terdiri dari 3 bangunan, Sebuah bangunan ber arsitektur Renaisan, satu bangunan ber-arsitektur Tionghoa dan sebuah bangunan berarsitektur Indisch. Rumah berarsitektur Tionghoa milik keluarga Kho ini sangat khas sebagai arsitektur Campuran antara Arsitektur Cina dan Jawa. Ini di perlihatkan adanya Pendopo di bagian tengah dimana terdapat Soko Guru atau empat pilar utama. Walaupun Dr Pratiwo M Arch, seorang peneliti arsitektur Tionghoa mengatakan bahwa arsitektur Tionghoa di Indonesia bukan merupakan arsitektur asli Tiongkok, karena menurut beliau arsitektur Tionghoa yang berada di Jawa tidak di ketemukan di sana. Namun menurutku tetap adanya unsur-unsur Tionghoa yang khas seperti bentuk atap, dinding, skat pemisah, countyard, ukiran dan beberapa elemen kayu yang tersusun seperti di Kelenteng. Bangunan bergaya Tionghoa terdiri dari tiga bagian yaitu bagian depan, tengah dan belakang. Pada bagian belakang rumah bergaya Tionghoa terdapat kebun yang kemungkinan pada masa yang lalu merupakan taman yang cukup luas.Bangunan bergaya Tionghoa terdiri dari tiga bagian yaitu bagian depan, tengah dan belakang. Pada bagian belakang rumah bergaya Tionghoa terdapat kebun yang kemungkinan pada masa yang lalu merupakan taman yang cukup luas.

Pada bangunan yang bergaya Renaisance berada di samping kanan, yang dulunya merupakan kantor utama N.V. Ko Lie yang di dirikan oleh Kho Tjeng Pek (許清白) pada akhir abad ke 18. Bangunan ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian kantor yang juga terdapat fasilitas kamar mandi dan toilet yang cukup besar, bagian penginapan tamu dimana bangunan ini terdari dua lantai dengan empat buah kamar yang sangat besar, dan yang terahir adalah bagian dapur.

Bangunan terakhir adalah bangunan berbentuk indisch merupakan bangunan dapur dan kamar para pembantu. Bangunan ini terlihat lebih kecil dari kedua bangunan ini



Simulasi tiga dimensi (download) sudah saya siapkan dan bisa dilihat di Google Earth (download) , dengan terlebih dahulu mendowloadnya.




Banjoemas Heritage
Tampakan gedung secara keseluruhan


Banjoemas Heritage
Bagian depan bangunan berarsitektur bergaya Renaisance

 Banjoemas Heritage
Rumah utama berarsitektur Tionghoa


Banjoemas Heritage
Sebuah mobil Opel Olympia (1951) dibiarkan teronggok


Banjoemas Heritage
Detail Ukiran gaya Tionghoa dan 
sebuah plat tembaga bertuliskan aksara Tionghoa


Banjoemas Heritage
Bagian arsitektur bergaya Indisch yang berada di sebelah selatan
(Bangunan ini sudah di bongkar tahun 1912 akhir)


Banjoemas Heritage
Bagian pintu dan jendela bangunan barsitektur Tionghoa


Banjoemas Heritage
Pintu ruangan di dalam bangunan Tionghoa


Hampir di setiap pintu menuju ke dalam ruangan atau ke dalam kamar selalu dihiasi oleh aksara Tionghoa. Ini menunjukan bahwa penghuni pada masa lalunya tidak meninggalkan budaya aslinya.


Banjoemas Heritage
Liyen atau papan syair Tionghoa di ruang tengah 
pada bangunan bergaya Tionghoa



Sebuah dinding pada ruang tengah bangunan bergaya Tionghoa ini terdapat sebuah dinding yang sangat unik karena terdapat panel kayu yang menutupi pintu bagian belakang yang mengarah ke taman belakang. Panel kayu ini terdapat beberapa macam Liyen atau papan syair Tionghoa dengan cat prada yang masih utuh dengan tulisan tionghoa, salah satunya adalah 堂本崇 yang dibaca tang ben chong yang kalau tidak salah diartikan sebagai ruang pada rumah utama, dan beberapa yang lain yang tidak mudah membacanya.


Banjoemas Heritage
Beberapa foto milik keluarga Kho


Banjoemas Heritage
Inner Countyard (ruang terbuka di tengah rumah) di tengah rumah


Banjoemas Heritage
Selasar bangunan bergaya Renaesance


Banjoemas Heritage
Selasar dan atap bangunan bergaya Renaesance


Banjoemas Heritage
Selasar dan pilar bangunan belakang 


Banjoemas Heritage
Penampakan lantai dua pada bangunan belakang

Di Sokaraja terdapat dua keluarga Kho yang sangat kaya raya dan terkenal yaitu keturunan Kho Tjeng Pek pemilik N.V. Ko Lie dan Kho Wan pemilik N.V. Kho Wan. Dua perusahaan importir ini bersaing dalam bisnisnya, namun dari beberapa sumber menyebutkan bahwa yang terkaya adalah N.V. Ko Lie.

Keluarga "Ko Lie" di Sokaraja sangat terkenal karena merupakan Tionghoa kaya pada masa kolonial, sehingga Kho Joe Seng (anak Kho Tjeng Pek yang pertama) diangkat menjadi Letnan Tionghoa Sokaraja dan kemudian di lanjutkan oleh anaknya yaitu Kho Han Tiong hingga di hapuskannya sistem ini pada tahun 1936. 

Keturunan keluarga "Ko Lie" yang terkenal adalah anak ketiga dari Kho Han Tiong yang bernama Kho Sin Kie dimana dia merupakan atlet tenis muda pertama dari Sokaraja yang mendunia yang menjuarai kejuaraan Wimbolden pada tahun 1930 han. Kho Sin Kie merupakan lulusan THHT (Sekolah Tionghoa di Sokaraja). Baca artikelnya disini Kho Sin Kie


Melalui tulisan ini ternyata beberapa keluarga yang masih merupakan anak keturunan dari N.V. Ko Lie sempat menghubungi dan berkomunikasi intens dengan penulis. Mereka meluruskan tulisan penulis yang menurut mereka kurang tepat dan bahkan menceritakan sejarah keluarga lebih detail.
Terimakasih kepada keluarga Kho (Belanda), keluarga Tan, keluarga Go, ibu Leny, penjaga Gedung, mas Wawan dan Koh Senu (keluarga Bhe). Terimakasih juga buat Pak Alfian dari purwokertoantik.com

Beberapa tulisan di ambil dari www.antaranews.com