Kamis, 28 April 2011

DAM Kali Bandjaran dan Kali Kradji Poerwokerto

1930 selesai sudah pembangunan DAM kali Bandjaran di sebelah timur desa Kober tepatnya di desa Karangandjing. Aliran DAM kali Bandjaran di alirkan untuk memperbesar aliran kali Krandji yang mengair di tengah kota Purwokerto (Pagoewon). yang nantinya akan di bendung juga di Krandji (sebelah barat Stasiun Timur). Aliran DAM Krandji di alirkan ke pesawahan Tipar, Tanjung, Kedungwringin, keselatan sampai Patikradja dan selatan Gunung Toegel.

Banjoemas Heritage
Peta aliran DAM Kali Bandjaran dan kali Krandji

Banjoemas Heritage
DAM kali Bandjaran di desa Karanganjing

Banjoemas Heritage
Pintu air dari sungai Bandjaran

Banjoemas Heritage
Pintu air yang mengalirkan air ke sungai Krandji

Banjoemas Heritage
Pintu air dari sungai Krandji

Banjoemas Heritage
Aliran air irigasi

Banjoemas Heritage
Bendungan Krandji dilihat dari atas (Jalan)

Banjoemas Heritage
Aliran air yang mengalir sampai Patikradja

Banjoemas Heritage
Selokan yang miring, di dekat jembatan Krandji

Gambar diambil dari
http://commons.wikimedia.org/
Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 3.0 Unported License

Jumat, 08 April 2011

Sejarah Bank BRI

Raden Bei Aria Wirjaatmadja sebagai seorang patih di Kabupaten Purwokerto, suatu saat tercengang mendengar seorang Guru di wilayahnya yang ingin mengadakan sebuah pesta besar dengan cara berhutang kepada seorang rentenir Tionghoa dengan bunga yang sangat tinggi.

Sehingga Raden Bei Aria Wirajaatmadja sebagai seorang priyayi dan juga pengurus kas masjid berpikir untuk membuat sebuah lembaga bagi pegawai Pangreh Pradja agar tidak terjerat oleh hutang dengan bunga yang tinggi. Maka didirikanlah De Poerwokertosche Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden pada 1894 yang dikelola dan di peruntukan untuk kalangan priyayi untuk mendapatkan Pinjaman, maka oleh masyarakat di juluki sebagai "Bank Priyayi".

Asisten Residen Banyumas yang pada waktu itu dijabat oleh E. Sieburgh, membantunya menjadikannya sebuah lembaga yang resmi dan berganti nama menjadi Hulp - en Spaarbank der Inlandsche Bestuur Ambtenaren (Bank Bantuan dan Simpanan Milik Pegawai Pangreh Praja Berkebangsaan Pribumi) pada 16 Desember 1895. Tanggal inilah yang dijadikan tanggal berdirinya Bank Rakyat Indonesia.

Namun pengganti E. Sieburgh yaitu W.P.D. De Wolf van Westerrode (Asisten Residen Poerwokerto) yang pernah mengelola sebuah bank di Jerman pada tahun 1897 bank ini di tata ulang dan berganti nama menjadi Poerwokertosch Hulp Spaar en Landbouw Kredietbank (Bank Bantuan Simpanan dan Kredit Usaha Tani Purwokerto). Ini berarti bahwa De Wolf melakukan perluasan kebijakan penyaluran kredit yang tidak hanya kepada para priyayi saja, namun pegawai kabupaten (afdeling) juga memperoleh kesempatan untuk mendapatkan kredit dengan catatan lolos dalam memenuhi persyaratan. Dan pada perkembangannya Poerwokertosch Hulp Spaar en Landbouw Kredietbank lebih dikenal dengan Volksbank atau Bank Rakyat. Ini berarti bahwa usaha "merakyatkan" banknya telah membuahkan hasil.

Keberhasilan ini memberi pengaruh terhadap daerah lain yang mempunyai asisten residen untuk mendirikan bank serupa. Pendirian bank-bank di setiap daerah juga diikuti dengan pembentukan lumbung-lumbung desa yang kelah berubah menjadi Badan kredit Desa (BKD) dan KUD. Kemudian selanjutnya di jadikan bank sentral untuk lembaga perkreditan di pedesaan. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mendirikan kas sentral lewat Keputusan Raja Belanda No.118 tertanggal 10 Juli 1912, yang tertuang dalam Staatblad 1912 No. 392, dengan nama lembaga Centraale Kas Voor het Volkskredietweswen.

Pendirian Kas Sentral inilah yang justru membuat bank-bank rakyat kurang berkembang. Kemudian parlemen (Volksraad) memutuskan untuk dibentuknya Algemene Volkskredietbank (AVB). AVB didirikan untuk melakukan penggabungan antar bank rakyat (Volksbank lokal) guna menghindari kesulitan finansial akibat kebangkrutan.

Pada tahun 1942 jepang datang dan berkuasa hingga 1945, Algemene Volkskredietbank ditutup dan selanjutnya diubah menjadi Syomin Ginko, pembukaan kembali Syomin Ginko yang bekas AVB itu dilakukan lewat Gunseikan (penguasa tertinggi pemerintahan militer Jepang). Dan cabang-cabangnya hanya dibuka pada daerah yang ditempati oleh bala tentara Jepang saja. Lembaga keuangan tersebut kemudian juga dimanfaatkan pemerintah militer Jepang untuk mendukung biaya perang.

Setelah Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Syomin Ginko pun berubah menjadi Bank Rakyat Indonesia (BRI). Secara de facto BRI dikuasai oleh pegawai Indonesia. Direksi pertama BRI adalah M. Harsoadi (presiden direktur), M. Soegijono Tjokrowirono (direktur), dan M. Soemantri (direktur merangkap sekretaris). Pada awalnya, BRI berkantor di Gedung Escompto (bekas kantor Bank Escompto pada masa penjajahan Belanda dan kantor Syomin Ginko pada masa Jepang) yang terletak di Jakarta Kota. Pengukuhan ini terjadi pada 22 Februari 1946 melalui peraturan pemerintah (PP). Dalam pasal 2 PP tersebut dinyatakan bahwa wilayah kerja BRI adalah di seluruh Indonesia. Dengan dikeluarkannya PP ini, baik secara de facto maupun de jure, BRI menjadi bank pemerintah pertama sebagai kelengkapan negara Republik Indonesia.

Presiden pertam Indonesiapun memprakarsai penggabungan BRI dengan Bank Tani Negara dan Nederlandsche Handels Maatschappij (NHM) yaitu perusahaan Belanda yang telah dinasionalisasi pada 1960 menjadi Bank Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN). BKTN adalah penyokong revolusi agraria yang dicetuskan pada 24 September 1960 yang bertugas membantu usaha-usaha koperasi, pada umumnya, serta kaum tani dan nelayan pada khususnya.

Dalam pidatonya dalam bidang ekonomi pada 28 Maret 1963, yang menegaskan strategi dasar dan kebijakan jangka pendek yang akan ditempuh pemerintah di bidang perekonomian. Untuk mencapai tujuan itu, BKTN memberikan fasilitas pinjaman kredit kepada nelayan dan petani untuk memperbaiki taraf hidup mereka disertai dengan pendidikan, bimbingan, dan pengawasan.

Masa Orde Baru, Presiden Soeharto waktu itu mencanangkan program rehabilitasi, stabilisasi, dan program pembangunan. Untuk menyukseskan program itu, BRI dilibatkan secara aktif dengan UU No. 21 Tahun 1968 tentang Bank Rakyat Indonesia. Pada pasal 7 UU itu, ditegaskan bahwa BRI diarahkan kepada perbaikan ekonomi rakyat dan pembangunan ekonomi nasional dengan jalan melakukan usaha bank umum dengan mengutamakan pemberian kredit sektor koperasi, tani, dan nelayan. BRI juga mesti membantu petani dan nelayan dalam mengembangkan usahanya; membantu koperasi dalam menjalankan kegiatan bidang kerajinan, perindustrian rakyat, perusahaan rakyat dan perdagangan rakyat.

Keterlibatan BRI dalam bisnis pedesaan di awal Pelita pertama 1969 tampak setelah ditunjuk oleh pemerintah untuk menyalurkan kredit program bimbingan massal(bimas). Program bimas, yang terutama ditujukan untuk menggenjot swasembada beras, mengalami beberapa kali penyempurnaan. Bentuk penyempurnaan program bimas itu, antara lain yang cukup berhasil adalah dengan pembentukan BRI Unit Desa. Sampai sekarang, lembaga ini masih ada dan menjadi sahabat para petani, nelayan, dan koperasi unit desa (KUD) dalam urusan kredit.


Museum Bank BRI Purwokerto

Musium Bank BRI
Musium ini terletak di pojok pertigaan Jl. Jendral Sudirman dan Jl. RA Wiraatmaja (jalan Bank). Jalan ini memang lebih terkenal Sotonya ketimbang museumnya. Musium ini terdiri dari tiga bangunan dengan enam ruangan yaitu ATM BRI, Ruangan Bank BRI (teler) ruang pamer (2) ruang perpustakaan dan ruang/gedung replika Bank pada saat pertama berdiri. Selebihnya adalah ruangan terbuka seperti taman dan kolam serta patung Raden Bei Aria Wiraatmadja.

Banjoemas Heritage
Begitu masuk ke ruang museum akan dijumpai maket Bank BRI pusat Jakarta dan sesosok patung dewa Kuwera yang merupakan lambang kemakmuran bagi agamaHindu Siwa. Selanjutnya urutan mata uang yang pernah ada di bumi NUsantara di awali dari uang pada jaman Majapahit, VOC, Hindia Belanda, Jepang, hingga jenis uang pada masa Orde Baru. Beberapa juga terdapat jenis mata uang yang berasal dari Negara-negara yang pernah memerdekakan diri dari wilayah RI.

Banjoemas Heritage

Banjoemas Heritage

Banjoemas Heritage

Banjoemas Heritage

Banjoemas Heritage

Banjoemas Heritage

Banjoemas Heritage

Banjoemas Heritage

Diorama kondisi Indonesia pada waktu itu dan proses pembentukan Bank ini menjadi point tersendiri karena bentuknya yang besar. Tiga buah buku berbeda namun isinya sama yaitu buku tentang Sejarah/Babad Wirasaba. Buku tersebut di tulis dengan tulisan jawa (tangan) dan buku yang lainnya adalah versi cetaknya dalam bahasa Belanda dan Jawa. Pakaian, senjata, dan perangkat milik Raden Bei Aria Wiraatmaja.

Di musium ruangan bawah terdapat berbagai macam mesin ketik dan mesin hitung yang pernah di gunakan oleh BRI yang rata-rata adalah bikinan Eropa. Beberapa Brankas kuno dan medali.

Perpustakaan
Perpustakaan berada pada ruangan bawah, disana terdapat ratusan buku dari jaman Belanda hingga sekarang, Kebanyakan adalah buku tentang perbankan (berbahasa Belanda dan Inggris) namun juga banyak terdapat buku umum.

Alamat Museum BRI Purwokerto
Alamat: Jl Jend Sudirman 55 Purwokerto, Jawa Tengah Indonesia
Telp: 0281631812 fac: 631819 BRIPWT IA

Jam Kunjungan
Hari Minggu - Hari Kamis jam 08.00-14.00 (FREE)

Dirangkum dari 


Minggu, 03 April 2011

Kuburan Belanda Purbalingga


Kuburan Belanda (Nederlandse begraafplaats) berada di JL. LETJEN. S. Parman ini sudah menarik perhatian dari sejak saya kecil. Ibuku yang bekerja sebagai petugas lapangan KB di BKKBN sering ngajak saya ke kantor pusat kabupaten Purbalingga yang hanya 50 meter dari kuburan Belanda. Menarik buat saya karena setiap melewatinya selalu nggak percaya kalo itu kuburan, karena bentuknya beranekaragam beda juga dengan kuburan Cina (bong Cina Banjaran) deket rumah embah.

Banjoemas Heritage

Banjoemas Heritage

Banjoemas Heritage

Banjoemas Heritage

Banjoemas Heritage

23 November 2010 lalu dengan tekad bulat dan itikad baik akhirnya "mblusuk" juga ke kuburan Belanda sendirian. Awalnya ragu sih ... jadi ngambil gambarnya agak jauh, tapi malah membuat saya sendiri nggak puas dengan hasil fotonya. Terpaksa memang harus dideketin satu persatu walau rumput yang meninggi masih basah menempel di sepatu kulitku. Satu per satu saya amati, dari bentuk, posisi dan informasi di setiap batu nisannya. Bangunan tidak banyak yang utuh dan apalagi batu marmer yang memuat nama tanggal lahir dan tanggal kematiannya. Beberapa sudah diperbaiki terlihat dari semen yang masih berwarna "navy gray". Kalau di perhatikan secara keseluruhan ini bukan kuburan tentara Belanda tapi kuburan orang Belanda (mungkin keluarga staf residen, keluarga pemilik perkebunan tembakau, atau keluarga staf PG Bodjong) tahun-tahun kematian berkisar antara 1880 - 1920han (berakhirnya culurestensel, masa-masa berdirinya PG Bodjong, Perkebunan tembakau dan awal dimana belanda membangun kota Purbalingga) dan juga karena dilihat dari bentuknya yang beragam.

Banjoemas Heritage

Banjoemas Heritage

Saya berencana untuk menelusuri silsilah keluarganya namun informasi mengenai nama masih belum maksimal sehingga masih harus di teliti lagi mengenai nama keluarga dan ejaannya (bakalan "mblusuk kesana lagi neeh ... siapa mau ikut?").


Senin, 28 Maret 2011

Ibukota Banyumas


Kota Banyumas awalnya adalah kota kadipaten Kedjawar yang didirikan oleh Jaka Kaiman pada masa kekuasaan Kasultanan Pajang.

Setelah perang Diponegoro selesai wilayah Banyumas dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda, dan dibangunlah sistem Residente (Karsidenan). De Sturler pada 1 November 1830 di tunjuk dan di lantik menjadi Residen pertamanya, Belanda mulai membangun kota Banyumas sebagai ibukota Karsidenan Banyumas. Disamping itu Banyumas juga merupakan Ibukota Kabupaten Banyumas yang wilayahnya meliputi Onderdistrict Banyumas, Onderdistrict Adireja dan Onderdistrict Purworejo Kelampok. Kabupaten ini terpisah dengan kabupaten Ajibarang yang akhirnya pindah ke kota Purwokerto.

Pada masa yang sama Graaf Johannes van den Bosch menciptakan sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel). Sistem ini mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak. Walaupun pada pelaksanaanya sangat berbeda.

Residen menunjuk seorang wakil Residen (Orang Belanda) pada setiap wilayah Kabupaten, yang bertugas mengurusi masalah perpajakan di setiap wilayahnya.
Banjoemas Heritage
Pada 1843, rumah karesidenan di Kampung Pesanggrahan dipindah ke Kajawar, Karanggandul. Bersamaan dengan itu, dibangun pula jalan Banyumas ke selatan hingga sampai Buntu. Lantas ditarik ke barat sampai Cilacap.

Banyumas pernah dilanda Banjir yang sangat besar selama empat hari empat malam (21-23 Februari 1861) seperti yang pernah di ramalkan oleh para sesepuh (catatan R.M.S Brotodiredjo dan R. Ngatidjo Darmosuwondo) yang berbunyi ”Besuk bakal hana betik mangan mangar” (Nanti akan ada ikan (Betik) makan bunga kelapa).

Kota Banyumas yang di bangun Belanda pada saat itu memiliki banyak sekali gedung-gedung megah dan kokoh. Diantaranya adalah Gedung Resident, Gedung Societeit, Kantor Post en Telegram, Kantor Telefon, European School, Holland Inlader School, Inlander School, hospital, Chinese School, Pandhuis Kantoor (Pegadaian), AFD bank, Hotel Carolina, Zoutpakhuis (Gudang Garam), Gevangenis (penjara), Brandspuit (gedung pemadam kebakaran), Districtshoofd (kantor Distrik), Bur. Gew. Wreken (gedung pekerjaan), Waterest Kantoor, Wachthuis (pos penjagaan) dan beberapa gedung lainnya. Selain itu rumah gedong orang-orang Belanda juga banyak didirikan di Banyumas, terutama di daerah Menganti dan Kedung Uter (Kedoengoeter).
Banjoemas Heritage

Banjoemas Heritage
Rumah dan Gedung Residen Banyumas

Banjoemas Heritage

Banjoemas Heritage

Banjoemas Heritage
Pertunjukan kesenian rakyat pribumi di depan Hotel Slamet

Banjoemas Heritage
Masyarakat kota Banyumas menonton pertandingan sepak bola di alun-alun kota

Banjoemas Heritage
Tentara dan perawat menonton sepakbola di alun-alun Banyumas

Banjoemas Heritage
Pegawai rumah sakit Tentara mengunjungi pasar

Banjoemas Heritage
Suasana ruang perawatan rumahsakit Tentara

Banjoemas Heritage
Alun-alun Banyumas

Banjoemas Heritage
Beberapa orang Belanda sedang berada di beranda gedung Harmonie

Banjoemas Heritage

Banjoemas Heritage
Jembatan diatas sungai Serayu yang menghubungkan Banyumas dengan Sokaraja

Banjoemas Heritage
Suasana pasar di Banyumas

Pada saat di bangunnya Serajoedal Stoomtram Maatschappij (SDS) Maos - Wonosobo pemerintah Hindia Belanda yang diwakili oleh Residen Banjoemas mengajukan dibangunnya jalur kereta ke kota Banyumas namun ditolak oleh SDS karena lokasinya yang susah dan membutuhkan biaya besar sedangkan jalur ini sangat tidak menguntungkan karena tidak adanya pabrik ataupun perkebunan. Sebenarnya jalur ini di minta hanya karena untuk mempermudah akses ke ibukota Batavia.

Sampai pada kepindahannya ke kota Purwokerto, kota Banyumas tidak pernah dibangun jalur kereta api yang merupakan akses penting untuk terhubung dengan Batavia (Jakarta).

Tulisan dirangkum dari beberapa sumber;
1834, Administratief Verslag de Residentie Banjoemas
Kaart, Hoofdplaats Banjoemas 1920
ALGEMEEN HANDELSBLAD. Woensdag 11 October 1893
De Sumatra Post No."233

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 3.0 Unported License.

Selasa, 22 Februari 2011

Pembentukan Residentie Banjoemas dan Regentschatp

banjoemas
Pembentukan Residentie Banjoemas

Perlawanan Pangeran Diponegoro dan pengikutnya terhadap pemerintahan Kolonial Belanda yang sangat sewenang-wenang berlangsung selama hampir 5 tahun. Sejak kebijakan Belanda untuk membuat jalan yang melewati tanah leluhur pada tahun 1825 sampai tertangkapnya Pangeran Diponegoro pada tahun 1830. Perlawanan ini merupakan perang yang hebat karena menewaskan sedikitnya 8000 tentara Belanda, 7000 pasukan pengikut Pangeran Diponegoro, dan mengorbankan sekitar 200.000 rakyat jawa yang berarti separuh dari populasi peduduk Jawa pada masa itu.

Kerugian materi sebanyak 30 Juta Gulden ditambah kerugian militer Belanda sebanyak 2 Juta Gulden. Yang oleh pemerintah Belanda kerugian materi ini di bebankan pada dua kerajaan yang berkuasa saat itu yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Namun kedua kerajaan besar tersebut menolak dan sebagai gantinya pemerintah Belanda menguasai daerah mancanegaran kilen yaitu Bagelan dan Banjoemas (Banyumas). Comisie ter Regeling der Zaken yang merupakan komisi urusan tanah-tanah kerajaan memerintahkan Residen Pekalongan M.H. Hellewijn untuk mengambil alih daerah Mancanegaran Kilen yang dimaksud dengan langkah menahan semua piagam pengangkatan bupati oleh Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Piagam tersebut dianggap sebagai bukti gadai seharga 90 Gulden, yang akan di tabggung oleh Kasultanan Yogyakarta 10 Gulden dan Kasunanan Surakarta 80 Gulden. Dan sejak saat itu wilayah Banjoemas berada pada kekuasaan Belanda yang berarti tunduk terhadap pemerintah Kolonial Belanda.

banjoemas
Rumah Residen Banjoemas dengan pepohonan Kenari

Pada saat itu Kadipaten Banjoemas dipimpin oleh K.R.T. Cakrawedana (1816 -1830) sebagai Adipati Kesepuhan dan terdapat pula Adipati Kanoman yaitu R. Adipati Bratadiningrat (R.T. Martadireja I).

M.H. Hellewijn membuat pendataan dan laporan untuk mempersiapkan penyelenggaraan pemerintahan sipil yang menjadi acuan pemerintah pusat Batavia untuk mengatur wilayah Karesidenan Banjoemas. Pada 20 September 1830, M.H. Hellewijn memberikan laporan umum hasil kerjanya kepada Komisaris Kerajaan yaitu Jenderal De Kock yang berada di Sokaraja yang akan di lanjutkan ke Batavia. Tepat pada 1 November 1830 De Sturler di tunjuk dan di lantik menjadi Residen pertamanya. Dan menetapkan cakupan wilayah Banyumasan yang meliputi: Kebumen,  Banjarnegara, Panjer, Ayah, Poerbalingga. Banjoemas, Kroja, Adiredja, Patikradja, Poerwakerta, Adjibarang, Karangputjung, Sidareja, Madjenang sampai ke Daiyoe-loehoer (Dayeuhluhur), termasuk juga di dalamnya tanah-tanah Perdikan (daerah Istimewa) seperti Donan dan Kapungloo.

Banjoemas

Pembentukan Regentschatp / Kabupaten
Selanjutnya pada tanggal 18 Desember 1830 melalui Beslit Gubernur Jenderal J.G. Van Den Bosch, hanya menjadikan empat kabupaten yaitu Banyumas (Banjoemas), Ajibarang (Adji-Baran), Dayeuhluhur (Daijoe-Loehoer), dan Purbalingga (Probolingo).Karesidenan Banyumas juga diperluas dengan dimasukkannya Distrik Karangkobar (Banjarnegara), pulau Nusakambangan, Madura (sebelumnya termasuk wilayah Cirebon) dan Karangsari (sebelumnya termasuk wilayah Tegal).

Wilayah Karesidenan Banyumas dibagi menjadi lima kabupaten dan saat itulah dimulainya jabatan Residen dan Asisten Residen yang dijabat oleh orang Belanda di Banyumas (Soedjarwo, 2000:44; Anto Ahcadiyat, 1994:11), dan pada saat itu di daerah Banyumas mulai ada pangkat Wedana Bupati. Adapun lima kabupaten yang dimaksud adalah:
1. Kabupaten Banyumas, bupati Raden Ngabehi Cakradirja dengan gelar Raden Adipati Cakranegara dan didampingi Residen De Sturler (pejabat Belandan).
 - Distrik Banyumas
 - Distrik Adireja
 - Distrik Purworejo Kelampok
2. Kabupaten Ajibarang, bupati Raden Tumenggung Bartadimeja bergelar R Adipati Martadireja II didampingi Asisten Residen Werkevisser. Pada tahun 1832 pindah ke Purwokerto.
 - Distrik Purwokerto
 - Distrik Ajibarang
 - Distrik Jambu Jatilawang
3. Kabupaten Purbalingga, bupati R.M. Tumenggung Dipakusuma II, dan didampingi Asisten Residen B. Schmalhausen.
 - Distrik Poerbolinggo
 - Distrik Soekaradja
 - Distrik Kertanegara Bobotsari
 - Distrik Tjahjana
4. Kabupaten Banjarnegara, bupati  Raden Tumenggung Dipayuda dan Asisten Residen Panggilmeester.
 - Distrik Banjar
 - Distrik Singamerta
 - Distrik Leksana
 - Distrik Karangkobar
 - Distrik Batur
5. Kabupaten Dayeuhluhur, Bupati  Raden Tumenggung Prawiranegara dengan Asisten Residen De Mayer.
 - Distrik Majenang
 - Distrik Dayeuhluhur
 - Distrik Pegadingan
 - Distrik Jeruklegi

Namun, dalam Resolutie van den 22 Agustus 1831, No.1 pemerintah Belanda mengangkat 5 orang pejabat bupati di Karesidenan Banyumas, yaitu Ngabehi Cakranegara dari Purwokerto diangkat menjadi bupati Banyumas, Raden Tumenggung Mertadiredja II, Wedana Bupati Kanoman Banyumas diangkat menjadi Bupati Ajibarang, Ngabehi Dipayuda dari Ngayah diangkat menjadi Bupati Banjarnegara, Tumenggung Prawiranegara tetap di Dayeuhluhur, dan  Tumenggung Dipakusuma tetap di Purbalingga. Kelima pejabat di atas semuanya memakai gelar raden tumenggung (Priyadi, 2004: 159).

Pada tanggal 22 Agustus 1831 dibawah Karesidenan Banjoemas membentuk 4 Regentschap (Kabupaten) di wilayah Karesidenan Banyumas yaitu, Kabupaten Banjoemas, Adjibarang, Daiyoe-loehoer dan Prabalingga yang masing-masing dipimpin oleh seorang Bupati pribumi. Residen de Sturler juga melakukan pembentukan struktur Afdeling yang berfungsi sebagai Asisten Residen di masing-masing Kabupaten.

Pembentukan Afdeling meliputi, Kabupaten Dayoehloehoer dan Kabupaten Ajibarang menjadi satu Afdeling yaitu Afdeling Ajibarang dengan ibukota Ajibarang dan D.A. Varkevisser diangkat sebagai Asisten Residen di Ajibarang sekaligus sebagai ”pendamping” Bupati Ajibarang Mertadiredja II dan Bupati Dayoehloehoer R. Tmg. Prawiranegara. Tiga Kabupaten lainnya yaitu Kabupaten Banyumas, Purbalingga dan Banjarnegara masing-masing memiliki Afdeling sendiri-sendiri.

Sumber gambar
http://commons.wikimedia.org
Sumber tulisan
Bayumas: sebuah Tijauan Historis Saptono, Dosen PS Seni Karawitan
Priyadi, Sugeng. 2004. “Sejarah Kota Purwokerto” dalam Jurnal Penelitian Humaniora, Volume 5, No.2, edisi Agustus. Surakarta: Lembaga Penelitian, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 3.0 Unported License.