Selasa, 31 Maret 2020

PA GANDASOEBRATA


Pangeran Aria Gandasoebrata  
Lahir pada 10 Januari 1869- Meninggal 17 Juni 1948 


banjoemas.com

Kanjeng Pangeran Aria Gandasoebrata bersama istri padmi Raden Ajeng Sri Sumiyati
sekitar tahun 1927

Pada tanggal 6 November 1913 Pangeran Adipati Aria Mertadiredja III mengajukan pensiun dan digantikan oleh putranya yaitu PA Gandasoebrata  yang menjabat dari tahun 1913 hingga tahun 1933. PA Gandasoebrata  kecil bernama Raden Kamid Dulislam, merupakan putra dari PAA Mertadiredja III yang ke 8 dari garwa ampeyan. 

Nama keluarga menggunakan Gandasubrata bukan lagi Mertadiredja karena dianggap bahwa trah Banyumas sudah tidak lagi memimpin di Purwokerto (Mertadiredja) tapi kembali ke Banyumas. 



banjoemas.com
Keluara PA Gandasubrata 
dari kiri R. Adj. Soedjinah, R. Soedarman, PA. Gandasoebrata, R. Soedjaman, R. Adj. Soedjirin, 
R. Ay. Poedjasari (duduk dibawah), R. Adj. Sri Seomijati, R. Soedirman, R. Adj. Soedjijah dan R. Soedana
sekitar tahun 1912

PA Gandasoebrata  pada umur 20 tahun memperistri Raden Rara Sudjinem (16) yang dikemudian hari setelah menikah bernama Raden Ayu Pudjasari. Beliau adalah putri dari seorang putri ketiga dari R. Ng. Sosroatmadja yang menjabat sebagai Mantri Guru di Purwokerto, yang sebenarnya masih saudara satu buyut (Mertadiredja I)
Darinya berputra 8 orang  yaitu :
- R. Sudjiman Mertadimedja Gandasubrata (Bupati Banyumas selanjutnya) beristrikan 
- R. Sudirman Gandasubrata Mr. (Sarjana Hukum) Ketua pengadilan Negeri Purwokerto beristrikan RA Satinah Bratadimedja
- R. A. Soedjirin Kartanegara, suami R. Sarengat Kertanegara
- R. Sudana Tjakra Gandasubrata, beristrikan RA Subaniah Mangkusubrata
- R. Adj. Sudjinah (R. Ayu Salatun Atmasubrata) Istri ketua pengadilan negeri semarang
- R. A. Sudjijah Suradibrata (Meninggal pada tahun 1930)
- R. Sudarman Gandasubrata Mr. (Sarjana Hukum), beristrikan RA Siti Aminah Bratadimedja
- R. Sudjaman Gandasubrata, beristrikan RA Soeparni PoerwoSoeprodjo

Karena PA Gandasoebrata  akan menggantikan ayahnya menjadi Bupati di Banyumas maka beliau harus menikah lagi dengan seorang yang setatusnya lebih tinggi. Maka kemudian beliau memperistri Raden Ajeng Sri Sumiyati yang berpaut putri bupati Wonosobo ke empat Tumenggung Tjokroadisoerdjo yang merupakan trah Tjokronegaran Purworejo. Darinya bupati tidak mendapatakan keturunan, sehingga kelak yang menggantikannya menjadi bupati adalah putra dari garwa ampeyan. 

Raden Ayu Pudjasari yang mendampingi saat menjadi patih Banyumas ini setelah PA Gandasoebrata  menikah lagi kemudian posisinya bergeser menjadi garwa ampeyan dan dipanggil "Bibi" oleh anak-anaknya dan cucu-cucunya memanggilnya mbah Raden. Sedangkan setelah PA Gandasoebrata dan istrinya yang baru dipanggil bapak Ageng dan ibu Ageng. 



banjoemas.com

Foto keluarga PA Gandasubrata dari kiri R. Soedana, R. Adj. Soedjinah, R. Adj. Soedjirin,  
R. Adj. Soedjijah, R. Adj. Sri Seomijati, R. Soedjaman dan PA Gandasubrata 
sekitar tahun 1910


banjoemas.com


foto bersama keluarga PA Gandasubrata bersama saat meninggalnya PAA Mertadiredja III
berdiri dari kiri R. Soedirman, R. Soedana, R. Soedarman, R. Adj. Soedjijah, R. Soedjaman, 
R. Sarengat Kertanegara, R. Salatoen Atmasoebrata: duduk di korsi R. Adj. Soedjirin, R. Adj. Soedjinah, R. Adj. Sri Seomijati, R. Ay. Ranoe Atmadja (Kakak perempuan bupati)PA Gandasubrata R Adj Satinah Bratadimedja dan R Adj Subaniah Mangkusubrata dan beserta cucu-cucunya
20 Maret 1927

banjoemas.com

Tiga putri PA Gandasoebrata dari kiri R. Adj. Soedjinah, R. Adj. Soedjirin (duduk), R. Adj. Soedjijah
sekitar tahun 1910 

PA Gandasoebrata  mengawali karirnya sebagai seorang Patih di Banyumas dengan gelar Raden Ngabei Gandasubrata. Setiap kegiatannya beliau  terlihat sangat cakap  dan disiplin menuruni ayahnya PAA Mertadiredja III. Setiap kegiatannya selalu dicatat dalam buku hariannya, sehingga beliau meninggalkan catatan yang sangat banyak dalam lemari arsipnya.

10 tahun masa awal jabatannya merupakan masa keemasan industri batik di kota Banyumas. Sehingga tidak ketinggalan PA Gandasoebrata juga menciptakan beberapa motif batik diantaranya adalah parang Gandasubratan,ayam puger, jahe srimpang, parang plontho dan godhong lumbu yang diwarnai dengan warna sogan khas Banyumasan. Karena kedekatannya dengan kraton-kraton di Vosterlanden, sehingga corak batiknya banyak kesamaan.


banjoemas.com

Lima bupati di karsidenan Banyumas dari kiri
Bupati Purbalingga  R. Tmg. Adipati Dipokusumo VI (1899 - 1925)
bupati Banyumas P.A. Gandasoebrata (1913 - 1933)
bupati Cilacap R.M. Adipati Tjakrawerdaja (1882 - 1927)
bupati Banjarnegara R. Arya. Djoyonegoro II  (1896 - 1927)
bupati Purwokerto RTm Tjokrohadisoerjo (1920 - 1936)
sekitar tahun 1926

Pada masa kepemimpinannya kota Purwokerto dibangun satu jalur kereta lagi yang menghubungkan Cirebon dengan Kroya oleh perusahaan kereta api Staats Spoorwagon, sehingga kota Purwokerto dilewati dua buah jalur kereta dan membangun satu buah stasiun kereta besar di Bantarsoka setelah Stasiun Purwokerto (Timur) milik SDS di Kranji.

Pada tahun 1929 dibangun perusahaan listrik Electric Maatschapij Banjoemas yang berpusat di Ketenger kabupaten Purwokerto, namun tidak berjalan dengan baik karena resesi ekonomi dunia yang mulai dirasakan oleh kabupaten-kabupaten di wilayah karsidenan Banyumas. 

Dalam pertengahan dan akhir masa jabatan beliau, kondisi Hindia Belanda khusunya wilayah karsidenan Banyumas mengalami beberapa musibah. Di tahun 1920an terjadi wabah pes di wilayah kabupaten Banyumas sebelah timur hingga wilayah kabupaten Banjarnegara. Wabah ini adalah wabah mematikan dimana penduduk Banyumas berkurang secara drastis setelahnya. Wabah ini cepat menyebar karena masyarakat banyak yang masih menggunakan daun sirap yang lembab dan menjadi tempat yang baik bagi penyebaran wabah Pes. Beliau mendapatkan medali sebagai tanda kehormatan dari ratu Belanda yaitu Ridder Oranje Nassau karena berhasil membasmi wabah pes di wilayahnya. 

Kemudian setelah wabah pes, Banyumas kembali dilanda kekeringan yang sangat panjang disisi lain akibat perang dunia pertama komoditas ekspor Hindia Belanda tidak laku lagi di Eropa, sehingga semua pabrik gula dan perkebunan tidak lagi beroperasi. Ini mengakibatkan efek domino terhadapa ekonomi masyarakat Banyumas yang sudah sangat tergantung terhadap pabrik dan perkebunan. 

Kemudian pada tahun 1933 dimana masa pagebluk (mailese) belum selesai beliau digantikan oleh putra tertuanya yaitu RAA Soedjiman Mertadiredja Gandasoebrata yang menjabat pada tahun 1933 hingga tahun 1950.



banjoemas.com

PA Gandasubrata bersama dengan anggota folksraad Banjoemas didepan sebuah kantor di banyumas 
sekitar tahun 1937

Meskipun PA Gandasoebrata sudah pensiun sebagai bupati di Banyumas namun beliau tidak menganggur begitu saja, beliau masih terus aktif setelah dianggakt menjadi  anggota folksraad (wakil rakyat) mewakili Pamong Pradja Pribumi. 



banjoemas.com

Foto bersama di karsidenan bersama residen JJ van Helsdingen dan pangereh praja 
se karsidenan Banyumas pada peringatan penobatan ratu Belanda 
31 Agustus 1929

Ndalem Kepangeranan
Rumah yang sekarang kita kenal dengan ndalem Kepangeranan atau rumah Gandasubrata ini dibangun oleh PAA Mertadiredja III pada masa pensiunnya dan kemudian ditinggalinnya hingga meninggalnya. Karena rumah pendopo kabupaten digunakan dan ditinggali oleh penerusnya yaitu bupati PA Gandasoebrata. PA Gandasoebrata sebelumnya tinggal di kepatihan yang berada di barat masjid Banyumas, karena beliau menjabat sebagai patih Banyumas. Kedua putranya pertamanya tidak ikut ayahnya di rumah kepatihan namun R. Sudjiman dan R. Sudirman diasuh langsung oleh Raden Ajeng Pangeran Adipati Aria Mertadiredja III di rumah Kepangeranan. 

Setelah pensiun PA Gandasoebrata  pada taun 1933 setelah pensiun beliau juga pindah ke ndalem Kepangeranan karena pendopo kabupaten dipakai oleh putranya yaitu RAA Soedjiman Mertadiredja Gandasoebrata. Tidak seperti ayahnya, beliau mendapatkan bintang Officier Oranje Nassau justru ketika beliau sudah tidak menjabat sebagai bupati akan tetapi ketika menjadi anggota folksraad bersamaan dengan bupati Magelang RAA Danoesoegondo pada tahun 1936.

Pada tahun 1920an PA Gandasoebrata  membeli sebuah mobil buatan Amerika yaitu merek Dodge Brothers buatan tahun 1919. Memiliki sebuah mobil di karsidenan Banyumas pada masa itu merupakan sesuatu hal yang sangat langka. 

PA Gandasoebrata  meninggal pada 17 Juni 1948 di usianya ke 79 tahun, sedangkan istrinya yang lahir pada 1 Maret 1888 meninggal pada 6 Desember 1955 dan garwa ampeannya lahir sekitar tahun 1873 meninggal pada tanggal 24 September 1918 pada usia 45 tahun karena Tuberculosis. Semuanya dimakamkan di makam bupati Kalibogor di Blok A.

Tulisan ini saya dedikasikan untuk ibu Yeti Gandasubrata alm. yang sudah memberikan waktunya, tenaganya, kecintaannya terhadap sejarah dan arsip sejarah Banyumas  dan keluarga besar Mertadireja & Gandasubrata

Terimakasih saya ucapkan kepada narasumber
- ibu Yeti Gandasubrata alm. 
- Pak dr. Soedarmadji
- Mas Alfian Antono
Chandra Gusta W

Dirangkum dari berbagai sumber 

Rabu, 18 Maret 2020

KPAA MERTADIREDJA III


banjoemas.com

Kanjeng Pangeran Adipati Aria Mertadiredja III
Lahir 2 Maret 1841 -  Meninggal 19 Maret 1927 
Raden Ayu Pangeran Adipati Aria Mertadiredja III
Lahir 29 Juli 1839 - Meninggal 19 Mei 1921

Bupati legendaris yang menjabat sebagai bupati hampir selama hidupnya. Mulai menjadi bupati Purwokerto pada umur 19 tahun pada tahun 1860 dan pensiun pada tahun 1913 diusia yang ke 72 tahun dari bupati Banyumas. Sehingga selama 53 tahun beliau menghabiskan waktunya sebagai Bupati dua kabupaten. Beliau juga disebut sebagai bupati yang pulang pada tempatnya, karena setelah Banyumas jatuh ketangan Belanda bupati tidak lagi jatuh pada anak keturunannya tapi pada pejabat yang tempatkan oleh Belanda.

Bupati ke sepuluh kabupaten Banyumas, Raden Tumenggung Joedanegara V yang menjabat pada masa perang Jawa dianggap tidak banyak membantu Belanda untuk menangkap Pangeran Dipanegara. Sehingga setelah jatuhnya wilayah Banyumasan ke tangan Hindia Belanda RT Joedanegara V langsung dipecat, sehingga berakhirlah trah Adipati Mrapat di Banyumas. 

Banyumas yang belum diserahkan secara resmi oleh Surakarta namun Belanda sudah ikut campur tangan pemerintahan di Banyumas, tidak hanya memecat RT Joedanegara V, mereka juga membagi Banyumas menjadi dua yaitu Banyumas Kasepuhan yang berpusat di Dawuhan  dan Banyumas Kanoman yang berpusat di Kedungrandu Patikraja untuk menyingkirkan keturunan langsung RT Joedanegara V dari Banyumas.

Bratadiningrat yang merupakan putra dari Mas Ngabei Mertawidjaya di Singasari (en) yang masih keturunan dari Bagus Kunting atau Kanjeng Adipati Danureja I (Raden Tumenggung Yudanegara III ) diangkat menjadi Wedana Bupati Kanoman Banyumas dengan gelar Raden Tumenggung Mertadiredja. Namun beliau meninggal pada tahun 1831 setelah setahun menjabat, kemudian digantikan oleh putranya yaitu Raden Adipati Mertadiredja II. Kejadian ini menyebabkan dihapuskannya istilah kanoman, dan diawal pemerintahannya R Ad Mertadiredja II memindahkan pusat pemerintahan dari Patikraja ke Ajibarang.

Disisi lain, setelah meninggalnya Raden Tumenggung Cakrawedana I Banyumas Kasepuhan juga dihapuskan dan dirubah menjadi Kabupaten Banyumas, dan penggantinya adalah Raden Ngabei Cakradirja yang bergelar Raden Adipati Cakranegara I (Inti Silsilah dan Sejarah Banyumas)

Hanya bertahan satu tahun, pusat kabupaten Ajibarang pun dipindah lagi ke sebuah grumbul dimana terdapat santri mengaji dan diatas sebuah telaga di grumbul Paguwan Purwokerto dengan persetujuan asisten residen kabupaten Ajibarang yaitu Varkevisser. Letaknya sekitar 2 km dari pusat pasar wage Purwokerto. 

Raden Adipati Martadiredja II menjadi bupati pertama kabupaten Purwokerto yang menjabat hingga meninggal pada tahun 1853. Dikarena Pangeran Mertadiredja III masih berumur 12 tahun kemudian akhirnya digantikan oleh menantunya yaitu Raden Tumenggung Djajadiredja. Namun tidak berjalan lama Raden Tumenggung Djajadiredja mengalami depresi dan kemudian diasingkan ke Padang, hingga selama beberapa tahun kabupaten Purwokerto tidak tidak memiliki Bupati. Kangdjeng Pangeran Aria (PA) Mertadiredja III menjadi bupati Purwokerto yang ke tiga yang menjabat dari tahun 1860 hingga 1879. 

Riwayat pekerjaan
Pangeran Mertadiredja III remaja yang ditinggalkan oleh ayahnya pada umur 12 tahun, memulai bekerja pada umur 14 tahun sebagai wakil jurusurat di kantor kabupaten Purwokerto yang pada waktu itu yang menjabat bupati adalah iparnya sendiri yaitu Tumenggung Jayadireja (1853-1860). Mulai bekerja dengan surat keputusan Residen Banyumas tertanggal 7 April 1855. Sembilan bulan kemudian baru diangkat menjadi Jurusurat tetap tepatnya pada tanggal 18 Januari 1856.

Di usia yang ke 15 tahun, mulai 8 September 1856 beliau bekerja menjadi wakil Jaksa di kabupaten Purwokerto selama 4 bulan dan menjadi mulai mantri Polisi pada tanggal 16 Januari 1857 selama dua tahun.
banjoemas.com

Raden Adipati Mertadiredja III pada masa-masa awal menjadi bupati Purwokerto
Sumber KITLV LEIDEN

Pada usia ke 17 tahun Pangeran Mertadiredja III mulai bekerja di kabupaten lain, dengan jabatan yang lebih bergengsi yaitu Onder Kolektur di kabupaten Banjarnegara. Hanya berjalan selama satu tahun sembilan bulan pada tanggal 18 November 1860 melalui keputusan Kanjeng Governemen (Gubernur) pada usianya yang ke 19 tahun beliau diangkat menjadi bupati Purwokerto ketiga dengan gelar Mertadiredja III. 

Setelah menjabat selama 15 tahun baru pada tanggal 7 November 1875 Gubernur Pangeran  Mertadiredja III barulah mendapatkan gelar Pangeran Adipati Mertadiredja III. Pada tahun 1879 Residen di Banyumas adalah Cornelis de Clercq Moolenburgh dan bupati yang menjabat di kabupaten Banyumas adalah Raden Adipati Tjokronegoro II, namun bupati sering berselisih dengan Residen sehingga bupati akhirnya mengundurkan diri. 

Sebelumnya sudah disiapkan wedana Sokaraja yang masih merupakan adik R A Tjokronegoro II yaitu Tumenggung Cakrasaputra. Namun residen melalui keputusan gubernur tertanggal 14 Maret 1879 akhirnya memutuskan untuk mengangkat dengan mememindahkan Pangeran Adipati Mertadiredja III yang masih menjabat di Purwokerto. Dengan alasan bahwa sejak diberhentikannya Raden Tumenggung Joedanegara V oleh pemerintah Hindia Belanda bupati menjabat sudah diluar Trah Banyumas, sehingga pada kesempatan ini Residen memutuskan untuk mengembalikan jabatan bupati pada trah aslinya.

Diakhir masa jabatannya bupati menggunakan gelar kehormatan Pangeran Adipati Aria Mertadiredja III, dan mengajukan pensiun pada tahun 1913 dan pensiun dengan hormat pada 6 November 1913.



banjoemas.com
Medali kesetiaan kepada pemerintah Hindia Belanda
Dari Kiri Ridder Oranje Nassau, Officier Oranje Nassau dan Ridder Nederlandsche Leeuw

Beberapa medali dan gelar yang diperoleh oleh Pangeran Adipati Mertadiredja III adalah:
  • 10 April 1883 mendapatkan tanda kehormatan dari gubernur yaitu medali bintang Jene
  • 4 November 1890 mendapatkan tanda kehormatan dari gubernur songsong jene
  • 28 Agustus 1900 mendapatakan tanda kehormatan dari ratu Belanda yaitu Ridder Oranje Nassau 
  • 12 November 1900 mendapatkan gelar kehormatan dari gubernur yaitu gelar Aria sehingga menjadi Pangeran Adipati Aria Mertadiredja III
  • 29 Agustur 1901 mendapatkan tanda kehormatan dari Ratu belanda menggantikan Ridder Oranje Nassau menjadi Officier Oranje Nassau. Penghargaan ini diberikan kepada bupati yang telah berjasa pada kontribusi wilayah internasional.
  • 27 Agustus 1904 mendapatkan tanda kehormatan dari Ratu Belanda Ridder Nederlandsche Leeuw. Penghargaan ini diberikan oleh Ratu belanda karena jasanya yang sangat istimewa bagi masyarakat.
  • 26 Agustus 1910 mendapatkan tanda kehormatan dari gubernur yaitu Pengeran Ngagem Songsong Gilap
banjoemas.com

Kiri, Pangeran Adipati Aria Gandasoebrata beserta istri
Kanan, Raden Adibati Aria Soedjiman Mertadiredja Gandasoebrata beserta istri

Pada tanggal 6 November 1913 Pangeran Adipati Aria Mertadiredja III mengajukan pensiun dan digantikan oleh putranya  yaitu PAA Gandasoebrata  yang menjabat dari tahun 1913 hingga tahun 1933. Kemudian digantikan lagi oleh cucunya yaitu RAA Soedjiman Mertadiredja Gandasoebrata yang menjabat mulai tahun 1933 hingga tahun 1950.

RAA Soedjiman Mertadiredja Gandasoebrata 19 April 1942 diangkat menjadi Residen merangkap menjadi bupati Banyumas.

Pada masa pemerintahan Pangeran Adipati Aria Mertadiredja III merupakan masa-masa awal wilayah karsidenan Banyumas  yang merupakan daerah pedalaman mulai dieksploitasi dan dibangun menjadi kota kolonial yang nyaman untuk orang-orang Eropa. 

  • Dibangun pabrik gula Klampok pada tahun 1888
  • Pada tahun 1888 dibangun jalur kereta api Yogyakarta Tugu ke Cilacap milik perusahaan Staats Spoorwagon
  • Dibangun pabrik gula Bojong pada tahun 1889
  • Dibangun pabrik gula Purwokerto pada tahun 1894
  • Dibangun jalur kereta Serajoedal Stoomtram Maatschappij 1895
  • Dibangun pabrik gula Kaliredjo di Sumpyuh pada tahun 1910

Pembangunan diwilayah karsidenan Banyumas selalu melibatkan bupati-bupati karena ketersediaan tenaga kerja pembangunan akan dipenuhi oleh para bupati di wilayah karsidenan Banyumas. Jadi meskipun pembangunan dilaksanakan di kabupaten Banjarnegara maka bisa jadi yang menjadi buruh pekerja bangunan berasal dari kabupaten lain. 

Keluarga Pangeran Adipati Aria Mertadiredja III 
Seperti bupati kebanyakan pada jaman dahulu Pangeran Adipati Aria Mertadiredja III juga memiliki banyak istri, namun rata-rata istrinya meninggal selama adipati masih hidup. Hanya satu istri yang masih hidup ketika adipati meninggal dari enam istrinya.
  1. Raden Ajoe Pangeran Adipati Aria Mertadiredja III menikah pada tahun 1857 berputra 6 salah satunya adalah Adipati Aria Gandasubrata (Lahir 29 Juli 1839 - Meninggal 19 Mei 1921)
  2. Masajeng Udawati menikah pada 1854 berputra 4
  3. Masajeng Werdiningsih menikah pada tahun 1866 berputra 6
  4. Masajeng Rejaningsih menikah pada tahun 1869 berputra 2
  5. Masajeng Ismayaningsih menikah pada tahun 1877 berputra 4
  6. Masajeng Sumarsih menikah pada tahun 1882 dan berputra 6

banjoemas.com

Persiapan pemberangkatan iring-iringan lelayon pemakaman Kanjeng Pangeran Adipati Aria Mertadiredja III
di selatan alun-alun Purwokerto (22 Maret 1927)


banjoemas.com

Persiapan pemberangkatan iring-iringan lelayon Kanjeng Pangeran Adipati Aria Mertadiredja III
dari rumah duka di Kepangeranan Banyumas ke pendopo kabupaten Purwokerto, 
nampak didalam gambar bupati Aria Gandasoebrata dan istri (21 Maret 1927)


banjoemas.com

Mobil Dodge Brothers milik keluarga bupati yang ikut dalam iring-iringan lelayon 
Kanjeng Pangeran Adipati Aria Mertadiredja III
(21 Maret 1927)

Pangeran Adipati Aria Mertadiredja III meninggal
Pangeran Adipati Aria Mertadiredja III meninggal pada hari Sabtu 19 Maret 1927 meninggalkan 1 istri yang masih hidup yaitu Masajeng Rejaningsih, putra 28 (lima diantaranya sudah meninggal terlebih dahulu), cucu 111 orang dan 86 cicit.

Prosesi pemakaman Pangeran Adipati Aria Mertadiredja III melalui prosesi yang sangat panjang untuk seorang Bupati. Bupati meninggal pada tanggal 19 Maret 1927 kemudian disemayamkan di Kepangeranan selama dua malam sambil menunggu berkumpulnya keluarga besar karena putra-putranya hampir semua menjadi pejabat ataupun istri pejabat. 

Pada tanggal 21 pagi jenazah dipindahkan ke pendopo kabupaten Purwokerto untuk disemayamkan selama satu malam. Iring-iringan diawali oleh mobil truk merek Republic model E buatan tahun 1919 yang berisikan dengan beberapa bendera putih setengah tiang yang dijaga oleh sebuah pasukan opas, kemudian disusul dengan mobil Ford TT Truck buatan tahun 1922 yang membawa jenazah almarhum Pangeran Adipati Aria Mertadiredja III yang penuh dengan hiasan lelayon. Diikuti kemudian adalah mobil Dodge Brothers buatan tahun 1919 yang dibalut dengan hiasan bunga kematian yang membawa keluarga inti laki-laki karena dalam adat jawa perempuan tidak diperkenankan ikut didalam rombongan lelayon. 

Masyarakat sangat antusias untuk melihat prosesi Iring-iringan lelayon yang panjangnya hampir satu kilometer yang di ikuti oleh hampir seluruh pangereh praja dan pejabat kabupaten Banyumas. Mereka menggunakan sepeda yang merupakan kendaraan bergengsi pada waktu itu dan berjalan kaki ikut dalam iring-iringan. Sesampainya di alun-alun Purwokerto jenazah Pangeran Adipati Aria Mertadiredja III disambut oleh R. Tm. Tjokrokohadisoerjo (bupati Purwokerto) dan pangereh praja kabupaten Purwokerto.
Jenazah kemudian di semayamkan selama satu malam di pendopo kabupaten Purwokerto semalam sebelum dikebumikan di makam keluarga Kalibogor. Prosesi ini merupakan bagian dari penghormatan karena almarhum pernah menjadi bupati di Purwokerto selama 19 tahun. 

Tanah makam keluarga kalibogor ada jauh sebelum tahun 1853, karena  R Ad Mertadiredja II sebagai pendiri dan bupati pertama kabupaten Purwokerto ingin di makamkan di Purwokerto. Sehingga pada tahun 1853 ketika beliau meninggal dan dimakamkan di makam keluarga Kalibogor.

banjoemas.com

Wawancara dengan alm. ibu Yeti 17 Juli 2013


Tulisan ini saya dedikasikan untuk ibu Yeti Gandasubrata alm. yang sudah memberikan waktunya, tenaganya, kecintaannya terhadap sejarah dan arsip sejarah Banyumas  dan keluarga besar Mertadireja & Gandasubrata

Terimakasih saya ucapkan kepada narasumber
- ibu Yeti Gandasubrata alm. 
- Pak dr. Soedarmadji
- Mas Alfian Antono

Dirangkum dari berbagai sumber 

Sabtu, 27 Juli 2019

Tamasya Bersama R Soetedja

www.banjoemas.com

Raden Soetedja dan Siti Asiah (repro. dok keluarga Soetedja)

RADEN Soetedja Poerwodibroto, semua orang jamak mendengar nama yang selalu dikaitkan dengan dua hal, pertama langgam keroncong "Di Tepinya Sungai Serayu" yang selalu terdengar saat kereta tiba di Stasiun Purwokerto, dan kedua, Gedung Kesenian Soetedja yang baru menyelesaikan pembangunan gedung teater indoor-nya. Lantas, siapa sebenarnya sosok pencipta lagu yang namanya justru jarang didengar di tanah kelahirannya ini.

Sebelum mencari jejak sang komponis, ada baiknya memutar lagu berjudul "I'I'I' (Seruanku)" ciptaan R Soetedja dengan syair yang ditulis Mahargono. Perjalanan dimulai dengan memasuki gang sempit di belakang sebuah mall tepat di jantung Kota Purwokerto. Tak banyak yang tahu, kisah tentang pria kelahiran 15 Oktober 1909 ini berawal dari balik kemegahan gedung itu, 50 meter ke arah timur dari parkir basement.

Tak jauh dari pusat perbelanjaan lima lantai itu, terdapat rumah bercat putih berdinding kusam, berjendela berwarna biru. Sejenak, terbersit dalam pikiran, mungkin tak ada yang pernah menyangka rumah ini adalah saksi bisu masa kecil Raden Soetedja, anak keempat dari delapan bersaudara, buah kasih Poerwadibrata.

Kondisi bangunan itu masih utuh. Beberapa ekor burung gereja terbang bebas di pelataran. Orang yang lalu lalang di Jalan Pereng, Purwokerto tentu paham, bangunan yang kini difungsikan sebagai gudang itu berusia cukup tua.
Rumah Bapak R Soetedja, R Poerwadibrata (sekarang milik Rita Supermall)
Warga setempat lebih akrab dengan sebutan rumah "Bu Sisten", merujuk pada Siti Asiah, istri Poerwadibrata, ayah kandung Soetedja. Rumah itu dibiarkan kosong selama puluhan tahun sebelum akhirnya dimiliki oleh salah satu taipan Kota Mendoan.

Setelah puas melihat-lihat bangunan tua itu, perhentian berikutnya adalah rumah dinas Poerwadibrata. Lagu gubahan Soetedja "Aku Jadi Kepala" yang syairnya ditulis Utjin, menjadi pengantar saat melihat-lihat rumah dinas Asisten Wedana Kebumen, di Desa Rempoah, Kecamatan Baturraden.

Di rumah ini, Soetedja dibesarkan sebelum diangkat sebagai anak oleh Raden Soemandar. Sayangnya, tak banyak yang bisa diketahui dari sini. Sebab bangunan utama sudah berubah menjadi Puskesmas II Baturraden.

Pun demikian dengan rumah milik R Soetedja ketika sudah berkeluarga di Jalan Komisaris Bambang Suprapto atau yang lebih dikenal bekas Hotel Adam. Bangunan itu telah berubah menjadi deretan rumah toko.

Satu-satunya jejak masa kecil yang masih tersisa adalah kediaman ayah angkat sekaligus paman Soetedja, Raden Soemandar. Dalem Kemandaran merupakan sebuah rumah tua di tepi jalan Purwareja Klampok, Banjarnegara, sekitar satu jam perjalanan dari Kota Purwokerto.

Beberapa daftar lagu milik Soetedja seperti lagu Selamat Berjuang, Hamba Menyanyi, Keroncong Melati Pesanku, Keroncong Senja, sampai Tidurlah Intan bisa menjadi teman perjalanan menuju rumah yang berada di komplek Pasar Purwareja Klampok.

Dalem Kemandaran, Klampok, Banjarnegara (dok. Nugroho Pandhu Sukmono)
Rumah bergaya Belanda ini menjadi taman bermain bagi R Soetedja semasa dibesarkan oleh orang tua angkatnya. Raden Soemandar, adalah orang terpandang pada masa Hindia Belanda. Dia pengusaha karung, pemilik kebun tebu dan batik saat kejayaan ekspor gula di Karesidenan Banyumas. Dalem Kemandaran sendiri diambil dari nama Soemandar, tujuannya untuk memudahkan pengantar surat tidak salah alamat.

Tahun 1971, satu keluarga bidan menyewa rumah ini. Lalu, difungsikan sebagai klinik pengobatan hingga sekarang. Bangunan utama yang tadinya digunakan sebagai kantor pengelolaan bisnis Soemandar masih terlihat utuh. Demikian pula dengan pabrik batik di sayap timur rumah utama.

Di rumah inilah, bakat Soetedja sebagai komponis besar mulai terlihat. Soetedja kecil memiliki kebiasaan yang cukup berisik. Dia gemar memainkan peralatan batik untuk bermusik.

Ketika berusia 10 tahun, Soemandar membelikan biola Stradivarius Paganini buatan tahun 1834 yang dilengkapi dengan sebuah piano pada pemberian berikutnya. Kemahirannya bermusik tampak ketika dia mendirikan band semasa duduk di bangku sekolah menengah.

Lagu "Ditepinya Sungai Serayu" yang legendaris itu, lahir berkat kemauan kerasnya untuk menekuni dunia musik. Syair itu tercipta kala berhasil menaklukkan ayah angkat dan menyekolahkannya ke Konservatori Musik Roma, Italia.

Jejak-jejak terakhir R Soetedja masih tertinggal di salah satu sudut studio RRI Purwokerto. Aula Soetedja, yang kini berganti nama Studio Satria masih memajang fotonya. Jika tak percaya, silakan saja mengunjungi ruangan itu.

Konon, ruangan ini merupakan bentuk penghargaan kepada pria yang menggemari kopi dan nasi goreng ini. Setelah sempat menetap di Jakarta tahun 1942, dia sempat kembali ke Purwokerto dan menjabat sebagai Direktur Musik RRI Purwokerto pada tahun 1946.

R Soetedja juga dikenal sebagai sosok yang romantis, gesekan biola, ketukan piano dan aransemennya mampu meluluhkan hati setiap orang yang mendengar. Sebagian besar tembang gubahan Soetedja diciptakan semasa berada di Jakarta. Dia juga menghidupkan Orkes Melati yang kerap tampil di RRI Jakarta, atau bermain di sebuah klub bernama Wisma Nusantara, pojok Istana Negara serta memimpin korps musik Angkatan Udara Republik Indonesia.

Sayangnya, R Soetedja wafat pada 12 April 1960 dan dimakamkan di TPU Karet Jakarta. Penerima penghargaan bidang kesenian pada masa Gubernur Jakarta Ali Sadikin ini meninggalkan seorang istri dan sembilan putra. Meninggal di usia relatif muda dan lemahnya dokumentasi karya, membuat lagu-lagu R Soetedja kurang begitu dikenal pada masa sekarang.

Setelah menempuh perjalanan jauh Purwokerto-Banjarnegara, tamasya bersama Soetedja ini haruslah dilengkapi dengan bersantai di kawasan Lembah Sungai Serayu. Menikmati senja di ketinggian Bukit Watumeja, Desa Tumiyang, Kecamatan Kebasen, ditemani kopi hangat dan mendengar sayup-sayup lagu "Ditepinya Sungai Serayu". (Nugroho Pandhu Sukmono)

Sabtu, 14 Juli 2018

Suikerfabriek Bodjong dan Kalimanah

www.banjoemas.com
Pada tahun 1888 di afdeling Purbalingga (sekarang kabupaten) mulai dibangun perkebunan dengan nama Cultuur Maatschappij Poerbolinggo yang di dalamnya terdapat dua buah pabrik gula oleh McNeill & Company Semarang. McNeill & Company  merupakan perusahaan yang sudah sangat berpengalaman dalam berbisnis gula (pasir) dan perkebunan tebu. Pabrik gula pertama dibangun di desa Bojong (Bodjong) di distrik Purbalingga dengan nama pabrik gula Bojong (Sf. Bodjong) namun nama aslinya adalah Penisihan. Kemudian pabrik gula kedua dibangun di desa Kalimanah distrik Purbalingga bernama pabrik gula Kalie Klawing (Sf. Kaliklawing/Sf Kalimanah). 


banjoemas heritage
Fasad pabrik gula Bojong

banjoemas heritage
Peta sf Kalimanah (sf Kaliklawing) dan sf Bojong

McNeill & Company sebenarnya hanya pemilik dari seperempat saham, keseluruhan saham adalah f1000 yang dimiliki oleh McNeill & Co (f100), C.W. Baron Van Hecekeren (administratur Sf. Ardjowinangoen) (f50), Dr. E.H.L Ostermann (Administratur Sf. Djeroekwangi/Bandjaran (Pemilik hak tanah sewa)(f50), J.M. Pijnacker Hordijk (f50), W.B. van Groenou (f28), D.W.F. Maxwell (Pemilik sebagian tanah dan infestasi mesin-mesin) (f27), C.L.F. Monod de Froideville (f25), D.D. Fraser (f25), F.J.H. Soesman (f15) dan f10 lainnya adalah Mirandolle dan VoĆ¼tc & Co

Cultuur Maatschappij Poerbolinggo (Perusahaan perkebunan Purbalingga) membangun kedua pabrik ini dengan susah payah karena kedua lokasi pabrik ini masih merupakan wilayah pedalaman di sekitar tahun 1890an. Satu-satunya jalan tercepat yang bisa menghubungkan dengan pelabuhan Cilacap (Tjilatjap)  adalah menggunakan jalur transportasi air yaitu sungai Klawing dan sungai Serayu dan menyambung melalui Sungai Yasa (Sungai Buatan) di antara hilir sungai Serayu dan selat Donan. Dari itulah salah satu dari dari pabrik gula yang di bangun diberi nama pabrik gula Kali Klawing

Cultuur Maatschappij Poerbolinggo mengangkat administratur pertamanya adalah  J. Sayers dan karena alasan kesehatan pada tahun 1893 tuan Sayers hanya mau menjabat sebagai penasehat saja, bertepatan dengan diajukannya proposal penghapusan Cultuur Maatschappij Poerbolinggo karena saham sebagian besar sudah di kuasai oleh Cultuur Maatschappij Kalie Klawing dan posisi administratur kemudian digantikan oleh Hendrik Conrad Carel Fraissinet (H.C.C. Fraissenet) yang menjabat hingga pada tahun 1915. Kemudian administratur dijabat oleh G.L. Hovenkamp.

banjoemas heritage
Rumah administratur sf Bojong

Hendrik Conrad Carel Fraissinet menikah dengan Philippina Francina Deibert dan mempunyai satu anak perempuan bernama Lamberta Christina Fraissinet (18-11-1911 di Poerbolinggo dan meninggal 30-06-1965 di Gravenhage). Dan kemudian Lamberta Christina Fraissinet  menikah dengan Nicolaas Bessem; lahir pada 17-1-1902 di Bergen dekat Zoom, meninggal 18-12-1985 di Amersfoort dan mempunyai 3 anak yaitu  Nicolaas Dirk Bessem, Conradia Wilhelmina Bessem dan Herman Bessem.
banjoemas heritage
Bagian dalam pabrik gula Bojong

banjoemas heritage
Mesin pompa elektrik pabrik gula Bojong

banjoemas heritage
Ketel pemanas pabrik gula Bojong


Peralatan-peralatan berat yang di datangkan dari Eropa semua di kirimkan melalui jalur Air. Salah satu pemasok peralatan-peralatan pabrik juga merupakan pemilik modal kedua pabrik gula ini yaitu D.W.F. Maxwell. Dan karena kepemilikan saham di beberapa pabrik gula di Jawa sehingga pada tahun 1908 menjabat sebagai Dewan Sindikat perlindungan properti industri. 

Pabrik gula Bojong mulai beroprasi pada tahun 1891 dengan menggunakan aliran  sungai Gringsing untuk air bersihnya dan pembuangannya menggunakan aliran sungai Salak, namun di dalam kompleks pabrik terdapat beberapa sumur berukuran besar yang digunakan untuk menambah  kebutuhan air bersih pabrik. Sedangkan pabrik gula Kalimanah menggunakan aliran sungai Ponggawa untuk memenuhi kebutuhan air bersih pabriknya

Perkebunan Tebu Jaringan Rel Lorie
Perkebunan tebu pabrik gula Bojong meliputi Bancar, Penaruban, Kaligondang, Sempor, Jetis, Toyareka, Penambongan, Padamara, Kalimanah, Blater, Kedungwuluh, Grecol, Kembaran Kulon, Brobot, Bojongsari, Kutasari. Demikian juga jaringan rel lori tebu pabrik gula setelah menyebar hingga perkebunan-perkebunan. ini permanen dan Decauville (bongkar pasang) tersebar hingga mencapai perkebunan-perkebunan itu.


banjoemas heritage
Emplasemen bongkar muat tebu di selatan pabrik


banjoemas heritage
Jembatan lori yang dibangun bersama antara pg Bojong dan BOW Banjoemas,
jembatan ini juga berfungsi untuk melintas penduduk diatas sungai Klawing
Sumber Tropenmuseum


banjoemas heritage
Sebuah rangkaian lori pg Bojong melintas diatas jembatan diatas sungai Klawing
Sumber Tropenmuseum


banjoemas heritage
Jalur lori wilayah bancar dan Penaruban

banjoemas heritage
Jalur lori daerah Bojong

banjoemas heritage
Jaringan lori wilayah Kalimanah

banjoemas heritage
Jaringan rel daerah Kedungwuluh

banjoemas heritage
Jaringan rel daerah Padamara

banjoemas heritage
Jalur rel lori yang menuju ke perkebunan di daerah Walik, Kutasari hingga Metenggeng
Sumber Tropenmuseum

banjoemas heritage
Jaringan lori daerah Purbalingga Kulon dan Karangsentul

banjoemas heritage
Peta tahun 1901

Beberapa tahun setelah beroperasi angka hutang perusahaan terus meningkat hingga perusahaan harus melunasi hutang dan bunganya senilai f 420.000. Hingga pada tahun 1894 perusahaan berinisiatif untuk mengganti anggaran biaya dengan menghapus separuh saham asli. Saham dari laba dikeluarkan untuk menggantikan saham biasa dan saham milik pendiri, dan kemudian diterbitkannya saham istimewa senilai f 1.200.000. Pada masa inilah kemudian pabrik gula Kalimanah di tutup dan menjadi Bodjong Cultuur Maatschappij.

JARINGAN SDS
Jaringan kereta uap lembah Serayu baru di bangun pada tahun 1889 dan di resmikan pada 1 Juli 1900, sembilan tahun setelah pabrik ini di bangun baru jaringan kereta api baru di resmikan. H.C.C Fraissinet adalah salah satu dari sekian administratur pabrik gula di Banyumas yang mengusulkan adanya SDS (Serajoedal Stoomtram Maatschapij), yang menghasilkan perjanjian antara pabrik dengan SDS antara tahun 1895 - 1940, dan dikaji ulang pada tahun 1906 dan 1908. 

Pabrik gula Bojong dengan bekas pabrik gula Kalimanah terhubung dengan sebuah jalur rel lori yang melewati yang melewati persawahan Toyareka dan persawahan Blater. Setelah penggabungan bekas pabrik gula Kalimanah hanya berfungsi sebagai gudang akhir sebelum gula di kirim melalui SDS. Rel SDS yang menghubungkan pabrik dengan SDS

banjoemas heritage
Peta SDS, Sf. Kalimanah dan sf Bojong


Perusahaan telah berkembang menjadi tiga kali lipat baik dilihat dari ukuran pabrik dan kapasitas produksinya. H.C.C. Fraissinet telah benar-benar bekerja dengan baik untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi gula.
H.C.C. Fraissenet menurut Locale Belangen, 16 September 1914 pada tahun tersebut menjadi anggota Dewan Perwakilan Banyumas. 
MASA MAILESE
Pada masa kepemimpinan administratur M Fohlil tahun 1928 mengalami penurunan produksi karena gula tidak lagi bisa di ekspor ke Eropa dengan mudah, karena perang yang berkecamuk di Eropa melebar ke seluruh negara di Eropa. Pabrik benar-benar berhenti produksi pada tahun 1930 hingga tahun 1934, setelah keadaan ekonomi mulai membaik pada tahun 1934 justru pabrik diputuskan untuk  ditutup dan asetnya digabungkan dengan pg Kalibagor. 

MASA JEPANG
Lokasi bekas pabrik gula Bodjong yang sudah kosong semenjak tahun 1934 ini pada masa Jepang dijadikan interniran untuk warga Belanda dan  Eropa. Pada masa revolusi kemerdekaan pun kembali dijadikan interniran. Tanggal 8 Desember 1945 orang-orang Belanda dan Eropa laki-laki dan anak laki-laki yang sebelumnya di Internir di Purwokerto dipindahkan ke bekas pabrik gula Bojong. Bangunan yang dijadikan interniran awalnya hanya menggunakan tiga bangunan pabrik yang sudah kosong yaitu blok A, B dan C. Namun karena banyaknya penghuni maka pada awal Februari 1946 di buka lagi satu gedung yang lokasinya berada di sebelah barat pabrik untuk dijadikan blok D. 

Interniran yang berkapasitas 350 orang ini kondisinya sangat buruk meskipun ditunjuk seorang dokter untuk mengelola yaitu Dr A.C. Zwaan, karena memang tidak ada biaya dan persediaan yang dialokasikan pemerintah. Penghuni pada awalnya hanya tidur di lantai tanpa alas, namun kemudian disediakan kayu-kayu untuk alas tidur. Bekas pabrik ini juga tidak tersedia listrik dari EMB (Electric Maatschapij banjoemas), persediaan makanan yang buruk dan keran air hanya terdapat satu. Interniran ini juga tidak disediakan perawatan medis dan obat-obatan, hanya penghuni yang mengidap penyakit parah yang dibawa ke rumah sakit Zending Trenggiling. Selama interniran ini beroprasi terdapat 4 orang yang meninggal karena malaria. 29 Maret 1946 interniran ini di evakuasi ke interniran yang lebih baik yaitu di bekas pabrik gula Klampok (Sf. Klampok)

MASA PERANG KEMERDEKAAN
Setelah Jepang menyerah tanpa syarat pada tanggal 14 Agustus 1945 dan Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Kedatangan Sekutu Amerika bersama dengan Belanda membuat Indonesia Baru bergejolak. Purbalingga pada masa itu adalah wilayah pergerakan Nasionalis (Pejuang Indonesia). Dikarenakan masih banyaknya orang-orang Belanda dan Eropa yang dilepaskan dari inernir Jepang yang tinggal di Purbalingga dan sekitarnya, maka para pejuang berinisiasi untuk menginternir mereka lagi karena ditakutkan akan menjadi antek dan bergabung dengan pasukan Belanda yang baru datang.

Beberapa foto yang berhasi di himpun dari internet terkait orang yang pernah tinggal di pabrik gula Bojong
banjoemas heritage
Foto Nicolaas Lawrence dan Jansje pada tahun 1915
sumber deindischeadams.nl

banjoemas heritage
Lucien dan Jet jr pada tahun 1922
sumber deindischeadams.nl

banjoemas heritage
Helen R en Nico pada tahun 1914 
sumber deindischeadams.nl

Beberapa orang Belanda dan Eropa yang pernah menjadi karyawan di pabrik gula Bojong yang berhasil di himpun penulis ;

  • Willem Karel Alfred Versteegh (lahir di Perkebunan Soember Tempur Rejo, 5 Maret 1897)
  • Johan Gerard van Rossum (lahir 7 Desember 1878 di Arnhem - Meninggal 2 April 1939 di  Beausoleil, Alpes Maritimes, usia 60 tahun)
  • C. J. Cutler bekerja sebagai masinis lokomotif lori.
  • H. Cordes, 
  • L. Faber
  • C. Kempf
  • G. Zacher
  • Helen R
Terimakasih pada Dr. Ir. Krisprantono, MA. untuk suport dan koreksinya

Daftar pustaka ; hubungi penulis jatmikow@banjoemas.com

14/07/18 - 18/05/20