Sabtu, 06 Januari 2018

Gedung Karesidenan Banyumas


Jatuhnya wilayah Banyumasan ke tangan Hindia Belanda pada tahun 1830, kota Banyumas pada saat itu masih merupakan daerah pedalaman yang susah dijangkau dan jauh dari kota  besar seperti Djogjakarta (Yogyakarta), Samarang (Semarang), Salatiga dan lain-lain. Dua jalan yang dipakai oleh masyarakat pada saat itu adalah jalan darat yang berupa jalan setapak dan jalur transportasi air (sungai).

Kota Banyumas sebagai pusat kadipaten Banyumas sebelumnya, dan merupakan pusat kebudayaan Banyumas secara langsung dijadikan ibukota karesidenan Banyumas dan ibukota kabupaten Banyumas bentukan Hindia Belanda. Sehingga kota Banyumas mulai berbenah dan mulai membangun beberapa bangunan gedung penting diantaranya adalah gedung Sotitet "Harmonie", kantor pos dan telegram, penjara, kantor telepon, gedung sekolah bagi warga Eropa dan Pribumi, gedung pemadam kebakaran, kantor pengairan, kantor pekerjaan umum, bangunan-bangunan penjagaan dan yang lebih penting dari itu adalah bangunan Karesidenan.

banjoemas.com
Peta kota Banyumas
sumber Pusat Arsip BHHC

banjoemas.com
Gedung tempat tinggal Residen Banyumas tahun 1905
sumber tropenmuseum.nl

banjoemas.com
Peta kota Banyumas
sumber Pusat Arsip BHHC

banjoemas.com
Gambar rekonstruksi 3d gedung karesidenan Banyumas
kreatif oleh Jatmiko Wicaksono

banjoemas.com
Gambar rekonstruksi 3d gedung karesidenan Banyumas
kreatif oleh Jatmiko Wicaksono

Gedung Karesidenan Banyumas dibangun dan diresmikan pada tahun 1843 pada masa residen P.J. Overhand. Bangunan ini dibangun bersamaan dengan pembangunan proyek besar pertama Banyumas sejak 12 tahun setelah dikuasainya wilayah Banyumas oleh pemerintah Hindia Belanda dari kekuasaan Surakarta. Proyek besar itu diantaranya membangun infrastruktur berupa jalan (postweg) antara Banyumas - Buntu dan Gombong - Rawalo. Kantor keuangan (Landkas) dibangun selalu tidak jauh dari kantor residen atau asisten residen yaitu di seberang jalan sebelah timur dari gedung Karesidenan.


Tiga residen sebelumnya yang menjabat selama 12 tahun yaitu1830 - 1835 J. E. de Sturler1835 1838 G. de Serière1838 1843 L. Launij Selama sebelum dibangunnya gedung residen, ketiga residen ini tinggal di Pasanggrahan kota Banyumas (arah tenggara kota)

Bangunan gedung Karesidenan Banyumas bergaya Indisch Empire, megah sehingga terkesan gagah dimata pribumi teretak di sebelah selatan kota Banyumas, lurus sekitar 1 kilometer menghadap utara agar saling berhadapan dengan kompleks pendopo Kabupaten, sehingga pengawasan terhadap penguasa pribumi (Bupati) dapat diawasi dari karesidenan. Jabatan Asisten Residen tidak ada di kabupaten Banyumas karena Residen tinggal di kota Banyumas dan dianggap mampu mengawasi bupati dan kabupaten lain diwilayahnya.

banjoemas.com
Gedung tempat tinggal Residen Banyumas tahun 1905
dengan pohon-pohon kenari yang rindang
sumber tropenmuseum.nl

banjoemas.com
Gedung tempat tinggal Residen Banyumas antara tahun 1921 -1933
sumber tropenmuseum.nl

Sepanjang jalan antara gedung Karesidenan dengan alun-alun adalah jalan yang lebar dan ditanam berjajar tanaman kenari, hingga jalan ini pernah berjuluk sebagai jalan kenari (Kenarielaan).

Pada tanggal 1 Januari 1924 pemerintah Hindia Belanda mebangun Juliana Burgerziekenhais atau rumah sakit Juliana tepat di sebelah barat kompleks bangunan kantor Residen dengan kapasitas 110 tempat tidur. Rumah sakit ini adalah rumah sakit kedua setelah rumah sakit Zending Trenggiling di Purbalingga. 


banjoemas.com
Foto bersama pegawai pemerintah, pegawai Belanda dengan residen JJ van Helsdingen 
31 Agustus 1929 pada peringatan Ratu Belanda
sumber tropenmuseum.nl

Ketertinggalan dalam pembangunan dan prasarana kota mulai dirasakan pada masa pembangunan jalur kereta Serajoedal Stoomtram Maatschapij yang menghubungkan Maos (SS) dengan kota Purwokerto dan Sokaraja pada tahun 1896. Bahkan sejak itu residen Banyumas yang sedang menjabat J. Mullemeister sudah mengusulkan kepada gubernur namun dianggap belum mempunyai alasan yang tepat.

Masa mailese (krisis ekonomi dunia) yang juga melanda Banyumas mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit bagi Hindia Belanda, dikarenakan barang-barang eksploitasi dari wilayah Jajahan Hindia Belanda tidak lagi bisa di eksport dan di jual ke Eropa. Menyebabkan pemerintah Hindia Belanda juga harus berhemat banyak. Kebetulan bahwa bupati terakhir kabupaten Purwokerto R.A.A. Cakraadisurya (1924-1935) tidak mempunyai keturunan sehingga terjadi kekosongan jabatan bupati Purwokerto selama 2 tahun. Kemudian Residen J. Ruys dan bupati Banyumas R. Adipati Sudjiman Mertasubrata Gandasubrata memutuskan untuk menggabungkan wilayah kabupaten Purwokerto dengan kabupaten Banyumas. Yang kemudian mengakibatkan pindahnya pendopo Sipanji ke Purwokerto pada tahun 1937 menggantikan pendopo lama di Purwokerto, karena ibukota kabupaten gabungan dipindahkan ke Purwokerto. 

Daftar Residen

Bangunan gedung karesidenan Banyumas di kota Banyumas secara efektif digunakan dari tahun 1843 hingga tahun 1937 atau selama 94 tahun. Residen yang menjabat di Banyumas dan pernah tinggal di gedung karsidenan Banyumas adalah kurang lebih ada 19 residen diantaranya adalah 

1843 1846 P.J. Overhand
1846 1849 F.H. Doornik
1849 1850 R. de Filliettaz Bousquet
1S50 1853 Jhr.D.C.A. van Hogendorp
1853 1855 Jhr.H.C. van der Wijck
1855 1858 C. van der Moore
1858 1859 G.C. Schonck
1859 1862 S. van Deventer
1862 1867 J.P Zoetelief
1867 1873 C. de Wall
1873 1874 M.H.W Nieuwenhuis
1974 1877 J.P.F Gericke
1877 1881 C. de Clercq Moolenburgh (Cornelis) 
1881 1884 F.A.A Ruitenbach
1884 1890 L.J Selleger
1890 1896 C.E.G. Ottenhoff
1896 1901 L.C.A.F Lange
1901 1902 G.A. Hoogenraad
1902 1902 E. Constant
1902 1906 Tj. Halbertsma
1906 1907 L.N. van Meeverden
1907 1908 G.J. Oudemans.
1908 1913 Dr.H.G. Heijting
1913 1916 E.W.H. Doeve. 
1916 1919 K. Wijbrands
1919 1922 M. Zandveld
1922 1925 M.J. van der Pauwert
1925 1928 J.J. van Helsdingen 
1928 1928 W.Ch. Adriaans
1928 1930 W.R. March (Selatan)
1928 1930 V. de Leeuw  (Utara)
1930 1933 W.Ch. Adriaans
1933 1934 F. Dersjant
1934 1937 H.G.F. van Huls
1937 1940 J.A. Ruys

Residen juga akhirnya memutuskan untuk mempunyai gedung baru di Purwokerto dan gedung karsidenan di Banyumas akhirnya di kosongkan. Pembangunan gedung residen di Purwokerto memakan waktu yang agak lama karena marmer yang akan digunakan di gedung yang baru menggunakan marmer dari gedung yang lama. Baru pada tahun 1938 bangunan siap ditinggali oleh residen J. Ruys.

Sejak pemindahan itu, kota dan wilayah kabupaten Banyumas hanya sebuah distrik Banyumas dan mulai saat itu bangunan gedung Karesidenan ditinggalkan begitu saja kosong tanpa perhatian dan pelestarian.

Setelah kemerdekaan

Pada masa Polisionil atau revolusi kemerdekaan tahun 1947 - 1949 bekas bangunan karesidenan diduduki oleh tentara Belanda, dan digunakan sebagai markas tentara pleton "Hond". Pada halaman depan gedung dibangun barak-barak untuk peralatan dan kendaraaan perang milik Belanda.


banjoemas.com
Foto udara gedung karesidenan pada masa polisionil
foto diambil dari sebelah barat rumah sakit Juliana
sumber foto friesfotoarchief.nl

banjoemas.com
Foto udara gedung karesidenan pada masa polisionil
foto diambil dari sebelah timur
sumber foto friesfotoarchief.nl

banjoemas.com
Pleton "Hond" berada di beranda depan bekas gedung Karesidenan Banyumas
sumber foto indiegangers.nl

banjoemas.com
Bukit Kerkhof Banjoemas yang berlokasi di belakang gedung karesidenan
sumber foto indiegangers.nl

Pasukan Belanda yang pernah bertugas di Banyumas dan sekitarnya selama 3 tahun masa agresi Belanda adalah V-Brigade Batalion Friesland. Gedung karesidenan Banyumas juga menjadi saksi untuk tentara Belanda yang tewas dalam serangan dengan Tentara Nasional Indonesia, karena sebelum di kubur di Kerkhof Banyumas jenasah terlebih dahulu di berikan penghormatan terahir di markas gedung Karesidenan Banyumas. Perlu diketahui bahwa tepat dibelakang gedung Karesidenan terdapat sebuah bukit yang merupakan tempat menguburkan orang-orang Eropa dan tentara yang gugur dalam medan perang melawan TNI.

Setelah kalahnya Belanda dari revolusi kemerdekaan, bangunan gedung karesidenan kemudian di kuasai oleh Komando Distrik Militer 0701 Banyumas. 

Setelah Revolusi

Pada tanggal 6 April 1968, melalui surat bernomor No. 232-11- 5968 Kepala dinas Pendidikan Ekonomi mengusulkan untuk di bangunnya Sekolah Menengah Ekonomi Tingkat Atas ( SMEA ) Negeri di Banyumas. Dan kemudian pada tanggal 1 Januari 1968 SMEA ini dibuka melalui surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI menerbitkan Surat Keputusan  No. 133/UKK.3/1968 dengan menempati gedung bekas karesidenan Banyumas bagian tengah hingga sayap sebelah barat (gedung Landraat/ pengadilan). 

Pada tanggal 17 Januari 1976 sayap bagian timur (seluas 1.496 m2) di serahkan kepada Gerakan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam (GUPPI) Cabang Banyumas  yang diketuai oleh K.H Syamsuri Ridwan untuk dijadikan Pondok Pesantren Pendidikan Islam Banyumas Miftahussalam. Pondok pesantren ini didirikan oleh H.O.S. Notosuwiryo (Pensiunan Pegawai Jawatan Agama Kabupaten Banyumas). 
Seiring berkembangnya SMKN 1 menjadi sekolah dengan siswa yang semakin meningkat setiap tahunnya beberapa bangunan kelas baru dibangun di halaman bekas gedung Karsidenan, sehingga bangunan baru menutupi bangunan lama Karsidenan, dan semakin lunturkan ingatan sejarah mengenai bangunan gedung karesidenan Banyumas ini. 

Status bangunan

Bangunan ini telah dicatat dan didokumentasikan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2004 dan didaftarkan dalam daftar inventaris Cagar Budaya kabupaten Banyumas no 11-02/Bas/42/TB/04 dan telah mendapatkan surat proses SK penetapan setelah munculnya Undang-Undang Cagar Budaya no 11 tahun 2010 bernomor 399/101.SP/BP3/P-VIII/2010.

Sumber: dari berbagai sumber
(Hubungi Penulis) 

Ditulis 6 Jan 2018
Diperbaharui 25 Jul 2018


7 komentar:

Kasamago mengatakan...

Mencerahkan.. baru kali ini dpt info gamblang tentang alasan perpindahan Ibukota Banyumas ke Purwokerto. Ternyata merger.

Saya mengira bangunan Karesidenan itu yg disamping RSUD Banyumas (Alun2 lurus ke selatan), ternyata yang di pertigaan timur alun2.

mantab artikelnya

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Fajar dwi prasetio mengatakan...

Semoga banyumas semakin maju dengan potensi pariwisata, SDMnya pokoke banyumas kota mendoan :D

Hendi Setiyanto mengatakan...

penasaran rs juliana itu sekarang jadi rs kah atau musnah sama sekali?

Unknown mengatakan...

Artikel Sangatlah menarik Dan bermanfaat.maaf Mas Saya lahir di daerah kalibagor tepatnya desa suro,sangatlah minim sejarah baik Lisan apalagi tertulis tentang desa Saya,di suro terdapat tugu sejarah pahlawan siliwangi yang gugur melawan belanda Tapi lagi-lagi tentang pertempuran tersebut masih menjadi tanda Tanya,pun dengan desa suro kenapa tidak sura sebagaimana pelafalan dialek kita/banyumasan ,sekiranya mas jatmiko bisa memberi pencerahan Apa Yg jadi gundah Saya,terimakasih

Unknown mengatakan...

Bener banget, aku pernah sekolah di Pondok Miftahussalam itu... disana bangunannya pillar pillarnya masih sama kaya belanda cmn udh ada beberapa renovasi, disana juga ada kayak prasasti eh apa ya itu intinya di tulis pakai bahasa Belanda untuk memperingati dulu Banyumas Pernah kena Banjir bandang thn 1800an

Hendy UP mengatakan...

Artikel sejarah yg sangat baik. Banyak generasi kini yg tidak peduli dengan sejarah daerahnya. Terus berkarya!!

Posting Komentar

Silahkan isi komentar anda !
Jangan lupa tinggalkan Nama dan alamat emailnya