Kerajaan Majapahit
XII – XV M
Kerajaan ini berdiri pada tahun 1293 – 1500 M, dan mencapai masa kejayaan pada masa kekuasaan Hayam Wuruk yaitu pada tahun 1350 hingga 1389. Pada masa itu kekuasaan Majapahit adalah Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi dan Indonesia Bagian Timur (masih di perdebatkan). Sehingga kota-kota yang berada di selatan gunung Slamet seperti Wirasaba, Kedjawar dan Pasirluhur merupakan termasuk kota-kota di wilayah kekuasaan Majapahit.
Pada masa berdirinya Majapahit, pedagang-pedagang Islam dari Kasultanan Malaka sudah mulai masuk ke perairan Nusantara bagian barat dan menyebarkan Islam di daratan Sumatra. Sehingga menyebabkan pengaruh kekuasaan Majapahit mulai berkurang dan satu-persatu mulai melepaskan diri.
Pada tahun 1468 Pangeran Kertabhumi memberontak terhadap Singhawikramawardhana (Brawijaya IV) dan mengangkat dirinya sebagai raja Majapahit dengan gelar Brawijaya V. Sehingga sejumlah pembesar Majapahit yang tersisihkan dari istana termasuk saudara beda ibu Kerthabhumi yaitu Raden Harya Baribin Pandhita Putra melarikan diri ke arah barat, meminta suaka kepada penguasa Sunda - Galuh yaitu Prabu Niskala Wastu Kancana (1371-1475 ) di Ciamis.
XII – XV M
Kerajaan ini berdiri pada tahun 1293 – 1500 M, dan mencapai masa kejayaan pada masa kekuasaan Hayam Wuruk yaitu pada tahun 1350 hingga 1389. Pada masa itu kekuasaan Majapahit adalah Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi dan Indonesia Bagian Timur (masih di perdebatkan). Sehingga kota-kota yang berada di selatan gunung Slamet seperti Wirasaba, Kedjawar dan Pasirluhur merupakan termasuk kota-kota di wilayah kekuasaan Majapahit.
Pada masa berdirinya Majapahit, pedagang-pedagang Islam dari Kasultanan Malaka sudah mulai masuk ke perairan Nusantara bagian barat dan menyebarkan Islam di daratan Sumatra. Sehingga menyebabkan pengaruh kekuasaan Majapahit mulai berkurang dan satu-persatu mulai melepaskan diri.
Pada tahun 1468 Pangeran Kertabhumi memberontak terhadap Singhawikramawardhana (Brawijaya IV) dan mengangkat dirinya sebagai raja Majapahit dengan gelar Brawijaya V. Sehingga sejumlah pembesar Majapahit yang tersisihkan dari istana termasuk saudara beda ibu Kerthabhumi yaitu Raden Harya Baribin Pandhita Putra melarikan diri ke arah barat, meminta suaka kepada penguasa Sunda - Galuh yaitu Prabu Niskala Wastu Kancana (1371-1475 ) di Ciamis.
Menurut saya melarikan diri bukan karena diserang oleh Kesultanan Demak/Keling, karena Kesultanan Demak menyerang Kerajaan Majapahit pada tahun 1527 M, dimana raja Majapahit adalah Ranawijaya dengan gelar Girindrawardhana (Brawijaya VI). Dimana Ranawijaya mengaku telah mengalahkan Kertabhumi dan telah memindahkan ibukota kerajaan Majapahit ke Daha (Kediri), ini menyebabkan kemarahan Sultan Demak Pati Unus yang merupakan keturunan Kertabhumi dan Pendukung Ranawijaya mengungsi ke Pulau Bali
Raden Baribin dan rombongan kemudian diterima Prabu Niskala Wastu Kancana dan dijodohkan dengan putri bungsu Dyah Ayu Ratu Pamekas dari ibu Subanglarang. Dyah Ayu Ratu Pamekas adalah adik Raden Banyak Catra (Kamandaka) dari ibu Dewi Kumudaningsih yang merantau di Pasir Luhur.
Adapun keturunan Raden Baribin dan Dyah Ayu Ratu Pamekas adalah Raden Ketuhu, Banyaksasra, Raden Banyakkusuma yang kelak tinggal di Kaleng (Kebumen), dan yang keempat R. Rr Ngaisah. Raden Ketuhu dikisahkan mengembara ke daerah Jawa bagian tengah dan mengabdi kepada Ki Gede Buwara sebuah desa di kadipaten Wirasaba. Raden Ketuhu sangatlah rajin dan tekun. Pada suatu hari saat Raden Ketuhu sedang membakar ranting dan daun dari membuka hutan di desa Buwara, sinar terang dari pembakaran membentuk Teja (Pelangi) yang terlihat dari kadipaten Wirasaba. Maka dipanggilah Ki Gede Buwara dan Pangeran Ketuhu oleh Adipati Wirahudaya menghadap di kadipaten. Singkat cerita akhirya Adipati Wirahudaya tau siapa sebenarnya Pangeran Ketuhu tersebut dan di jadikan anak oleh Adipati Paguwan/Wirahudaya (Wirautama I).
Pada saat Pisowanan Ageng ke Kraton Majapahit, Adipati Wirahudaya dalam keadaan sakit, sehingga diutuslah Raden Ketuhu dengan di dampingi oleh Patih Wirasaba dan Raden Bawang. Pada saat menghadap Raden Ketuhu mendapat pertanyaan tentang asal usul dirinya, karena yang bertanya adalah seorang raja maka Raden Ketuhu mengungkapkan sebenar-benarnya tentang asal-usulnya. Maka Kertabhumi (Brawijaya V) langsung terkejut dan merasa bersalah dengan keturunan dari Raden Harya Baribin Pandhita Putra. Maka Kertabhumi merasa harus mengangkat derajat kebangsawanan Keratonnya. Raden Ketuhu langsung di nobatkan menjadi Adipati Anom Wirasaba dengan gelar Adipati Anom Wirautama dan dihadiahi seorang istri yaitu Putrisari yang merupakan putri Mapatih Majapahit dan juga diijinkan untuk memperluas kekuasaan Wirasaba hingga Lereng Gunung Sindoro Sumbing bagian barat di wilayah Kedu.
Karena perjalanan jauh dari Keraton Majapahit ke Kadipaten Wirasaba, sehari sebelum tiba di Wirasaba rombongan beristirahat agar sampai tujuan pasukan yang mengiringnya tidak kelelahan. Dan ini dijadikan kesempatan oleh Pangeran Bawang untuk menghalangi Adipati Anom kembali ke Wirasaba, karena dialah yang sudah sekian lama mengincar kedudukan Adipati Wirahudaya (Wirautama I). Dengan berpura-pura pulang terlebih dahulu untuk memberitahu Adipati Wirahudaya agar tidak terkejut menghadapi kedatangan rombongan Adipati Anom. Tapi justru Radeng Bawang malah menghasut Adipati Wirahudaya dan mempersiapkan bala tentara Wirasaba dan kembali ketempat dimana Adipati Anom Beristirahat. Maka terjadilah pertempuran yang di menangkan oleh pasukan dari Majapahit dan bahkan Raden Bawang pun tewas dan di kebumikan di desa Bawang Banjarnegara.
Kerajaan Demak
1478 – 1568 M
Setelah Adipati Paguwan mangkat maka digantikan oleh anak angkatnya yaitu Raden Ketuhu (Adipati Anom Wirautama) dengan gelar Adipati Wirautama II. Dan secara turun temurun di gantikan oleh Adipati Urang dengan gelar Wirautama III. Dipati Urang berputra Adipati Sutawinata/Surawin bergelar Wirautama IV. Adipati Sutawinata/Surawin digantikan Raden Tambangan diangkat menjadi adipati oleh Kesultanan Demak di beri gelar Sura Utama. Raden Tambangan kemudian menjadin hubungan terlarang dengan Putri Banyak Geleng Pasirbatang (Pangeran Senapati Mangkubumi II) yaitu Dewi Lungge. Hubungan ini melahirkan tiga orang anak, yaitu Raden Warga (Warga Utama I), Jaka Gumingsir dan Ki Toyareka (Demang). Setelah Raden Tambangan meninggal lalu Raden Warga mengantikan ayahnya, dengan gelar Adipati Warga Utama I, dan mempunyai 4 keturunan yaitu Rara Kartimah, Ngabhei Wargawijaya, Ngabhei Wirakusuma dan Raden Rara Sukartiyah/Sukesi (istri anak dari Ki Demang Toyareka).
Adapun keturunan Raden Baribin dan Dyah Ayu Ratu Pamekas adalah Raden Ketuhu, Banyaksasra, Raden Banyakkusuma yang kelak tinggal di Kaleng (Kebumen), dan yang keempat R. Rr Ngaisah. Raden Ketuhu dikisahkan mengembara ke daerah Jawa bagian tengah dan mengabdi kepada Ki Gede Buwara sebuah desa di kadipaten Wirasaba. Raden Ketuhu sangatlah rajin dan tekun. Pada suatu hari saat Raden Ketuhu sedang membakar ranting dan daun dari membuka hutan di desa Buwara, sinar terang dari pembakaran membentuk Teja (Pelangi) yang terlihat dari kadipaten Wirasaba. Maka dipanggilah Ki Gede Buwara dan Pangeran Ketuhu oleh Adipati Wirahudaya menghadap di kadipaten. Singkat cerita akhirya Adipati Wirahudaya tau siapa sebenarnya Pangeran Ketuhu tersebut dan di jadikan anak oleh Adipati Paguwan/Wirahudaya (Wirautama I).
Pada saat Pisowanan Ageng ke Kraton Majapahit, Adipati Wirahudaya dalam keadaan sakit, sehingga diutuslah Raden Ketuhu dengan di dampingi oleh Patih Wirasaba dan Raden Bawang. Pada saat menghadap Raden Ketuhu mendapat pertanyaan tentang asal usul dirinya, karena yang bertanya adalah seorang raja maka Raden Ketuhu mengungkapkan sebenar-benarnya tentang asal-usulnya. Maka Kertabhumi (Brawijaya V) langsung terkejut dan merasa bersalah dengan keturunan dari Raden Harya Baribin Pandhita Putra. Maka Kertabhumi merasa harus mengangkat derajat kebangsawanan Keratonnya. Raden Ketuhu langsung di nobatkan menjadi Adipati Anom Wirasaba dengan gelar Adipati Anom Wirautama dan dihadiahi seorang istri yaitu Putrisari yang merupakan putri Mapatih Majapahit dan juga diijinkan untuk memperluas kekuasaan Wirasaba hingga Lereng Gunung Sindoro Sumbing bagian barat di wilayah Kedu.
Karena perjalanan jauh dari Keraton Majapahit ke Kadipaten Wirasaba, sehari sebelum tiba di Wirasaba rombongan beristirahat agar sampai tujuan pasukan yang mengiringnya tidak kelelahan. Dan ini dijadikan kesempatan oleh Pangeran Bawang untuk menghalangi Adipati Anom kembali ke Wirasaba, karena dialah yang sudah sekian lama mengincar kedudukan Adipati Wirahudaya (Wirautama I). Dengan berpura-pura pulang terlebih dahulu untuk memberitahu Adipati Wirahudaya agar tidak terkejut menghadapi kedatangan rombongan Adipati Anom. Tapi justru Radeng Bawang malah menghasut Adipati Wirahudaya dan mempersiapkan bala tentara Wirasaba dan kembali ketempat dimana Adipati Anom Beristirahat. Maka terjadilah pertempuran yang di menangkan oleh pasukan dari Majapahit dan bahkan Raden Bawang pun tewas dan di kebumikan di desa Bawang Banjarnegara.
Kerajaan Demak
1478 – 1568 M
Setelah Adipati Paguwan mangkat maka digantikan oleh anak angkatnya yaitu Raden Ketuhu (Adipati Anom Wirautama) dengan gelar Adipati Wirautama II. Dan secara turun temurun di gantikan oleh Adipati Urang dengan gelar Wirautama III. Dipati Urang berputra Adipati Sutawinata/Surawin bergelar Wirautama IV. Adipati Sutawinata/Surawin digantikan Raden Tambangan diangkat menjadi adipati oleh Kesultanan Demak di beri gelar Sura Utama. Raden Tambangan kemudian menjadin hubungan terlarang dengan Putri Banyak Geleng Pasirbatang (Pangeran Senapati Mangkubumi II) yaitu Dewi Lungge. Hubungan ini melahirkan tiga orang anak, yaitu Raden Warga (Warga Utama I), Jaka Gumingsir dan Ki Toyareka (Demang). Setelah Raden Tambangan meninggal lalu Raden Warga mengantikan ayahnya, dengan gelar Adipati Warga Utama I, dan mempunyai 4 keturunan yaitu Rara Kartimah, Ngabhei Wargawijaya, Ngabhei Wirakusuma dan Raden Rara Sukartiyah/Sukesi (istri anak dari Ki Demang Toyareka).
Pada masa pemerintahan Adipati Wirautama II sampai dengan Adipati Warga Utama I terjadi pergantian masa kekuasaan dari Majapahit ke Kesultanan Demak yang di dirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478, Kesultanan Demak sebelumnya adalah kadipaten pada masa kekuasaan Majapahit yang menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Kesultanan Demak cepat sekali mengalami kemunduran karena adanya perebutan kekuasan diantara kerabat Kesultanan. Pewaris tahta terakhir adalah Joko Tingkir yang merupakan menantu Sultan Trenggana dan anak dari Ki Ageng Pengging yang di hukum mati karena di tuduh akan memberontak terhadap Kesultanan Demak. Joko Tingkir bergelar Sultan Adiwijaya (1546 – 1587). Sultan Adiwijaya memindahkan ibukota Kesultanan Demak ke Pajang (Solo). Kerajaan Pajang (1568–1586) hanya memiliki tiga Raja dan raja yang terakhir adalah Pangeran Benawa yang berkuasa sampai tahun 1587 M.
Kasultanan Pajang
1568 - 1586
Saat Adipati Warga Utama I menjabat mempunyai banyak panakawan yang diambil dari para petinggi dan kadipaten Wirasaba. Para panakawan tidur di halaman. Pada suatu malam pada saat bulan purnama, Adipati Warga Utama melihat cahaya masuk ke dalam tubuh salah seorang panakawan yang tidak dikenali oleh Sang Adipati. Oleh karena itu, Sang Adipati merobek bebed panakawan tersebut untuk mengenalinya. Pada pagi harinya, panakawan yang di sobek bebednya dipanggil, ternyata punakawan tersebut adalah Jaka kaiman punakawan dari Kejawar dan setelah itu diberitahunya bahwa ia akan dijadikan menantu. Jaka Kaiman akan dinikahkan dengan puteri Adipati Warga Utama yang bernama Rara Kartimah dan uang lima riyal sebagai pitukon.
Jaka Kaiman disuruh pulang oleh Sang Adipati agar memberitahukan ayahnya dan diikuti oleh dua orang utusan dari Wirasaba. Karena tidak mampu, Kiai Mranggi Kejawar (ayah angkat Jaka Kaiman) meminta bantuan keuangan kepada Banyak Kumara di Kaleng. Sebenarnya Joko Kaiman adalah putera Raden Banyak Cotro dengan ibu adalah puteri Adipati Banyak Geleh (Wirakencana/Mangkubumi II) dari Pasir Luhur. Semenjak kecil Raden Joko Kaiman diasuh oleh Kyai Mranggi di Kejawar, yang terkenal dengan nama Kyai Sembarta dengan Nyi Ngaisah yaitu puteri Raden Baribin yang bungsu.
Di situ, Kiai Mranggi berjumpa dengan Ki Tolih. Ki Tolih adalah utusan Raja Negeri Keling untuk membunuh raja Majapahit Brawijaya. Namun usaha itu gagal, bahkan Ki Tolih dapat di tawan oleh Ki Gajah. Pada saat bersamaan Raja Brawijaya mengadakan sayembara untuk menangkap kudanya yang mengamuk di tengah kota Majapahit karena kerasukan roh Burung Endra yang mati dibunuh oleh Ki Gajah. Dengan hadiah Tanah dan Putrinya. Sebagai seorang tawanan Ki Tolih memberanikan diri untuk mengikuti sayembara tersebut, karena tak satupun orang yang memenangkannya. Dengan mudah Ki Tolih menaklukan kuda yang kerasukan roh itu dan memenangkan sayembara tersebut. Namun Ki Tolih menolak semua hadiah yang di janjikan, tapi dia meminta keris gajah Endra yang dibawanya dari negeri Keling. Setelah itu, Ki Tolih mengembara sampai ke daerah Kaleng dan mengabdi kepada Adipati kaleng, hingga di ceritakan setelah pengabdiannya di Kaleng, rakyat hidup makmur.
Setelah mendengar cerita tentang Kadipaten Wirasaba dan tawaran dijadikan menantu oleh Adipati di Wirasaba, Ki Tolih menghadiahkan Keris Gajah Endra Ke pada Jaka Kaiman dan memesankan warangka kerisnya kepada Kiai Mranggi ayahnya. Namun Ki Tolih melarang membawa keris Gajah Endra ke medan pertempuran selama tujuh turunan, karena keris tersebut pernah dipake untuk usaha membunuh Brawijaya dan Penguasa Wirasaba ada kaitan erat dengan Brawijaya. Ki tolihpun meramalkan Jaka Kaiman akan menjadi Penguasa di Wirasaba dan akhirnya keris Gajah Endra di bawanya pulang ke Kejawar. Jaka kaiman kembali ke Wirasaba dan menikahi Rara Kartimah putri dari Adipati Warga Utama I.
Pada masa kekuasaan Sultan Adiwijaya (Sultan Pajang) memerintahkan kepada para Adipati di seluruh kadipaten kekuasaannya untuk menyerahkan seorang putri untuk dijadikan pelara-lara. Warga utama I memilih putrinya Raden Rara Sukartiyah/Sukesi (bekas menantu Ki Demang Toyareka) untuk di persembahkan, dan pada Sabtu Paing mereka berangkat ke Pajang. Kemudian anak Ki Demang Toyareka tahu dan marah-marah. Kemudian bersama-sama dengan pengawalnya pergi ke Pajang untuk meminta keadilan. Putra Ki Demang Toyareka menyatakan kepada gandek kesultanan Pajang bahwa istrinya di serahkan oleh Adipati Wirasaba untuk di jadikan pelara-lara. Maka sampailah berita ini kepada Sultan Adiwijaya tanpa menanyakan dulu kepada Raden Rara Sukartiyah.
Maka dengan angkara murka diutuslah tiga gandek untuk membunuh Adipati Warga Utama I yang dalam perjalanan pulang ke Wirasaba. Ditengah perjalanan Adipati Warga Utama I memutuskan untuk sekedar mampir di rumah Ki Ageng Bener di desa Bener, Ambal Kebumen. Disana Adipati Warga Utama I di terima di bale malang dan di jamu Pindang Banyak. Karena jaraknya tidak terlalu jauh, ketiga gandek utusan sultan Pajang sampai di rumah Ki Ageng Bener saat Adipati sedang makan jamuan pindang banyak.
Beberapa saat setelah Sultan Pajang mengirim gandek yang pertama, Sultan baru menanyai Raden Rara Sukartiyah. Dan ternyata Sultan salah besar, Raden Rara Sukartiyah sudah diceraikan oleh Adipati Warga Utama I dari Raden Mangun anak Ki Demang Toyareka, karena hubungan terlarang dalam Islam (menikah dengan sepupu). Maka dengan segera Sultan mengirim gandek untuk membatalkan pembunuhan terhadap Adipati Wirasaba.
Gandek yang menyusul sampai di desa Bener melambai-lambai dari kejauhan setelah melihat gandek yang pertama berada di dekat Adipati Warga Utama I, dengan maksud jangan membunuh, tapi justru gandek yang pertama berfikir untuk segera membunuk Adipati Warga Utama I. Maka di tikamlah tepat di dadanya sang Adipati. Kedua kelompok gandek saling menyalahkan satu sama lain, namun Adipati sempat memberi pesan untuk jangan bertengkar dan melaporkan kepada sultan bahwa pembunuhan tidak dapat di cegah oleh gandek yang dating berikutnya. Adipati pun percaya bahwa ini adalah takdir untuk kematiannya.
Setelah kematian Adipati Warga Utama I, Sultan Pajang Adiwijaya kebingungan dan merasa sangat bersalah dan atas kejadian ini. Maka dengan segera Sultan Pajang memanggil putera Adipati Warga Utama I, namun tidak ada yang berani menghadap. Maka satu dari dua putra menantu Adipati yaitu Raden Joko Kaiman (suami R. Rara Kartimah) memberanikan diri untuk menghadap dengan menanggung apapun segala resikonya. Bukan amarah dan murka yang di dapat tetapi anugerah dijadikannya Adipati dengan gelar Adipati Warga Utama II. Karena Raden Joko Kaiman bukan keturunan kandung dari Adipati yang terbunuh maka teks pengangkatanpun harus dirubah. Dan atas kemurahan Sultan Pajang akhirnya Wirasaba dibagi menjadi empat yaitu;
1. Wilayah Banjar Pertambakan diberikan kepada Kyai Ngabei Wirayuda.
2. Wilayah Merden diberikan kepada Kyai Ngabei Wirakusuma.
3. Wilayah Wirasaba diberikan kepada Kyai Ngabei Wargawijaya.
4. Wilayah Kejawar dikuasai sendiri dan kemudian dibangun dengan membuka hutan Mangli dibangun pusat pemerintahan dan diberi nama Kabupaten Banyumas.
Atas pembagian ini maka Adipati Warga Utama II juga bergelar sebagai Adipati Mrapat.
1568 - 1586
Saat Adipati Warga Utama I menjabat mempunyai banyak panakawan yang diambil dari para petinggi dan kadipaten Wirasaba. Para panakawan tidur di halaman. Pada suatu malam pada saat bulan purnama, Adipati Warga Utama melihat cahaya masuk ke dalam tubuh salah seorang panakawan yang tidak dikenali oleh Sang Adipati. Oleh karena itu, Sang Adipati merobek bebed panakawan tersebut untuk mengenalinya. Pada pagi harinya, panakawan yang di sobek bebednya dipanggil, ternyata punakawan tersebut adalah Jaka kaiman punakawan dari Kejawar dan setelah itu diberitahunya bahwa ia akan dijadikan menantu. Jaka Kaiman akan dinikahkan dengan puteri Adipati Warga Utama yang bernama Rara Kartimah dan uang lima riyal sebagai pitukon.
Jaka Kaiman disuruh pulang oleh Sang Adipati agar memberitahukan ayahnya dan diikuti oleh dua orang utusan dari Wirasaba. Karena tidak mampu, Kiai Mranggi Kejawar (ayah angkat Jaka Kaiman) meminta bantuan keuangan kepada Banyak Kumara di Kaleng. Sebenarnya Joko Kaiman adalah putera Raden Banyak Cotro dengan ibu adalah puteri Adipati Banyak Geleh (Wirakencana/Mangkubumi II) dari Pasir Luhur. Semenjak kecil Raden Joko Kaiman diasuh oleh Kyai Mranggi di Kejawar, yang terkenal dengan nama Kyai Sembarta dengan Nyi Ngaisah yaitu puteri Raden Baribin yang bungsu.
Di situ, Kiai Mranggi berjumpa dengan Ki Tolih. Ki Tolih adalah utusan Raja Negeri Keling untuk membunuh raja Majapahit Brawijaya. Namun usaha itu gagal, bahkan Ki Tolih dapat di tawan oleh Ki Gajah. Pada saat bersamaan Raja Brawijaya mengadakan sayembara untuk menangkap kudanya yang mengamuk di tengah kota Majapahit karena kerasukan roh Burung Endra yang mati dibunuh oleh Ki Gajah. Dengan hadiah Tanah dan Putrinya. Sebagai seorang tawanan Ki Tolih memberanikan diri untuk mengikuti sayembara tersebut, karena tak satupun orang yang memenangkannya. Dengan mudah Ki Tolih menaklukan kuda yang kerasukan roh itu dan memenangkan sayembara tersebut. Namun Ki Tolih menolak semua hadiah yang di janjikan, tapi dia meminta keris gajah Endra yang dibawanya dari negeri Keling. Setelah itu, Ki Tolih mengembara sampai ke daerah Kaleng dan mengabdi kepada Adipati kaleng, hingga di ceritakan setelah pengabdiannya di Kaleng, rakyat hidup makmur.
Setelah mendengar cerita tentang Kadipaten Wirasaba dan tawaran dijadikan menantu oleh Adipati di Wirasaba, Ki Tolih menghadiahkan Keris Gajah Endra Ke pada Jaka Kaiman dan memesankan warangka kerisnya kepada Kiai Mranggi ayahnya. Namun Ki Tolih melarang membawa keris Gajah Endra ke medan pertempuran selama tujuh turunan, karena keris tersebut pernah dipake untuk usaha membunuh Brawijaya dan Penguasa Wirasaba ada kaitan erat dengan Brawijaya. Ki tolihpun meramalkan Jaka Kaiman akan menjadi Penguasa di Wirasaba dan akhirnya keris Gajah Endra di bawanya pulang ke Kejawar. Jaka kaiman kembali ke Wirasaba dan menikahi Rara Kartimah putri dari Adipati Warga Utama I.
Pada masa kekuasaan Sultan Adiwijaya (Sultan Pajang) memerintahkan kepada para Adipati di seluruh kadipaten kekuasaannya untuk menyerahkan seorang putri untuk dijadikan pelara-lara. Warga utama I memilih putrinya Raden Rara Sukartiyah/Sukesi (bekas menantu Ki Demang Toyareka) untuk di persembahkan, dan pada Sabtu Paing mereka berangkat ke Pajang. Kemudian anak Ki Demang Toyareka tahu dan marah-marah. Kemudian bersama-sama dengan pengawalnya pergi ke Pajang untuk meminta keadilan. Putra Ki Demang Toyareka menyatakan kepada gandek kesultanan Pajang bahwa istrinya di serahkan oleh Adipati Wirasaba untuk di jadikan pelara-lara. Maka sampailah berita ini kepada Sultan Adiwijaya tanpa menanyakan dulu kepada Raden Rara Sukartiyah.
Maka dengan angkara murka diutuslah tiga gandek untuk membunuh Adipati Warga Utama I yang dalam perjalanan pulang ke Wirasaba. Ditengah perjalanan Adipati Warga Utama I memutuskan untuk sekedar mampir di rumah Ki Ageng Bener di desa Bener, Ambal Kebumen. Disana Adipati Warga Utama I di terima di bale malang dan di jamu Pindang Banyak. Karena jaraknya tidak terlalu jauh, ketiga gandek utusan sultan Pajang sampai di rumah Ki Ageng Bener saat Adipati sedang makan jamuan pindang banyak.
Beberapa saat setelah Sultan Pajang mengirim gandek yang pertama, Sultan baru menanyai Raden Rara Sukartiyah. Dan ternyata Sultan salah besar, Raden Rara Sukartiyah sudah diceraikan oleh Adipati Warga Utama I dari Raden Mangun anak Ki Demang Toyareka, karena hubungan terlarang dalam Islam (menikah dengan sepupu). Maka dengan segera Sultan mengirim gandek untuk membatalkan pembunuhan terhadap Adipati Wirasaba.
Gandek yang menyusul sampai di desa Bener melambai-lambai dari kejauhan setelah melihat gandek yang pertama berada di dekat Adipati Warga Utama I, dengan maksud jangan membunuh, tapi justru gandek yang pertama berfikir untuk segera membunuk Adipati Warga Utama I. Maka di tikamlah tepat di dadanya sang Adipati. Kedua kelompok gandek saling menyalahkan satu sama lain, namun Adipati sempat memberi pesan untuk jangan bertengkar dan melaporkan kepada sultan bahwa pembunuhan tidak dapat di cegah oleh gandek yang dating berikutnya. Adipati pun percaya bahwa ini adalah takdir untuk kematiannya.
Setelah kematian Adipati Warga Utama I, Sultan Pajang Adiwijaya kebingungan dan merasa sangat bersalah dan atas kejadian ini. Maka dengan segera Sultan Pajang memanggil putera Adipati Warga Utama I, namun tidak ada yang berani menghadap. Maka satu dari dua putra menantu Adipati yaitu Raden Joko Kaiman (suami R. Rara Kartimah) memberanikan diri untuk menghadap dengan menanggung apapun segala resikonya. Bukan amarah dan murka yang di dapat tetapi anugerah dijadikannya Adipati dengan gelar Adipati Warga Utama II. Karena Raden Joko Kaiman bukan keturunan kandung dari Adipati yang terbunuh maka teks pengangkatanpun harus dirubah. Dan atas kemurahan Sultan Pajang akhirnya Wirasaba dibagi menjadi empat yaitu;
1. Wilayah Banjar Pertambakan diberikan kepada Kyai Ngabei Wirayuda.
2. Wilayah Merden diberikan kepada Kyai Ngabei Wirakusuma.
3. Wilayah Wirasaba diberikan kepada Kyai Ngabei Wargawijaya.
4. Wilayah Kejawar dikuasai sendiri dan kemudian dibangun dengan membuka hutan Mangli dibangun pusat pemerintahan dan diberi nama Kabupaten Banyumas.
Atas pembagian ini maka Adipati Warga Utama II juga bergelar sebagai Adipati Mrapat.
Kerajaan Pajang berahir pada tahun 1587 dan dijadikannya bawahan Kerajaan Mataram Islam yang dibangun pada tahun 1577 oleh Ki Ageng Pamanahan di “Bhumi Mentaok”, yaitu tanah hadiah dari Sultan Adiwijaya kepada Ki Ageng Pemanahan (Ayah Sutawijaya) atas jasanya membunuh Arya Penangsang (bupati Jipang tahun 1549) yang telah membunuh Sunan Prawoto (Sultan Demak).
Silsilah Adipati Wirasaba
Tulisan ini dirangkum dari berbagai sumber:
Priyadi, S. 1990. Tinjauan Awal tentang Serat Babad Banyumas sebagai Sumber Sejarah Makalah disampaikan pada Seminar Sejarah Nasional V. Semarang: Jarahnitra, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan & Kebudayaan.
Priyadi, S. 1998. Penelitian Terakhir Babad Banyumas . Makalah Simposium
Internasional Ilmu-ilmu Humaniora IV dalam rangka Purnabakti
Prof. Dr. Umar Kayam dan Prof. Dr. Djoko Soekiman. Yogyakarta: Fakultas
Sastra, Universitas Gadjah Mada.
Dan beberapa tulisan Sugeng Priyadi lainnya
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Majapahit
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Pajajaran
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Sunda_dan_Kerajaan_Galuh
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Demak
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Pajang
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Mataram
http://www.kaskus.us/showthread.php?t=3666115
http://wongbanyumas.multiply.com/journal/item/1
http://www.oocities.com/gudril/babat1.html
http://students.ukdw.ac.id/~22022868/sejarah.htm