Penulis; Major William Thorn
Penerbit; Elex Media Komputindo
Tanggal terbit; Maret - 2011
Jumlah Halaman; 436
Jenis Cover; Soft Cover
Kategori; Sejarah Indonesia
Text Bahasa; Indonesia
SINOPSIS BUKU
Peperangan era Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte (1799-1815) mengubah wajah dunia ketika itu, khususnya di Benua Eropa.
Perang itu sebetulnya bersifat kontinental, karena
berlangsung di Benua Eropa, tapi kemudian merembet ke daerah-daerah
koloni masing-masing negara yang terlibat, salah satunya Hindia Belanda
(Jawa).
Inggris saat itu adalah lawan yang paling tangguh bagi
Prancis, terutama armada lautnya. Bahkan, Inggrislah kemudian yang
mengakhiri kekuasaan Napoleon pada 18 Juni 1815 dalam pertempuran
Waterloo.
Pasukan Inggris di bawah kepemimpinan Lord Minto dan Letnan
Jenderal Sir Samuel Auchmuty juga yang mengakhiri kekuasaan Prancis di
Jawa. Jawa sebelumnya merupakan bagian dari koloni Belanda, tapi setelah
Belanda dikuasai Prancis, kekuasaan atas Jawa pun berpindah ke tangan
Prancis.
Prancis kemudian menunjuk Herman Willem Daendels sebagai
Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Ia memerintah di sana dari 1808-1811.
Secara keseluruhan, Jawa diambil alih Inggris melalui
pertempuran yang sengit di beberapa tempat, seperti di Batavia,
Yogyakarta, Semarang, Surabaya hingga Madura.
Buku karya William Thorn ini merekam cukup detail
penaklukan Jawa oleh Inggris, karena ia adalah salah satu tentara
Inggris dengan pangkat Brigadir Mayor pada divisi pimpinan Sir Robert
Rollo Gillespie.
Sebelum ekspedisi ke Jawa, Thorn berpangkat letnan dan
terdaftar sebagai pasukan Light Dragoon ke-29 di India selama perang
Maratha tahun 1803-1805, dan ikut terlibat dalam penaklukan Aligarth,
Delhi, dan Agra tahun 1803.
Ia juga ikut dalam penyergapan Bharatpur pada 1805. Pada
1807, Thorn dipromosikan sebagai kapten dan diangkat sebagai brigadir
mayor, ditempatkan di pangkalan militer di Bangalore.
Ia juga berpartisipasi dalam penaklukan Mauritius pada
1810. Thorn meninggal pada 29 November 1843, di Neuwied, yang terletak
di Sungai Rhine, setelah menyatakan pensiun pada 1825.
Dalam buku yang selesai ditulis pada 1813 dan diterbitkan
pada 1815 di London, Thorn tidak hanya mencatat jalannya peperangan yang
terjadi di Jawa, terutama, yang kemudian berlanjut ke wilayah-wilayah
lainnya, seperti Sumatera (Palembang), Kalimantan (Banjarmasin),
Sulawesi (Makassar), hingga Maluku (Ambon).
Ia juga mencatat cukup detail kondisi sosiokultural
masyarakat setempat. Tentang pola hidup masyarakat, kondisi lingkungan
(iklim), mata pencarian, struktur pemerintahan hingga tingkat bawah
warisan Belanda, kota-kota, jalan-jalan, dan sungai-sungainya.
Sebagian besar catatan itu mulanya ditulis Thorn untuk
kepentingan militer Inggris, misalnya untuk mengetahui lokasi-lokasi
benteng pertahanan, pos-pos militer, kota-kota, dan pangkalan-pangkalan
militer, lengkap dengan peta grafisnya.
Tapi, Thorn kemudian melengkapinya dengan catatan-catatan
lainnya. Thorn ini semasa dengan Sir Thomas Stamford Bingley Raffles
yang mulai 1811 menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda setelah Jawa
berhasil ditaklukkan.
Seperti halnya Thorn, Raffles juga penulis buku tentang Jawa. Namun, bukunya yang berjudul History of Java baru terbit pada 1817, dua tahun setelah buku Thorn ini terbit.
Seluruh penduduk Pulau Jawa dalam catatan Thorn ketika itu
diperkirakan berjumlah 5 juta jiwa. Orang-orang pribumi bisa
dikelompokkan berada dalam dominasi orang-orang Jawa dan orang-orang
Melayu. Orang-orang Eropa terhitung sedikit, seperti halnya China dan
Arab.
Orang-orang Melayu dikenal nekat dan suka merantau karena
watak mereka yang gemar menjarah, berperang, dan melaut. Mereka ini,
menurut Thorn, umumnya lamban, tapi juga di saat bersamaan grasak-grusuk,
pendendam, dan pemberontak, serta tidak bisa dipercaya (hlm 216). Meski
begitu, keberanian mereka tidak perlu dipertanyakan lagi. Mereka tidak
takut mati.
Dibandingkan dengan etnis Melayu, etnis Jawa jauh lebih
banyak. Etnis ini terutama mendiami daerah pedalaman. Secara umum,
mereka merupakan penggarap tanah (masyarakat agraris).
Dalam pandangan Thorn, etnis Jawa ini dinilai luar biasa
lamban, dan boleh dikatakan tidak ada dorongan positif apa pun, ataupun
didorong suatu kebutuhan hidup, ataupun menuntut kesenangan hidup, yang
bisa membangkitkan mereka dari kondisi yang apatis itu, yang wajar-wajar
saja bagi mereka (hlm 218).
Thorn cukup heran dengan kondisi seperti itu, padahal penguasa mereka (Belanda) dianggap jelas-jelas sangat lalim.
Secara fisik, Thorn melihat etnis Jawa jauh lebih menarik
daripada etnis Melayu. Kaum perempuannya juga memiliki bentuk wajah yang
lebih menarik dibandingkan perempuan-perempuan Melayu.
Mereka biasanya memakai kebaya dan kain panjang hitam,
dengan stagen lebar yang melingkari tubuh, yang berfungsi sebagai
pakaian dalam. Kaum laki-lakinya berbaju panjang katun warna hitam,
berikut sarung yang diikat di pinggang atau sepasang celana selutut.
Orang-orang dari kelas sosial yang lebih tinggi berdandan
dengan kain bermotif, sutra, dan beludru yang sangat mereka sukai
berhiaskan sulaman.
Mereka memakainya terutama ketika mendatangi acara-acara
perayaan dan acara-acara umum lainnya. Agama mereka umumnya Islam.
Namun, untuk etnis Jawa, dalam beberapa hal terjadi percampuran dengan
tradisi Hindu (sinkretis).
Buku ini menjadi salah satu rujukan berharga untuk melihat
sosiokultural masyarakat Jawa abad ke-19 ketika Jawa dikuasai Inggris,
selain tentu saja jalannya perang Inggris di Jawa.
Meski kekuasaan Inggris tidak lama di Jawa, karena seiring
kekalahan Napoleon pada 1815, Jawa dan Hindia Belanda secara keseluruhan
dikembalikan kepada Belanda, tapi catatan Thorn menjadi peninggalan
penting untuk melihat Jawa ketika itu.
*Peresensi adalah Peneliti Institut Studi Agama Sosial & Politik (Isaspol) Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan isi komentar anda !
Jangan lupa tinggalkan Nama dan alamat emailnya