Bisa dibilang, makanan ini berstatus legendaris karena menjadi salah satu rujukan oleh-oleh bagi para pelancong, maupun orang Banyumas yang berada di perantauan.
Pada dasarnya perkembangan Nopia dan Mini Nopia yang berukuran lebih kecil merupakan makanan yang hampir sama. Karakteristik tekstur makanan terasa keras di luar namun lembut di bagian dalam.
Sejarah mini nopia yang kemudian disingkat Mino tidak akan terlepas dari Nopia. Berdasarkan penelusuran, nopia sebenarnya sudah diproduksi sekira tahun 1880 di Desa Pekunden, Kecamatan Banyumas.
Nopia pertama kali diproduksi oleh warga keturunan Tionghoa bernama Ting Sing Piang. Melihat sejarah tersebut dapat dikatakan Nopia adalah produk akulturasi budaya antara Jawa dengan Tionghoa.
Terpaut puluhan tahun kemudian, di Purbalingga, marga Ting juga memproduksi Nopia. Produsen paling tua yakni Ting Lie Liang, generasi pertama yang merintis nopia sekira tahun 1940 hingga diteruskan sampai tiga generasi.
Di Banyumas sendiri, nopia tidak hanya diproduksi oleh keturunan Tionghoa saja. Ada sosok perajin yang merupakan warga setempat bernama Sanwitana yang memproduksi nopia dan mino di Desa Pekunden sekitar tahun 1949 atau 1950-an yang berproduksi dalam skala kecil.
Sekira tahun 1970 usaha Sanwitana itu dilanjutkan oleh putranya, Sutadi. Namun Sutadi sempat mengalami kesulitan mendapatkan konsumen.
Kemudian ditahun yang sama ia pergi bekerja dan membuat mino di rumah seorang keturunan Tionghoa yang bertempat tinggal di Purbalingga sembari melatih warga sekitar rumahnya untuk memproduksi mino.
Baru pada tahun 1980, industri rumahan mino mulai berkembang lebih luas di Desa Pekunden bahkan mayoritas penduduknya merupakan produsen mino hingga saat ini. Tahun 2018 bukan hanya memproduksi tetapi juga berinovasi menjadi sentra pembuatan nopia-mino sebagai tempat wisata yang lebih dikenal dengan kampung wisata nopia-mino yang berlokasi di Desa Pekunden RT 3/RW 4 Kabupaten Banyumas.
Sejarah rasa yang cukup panjang ini diangkat dalam ajang "Gastronomi Nopia, Jejak Rasa dan Jejak Karya" di Kedai Yammie 1001, di Desa Sudagaran, Kecamatan Banyumas, 12-13 Desember 2025. Lewat ajang itu, komunitas seni "Visi Visual" berusaha menyuarakan gastrodiplomasi dalam 10 karya eksebisi seni rupa, diskusi bersama para pengkarya, dialog bersama food antropologist Unpad Bandung, Hardian Eko Nurseto dan Chanifia Izza Millata (akademisi Fisip Unsoed), pemutaran film dokumenter serta suguhan berbagai macam oleh-oleh yang terinspirasi dari jajanan lokal tersebut.
![]() |
| Pengunjung melintasi 10 karya perupa yang dipajang pada event "Gastronomi Nopia, Jejak Rasa dan Jejak Karya", 11-12 Desember 2025. |
Koordinator Event, Aulia El Hakim menuturkan, Gastronomi Nopia ingin mengangkat arsip sejarah dalam bentuk makanan yaitu nopia. Di Banyumas sendiri, makanan yang kerap disebut dengan ndog bledheg ini menemukan bentukannya sendiri dan bertransformasi menjadi mini nopia yang ukurannya lebih kecil. Kendati demikian, para leluhur pembuatnya masih mempertahankan nopia yang berukuran sekepalan tangan sebagai makanan khas setempat.
![]() |
| Camat Banyumas, Jakarta Tisam memberikan sambutan event "Gastronomi Nopia, Jejak Rasa dan Jejak Karya" di Kedai Yammie 1001, Desa Sudagaran, Kecamatan Banyumas, 12-13 Desember 2025. |
![]() |
| Talkshow bersama Chanifia Izza Millata (akademisi Fisip Unsoed) dan Hardian Eko Nurseto (food antropologist Unpad Bandung) |
Di sisi lain, nopia bisa dikatakan simbolisasi watak orang Banyumas yang cablaka atau apa adanya. Ada tekstur kasar di bagian luar, namun lembut di dalamnnya. Identitas inilah yang tergambar dalam bentuk nopia, dari luar kasar tapi dalam lembut.
Direktur Promosi Kebudayaan Direktorat Jenderal Diplomasi, Promosi dan Kerja Sama Kebudayaan, Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) Undri, mengatakan, Indonesia sejatinya kaya dengan Warisan Budaya Takbenda (WBTb). Karya budaya ini hadir dalam berbagai aspek kehidupan mulai dari kelahiran sampai meninggal.
Menurut Undri, nopia merupakan warisan gastronomi yang mencerminkan kearifan lokal, teknik tradisional, serta nilai sejarah yang diwariskan lintas generasi dan patut terus dilestarikan di tengah arus modernisasi. Upaya pelestarian harus dilakukan dengan membuat ekosistem yang hidup dan melibatkan banyak elemen masyarakat termasuk dukungan dari Kementerian Kebudayaan. Dukungan dari pemerintah merupakan wujud komitmen negara untuk terlibat dalam menjaga, mempromosikan, dan menguatkan identitas budaya daerah melalui pangan tradisional. (Nugroho Pandhu Sukmono)
Sumber Pratama, 2022:2.
(Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, 2024: 90).
(Pratama, 2022; Rahayu, 2022: 41).
(Rahayu, 2022:41).







0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan isi komentar anda !
Jangan lupa tinggalkan Nama dan alamat emailnya