Jumat, 30 Juni 2017

GUNUNG SLAMET RIWAYATMU

Peta Tegal - Brebes - gn. Slamet (peta dibuat terbalik) tahun 1756
doc. BHHC
Gunung Slamet (3.428 m dpl) adalah gunung teringgi di Jawa Tengah dan nomer dua di Jawa setelah gunung Semeru (3.676 m dpl), nama gunung Slamet berasal dari bahasa Arab salamatan, hingga nama ini kemungkinan muncul pada masa setelah masuknya Islam ke Jawa. Dalam catatan naskah kuno Sunda tentang perjalanan Bujangga Manik gunung yang berada diantara budaya Mataram dan Pajajaran ini disebutkan bernama gunung Agung, dan beberapa orang tua menyebutnya dengan gunung Ghora, namun catatan bangsa Eropa melalui peta kartografi yang pernah di buat,  Gunung besar dan menjulang yang berada di antara daerah Tagal (Tegal), Pecalongang (Pekalongan) Passir (Purwokerto) Banjoemas (Banyumas), Wirasaba dan Ladok (Lembah Serayu) itu bernama Berg van Tagal (Gunung Tegal). 

Gunung Slamet bagian selatan yang basah dan dengan kadar asam yang tinggi menyebabkan tidak ditemukannya fosil purba, bahkan peninggalan berupa batu-batu pun tidak banyak ditemukan di sana, namun berbeda dengan daerah utara dimana terdapat banyak kapur dan kering sehingga lapisan ini membantu mengawetkan fosil-fosil purba seperti yang di ketemukan di Semedo Pemalang.

Kawah gunung Slamet
Keliling kawah gunung Slamet sekitar 2 km, sedangkan luas kawah sekitar 300 meter persegi sedangkan diameternya sekitar 550 meter. 

Penampakan kawah gn. Slamet menghadap barat pada tahun 1910
Sumber Tropen Museum
Penampakan kawah gn. Slamet dari arah barat pada tahun 1929
Fotografer: Dr. W.G.N. (Wicher Gosen Nicolaas) van der Sleen 
Sumber Tropen Museum

Penampakan kawah gn. Slamet dari arah utara pada tahun 1929
Fotografer: Dr. W.G.N. (Wicher Gosen Nicolaas) van der Sleen 
Sumber Tropen Museum

Penampakan kawah gn. Slamet dari arah Selatan pada tahun 1940
Sumber Tropen Museum

Penampakan kawah gn. Slamet menghadap utara pada tahun 1922
Fotografer: Dr. H.J. (Herman Johannes) Lam 
Sumber Tropen Museum
Penampakan kawah gn. Slamet menghadap selatan pada tahun 1922
Fotografer: Dr. H.J. (Herman Johannes) Lam 
Sumber Tropen Museum

Penampakan kawah gn. Slamet menghadap barat pada tahun 1922
Fotografer: Dr. H.J. (Herman Johannes) Lam
Sumber Tropen Museum

Wilayah
Gunung Slamet semenjak kekuasaan Hindia Belanda di Jawa, terbagi menjadi beberapa bagian wilayah yaitu Wilayah kabupaten Purwokerto (1832 - 1937), Kabupaten Banyumas (1937 - Sekarang), masuk wilayah kabupaten Purbalingga (1931 - sekarang), kabupaten Pemalang, Tegal dan Brebes.



gn Slamet peta tahun 1870
sumber Universiteit Leiden


Peninggalan 
Menurut kepercayaan orang-orang tua gunung Slamet mempunyai banyak tempat yang wingit dan di hormati. Dan orang dulu sangat mengenal bagian bagian dari gunung Slamet, karena hampir setiap gunung kecil (bukit diantara aliran hulu sungai), lembah atau lereng kecil (igir) dan hutan (utan) di gunung Slamet mempunyai nama. Ini mengisyaratkan bahwa masyarakat kuno sececara spiritual sangat dekat dengan gunung Slamet. 
Berikut nama gunung kecil yang bisa penulis himpun yaitu :

  • g Anyer
  • g Seladadak
  • g Selawang
  • g Selatri
  • Igir Wika
  • g Pongkor
  • g Kranggen
  • Igir Tipis
  • g Utan Bambuwiar
  • g Beser
  • g Sikalong
  • g Pondokandong
  • g Malang
  • g Cendong
  • g Sedakarang
  • Utan Batur
  • g Watu
  • g Dalem
  • g Watu Kalang
  • Utan Damarpayung
  • Utan Sikanjur
  • g Lempung
  • g Limpartepus
  • g Kuta Barang
  • g Karang
  • g Tipis
  • g Kerisan
  • g Malang 
  • g Sumbul
  • g Kembang
  • g Lanang 
  • g Puter 
  • g Grecol
  • utan Kabang Tengah
  • g Tukung
  • g Jangkol Pring
  • g Kelir
  • g Brete 
  • g Keto
(Sumber peta Belanda tahun 1850)

Menurut peta Belanda tahun 1943 Gunung Slamet yang masuk wilayah Banyumas merupakan bagian lereng gunung yang curam dan memanjang dari timur hingga ke barat. Menurut masyarakat kuno terdapat banyak igir (Lereng) yang dianggap wingit seperti Igir Klanglar (jalur pendakian baru Baturraden) yang merupakan hulu sungai Gemawang yang melewati lokawisata Baturraden, igir Dawa (hulu sungai Banjaran) dan igir Manis (hulu sungai Logawa).  Terdapat sebuah gunung yang terlihat dari kota Purwokerto terlihat datar memanjang bernama gunung Rataamba dan gunung Cendana (sebelah barat Ketenger).

Gunung Slamet yang masuk wilayah Purbalingga terdapat jalur pendakian yang merupakan jalur pendakian yang sudah di lewati sejak masa Hindu Budha. Hal ini dibuktikan dengan beberapa tempat wingit dan dihormati berada di sekitar jalur pendakian ini seperti Sanghyang Kendit (Hulu Sungai Lembarang), Sanghyang Cemoro (Perbatasan Purbalingga-Pemalang) dan Sanghyang Jampang (Perbatasan Purbalingga-Pemalang). Juga terdapat dua buah gunung kecil yang dianggap wingit karena dianggap menghalangi daerah Purbalingga dari bahaya lahar gunung Slamet yaitu keduanya bernama gunung Malang. Banyaknya peninggalan susunan bebatuan antara Baturagung ketimur hingga Baturraden juga membuktikan bahwa pada masa lalu gunung Slamet dianggap mempunyai kekuatan dan tempat yang suci. 


Jalur Pendakian
Terdapat dua jalur pendakian gunung Slamet yang sudah biasa dilewati yaitu:
- Jalur Bangbangan (Purbalingga)
Jalur ini ditenggarai merupakan jalur pendakian yang sudah ada sejak masa Hindu Budha. Wilayah Sangkanayu, Serang  hingga Bangbangan merupakan pemukiman kuno yang tinggal di dataran tinggi. Jalur yang merupakan perbatasan kabupaten Purbalingga dan Pemalang ini merupakan jalur paling dekat antara pemukiman dengan puncak.

- Jalur Baturraden (Banyumas)

Jalur ini kemungkinan mulai di buka pada masa Hindia Belanda dimana penelitian Biologi dilaksanakan di sini. Jalur ini tergolong jalur yang lebih panjang dan lebih sulit dari jalur Bangbangan. Jalur menggunakan bukit antara hulu sungai Banjaran dan sungai Gemawang.
Jalur pendakian gunung Slamet
sumber Universiteit Leiden


Penelitian Biologi
Pada masa Hindia Belanda gunung Slamet juga tidak luput dari obyek penelitian biologi diantaranya adalah F.C. Drescher yang meneliti berbagai Kumbang yang berada di wilayah gunung Slamet. Beberapa spesies yang di temukan diantaranya adalah Omotemnus Serrirostris, Omotemnus Swierstrae, Omotemnus Hauseri, Omotemnus Variabilis, Otidognathus Turbatus Javanicus, Protocerius Preator, Protocerius Colossus, Ommatolampus Germari, Sphenocorynus marginalis, Poteriophorus Opacus Javanicus, Atarphaeus Rhinodontulus, Nea Drescheri (Von Klaus Gunther, Staatliches Museum fur Tierkunde, Dresden).


Beberapa spesies serangga yang ditemukan di gn. Slamet
Sumber: Über einige von F. C, Drescher auf Java gesammelte Calandriden (Col. Curcul.), 
mit biologischen Angaben.



banjoemas.com
JW van Dapperen (Jan William) 1869 - 1937 pernah menulis upacara-upacara adat di wilayah Baturraden seperti upacara tanam padi di Ketenger, upacara adat di Kemutug dan Sumber Pitu (Pancuran Pitu) dengan sangat detail. Van Dapperen tergila-gila dengan Baturraden dan akhirnya menikahi perempuan pribumi Rr. Sudarminah dan tinggal di Baturraden hingga akhir hayatnya. Van Dapperen di kebumikan di kerhof Purwokerto dan terawat sampai sekarang, bahkan anak keturunannya banyak yang tinggal di Indonesia. 



Eksploitasi
Sejak masa Hindia Belanda kaki gunung Slamet yang subur di wilayah Banyumas dan Purbalingga terdapat beberapa perkebunan (Onderneming) yang terkenal yaitu onderneming Pekajen (atas desa Candiwulan Purbalingga), onderneming Tegalsari (Kemutug Baturraden) dan onderneming Menggala (milik pengusaha Kwee Lie Keng Purbalingga).


Peta 
Lokawisata Baturraden
Lokawisata Baturraden yang berada di kaki gunung Slamet dan menjadi salah satu tempat wisata andalan kabupaten Banyumas saat ini ternyata hanya meneruskan saja dari upaya pemerintah Hindia Belanda dalam membuat tempat wisata. Pemandangan indah air terjun Baturraden merupakan pemandangan alami yang masih bisa kita nikmati hingga sekarang. Pembangunan lokawisata Baturraden sudah di lakukan sejak tahun 1914 dimana Kho Han Tiong (Letnan Tionghoa Sokaraja) yang juga merupakan pemilik Nv Ko Lie memberikan sumbangan berupa pembangunan sebuah jembatan yang melintas diatas sungai Gumawang (Jembatan Merah) yang pada awalnya merupakan jembatan satu-satunya di lokawisata Baturraden. Namun jembatan Merah ini pada tahun 1984 sudah di rehab menggunakan dana APBD Banyumas, sehingga bentuk asli jembatan sudah tidak terlihat lagi. Prasasti pembangunan jembatan merah masih tetap terpasang disana meski lokasinya sedikit berbeda dan tidak terawat.


Air terjun Batoerraden di aliran sungai gemawang, 
Fotografisch Atelier O. Hisgen & Co. NV
Sumber Tropen Museum

Hotel Batoerraden
Sebuah hotel bernama Hotel Batoe Raden milik warga Belanda di dirikan di kawasan Baturraden, dan pernah menjadi bangunan dengan posisi paling tinggi di sana, hotel ini juga menjadi salah satu rujukan untuk tamu tamu penting pemerintah untuk menginap di Baturraden. Termasuk salah satunya adalah raja Kasunanan Surakarta Pakubuwono 10 pada saat mengunjungi Banyumas (gabungan Banyumas - Purwokerto) yang menginap disini bersama dengan istri, asisten residen Purwokerto dan residen Banyumas pada tahun 1937.


Hotel Batoe Raden


Aliran Sungai
Lereng gunung Slamet sebelah selatan terdapat ribuan mata air yang akhirnya menjadi hulu dari puluhan sungai yang mengalir melewati Banyumas Purbalingga dan Cilacap. Berikut adalah beberapa sungai dan air terjun (Curug) yang dilewatinya yang bermata air di lereng gunung Slamet sebelah selatan yang berhasil di himpun dari Purbalingga hingga Banyumas. 

Noni-noni Belanda berwisata di curug Tebela Sungai Pelus
sumber Tropen Museum

Curug duwur
sumber Tropen Museum

Curug Ceheng
sumber Tropen Museum

  • Kali Bojo
  • Kali Bangbangan
  • Kali Airtilang
  • Kali Soso
  • Kali Tembelang
  • Kali Urip
  • Kali Rejasa 
  • Kali Tembekor
  • Kali Pring 
  • Kali Paingan (Curug Nini)
  • Kali Lembarang (Curug Penganten, Curug Kembar, Curug Duwur, Curug Cingongah)
  • Kali Lutung
  • Kali Longkrong 
  • Kali Siwarak 
  • Kali Kajar 
  • Kali Candiwulan
  • Kali Gemuruh 
  • Kali PonggawaBerta 
  • Kali Berem 
  • Kali Pangkon (Curug Ceheng)
  • Kali Deku 
  • Kali Pelus (CUrug Lawang, Curug telu, Curug Tebela, Curug Carang)
  • Kali Lirip 
  • Kali Belot (Curug Belot)
  • Kali Gemawang 
  • Kali Banjaran (Curug penganten, Curug Jenggala, Curug Bayan, Curug Celiling, Curug Gede)
  • Kali Manggis 
  • Kali Logawa (Curug Lima, CUrug Cidadap)
  • Kali Dadap
  • Kali Harus 
  • Kali Surian 
  • Kali Mengaji (Curug Cipendok)
  • Kali Prukut

PLTA Ketenger
NV Electriciteit Maatschappij Banjoemas (EMB) mendapat ijin pembangunan pembangkit listrik tenaga Air (krachtcentrale) pada 3 November 1927 di Ketenger Baturraden untuk mengaliri listrik kawasan Banyumas. Pembangkit ini mengandalkan aliran sungai Banjaran dan sungai Gumiwang yang berhulu di lereng gunung Slamet.

Lereng gunung Slamet sebagai satu-satunya hutan asli (perawan) di pulau Jawa yang belum pernah di eksploitasi sebelumnya bahkan oleh pemerintah Hindia Belanda, karena mereka sangat mengerti bahwa kota-kota di bawahnya seperti Ajibarang, Purwokerto, Baturraden, Sokaraja, Purbalingga dan Bobotsari sangat tergantung terhadap ketahanan air yang diserap oleh hutan lereng gunung Slamet ini. Semoga artikel ini juga dapat menjadi pertimbangan untuk pembangunan Geo Thermal di lereng gunung Slamet yang dampaknya sudah terasa hingga di wilayah kaki gunung Slamet sebelah Selatan.


Wawancara 
- Tekad Santos
- Pardiono (Pekalongan Bojongsari Purbalingga)
- Indra (Cipaku Mrebet Purbalingga)
- Sudir Rahardjo (pensiunan Polisi sektor Serang)
- Margono Sungkowo (Polisi sektor Mrebet)

Sumber pustaka
- Aardrijkskunde Deel 1
- Über einige von F. C, Drescher auf Java gesammelte Calandriden (Col. Curcul.), mit biologischen Angaben
ekliptika.wordpress.com
- Geni.com
- id.wikipedia.org

Picture
- Tropen Museum
Universiteit Leiden
- Billy Kamajaya
- Doc arsip BHHC
- Doc pribadi penulis

Tulisan masih dalam pengembangan
kritik saran penulis nantikan
jatmikow@banjoemas.com

Tidak disarankan copy dan upload lagi di web/blog/kaskus/medsos

Minggu, 01 Januari 2017

Kepengurusan BHHC

Sesuai dengan rapat pengurus pada tanggal 10 Agustus 2017 
tentang kepengurusan Banjoemas History Heritage telah 
memutuskan susunan kepengurusan yang baru

Ketua
Rizky Dwi Rahmawan
Bendahara
Pertiwi Abdi
Sekertaris 
Gerry Liem

Tim Riset dan Penelitian
Dwi Hatmoko
Faishal Ammar
Jatmiko Wicaksono
Tri Muji Lestari

Bahasa Jawa
Adi Suwarno
Peninggalan Klasik
Dwi Hatmoko
Pengembangan Media
Airlangga Perwira Mulia
Wiwit Yuni Hartono

Koordinator Arsip
Jatmiko Wicaksono
Nurmita Arum Sari
Koordinator Perpustakaan
Fidela
Koordinator Jelajah
Adrian Bagas Dewanta
Agus Ginanjar

Billy Kamajaya

Koordinator Kota Banjarnegara
Dadi prihatin Adi Sarwono  
Koordinator Kota Tambak
Faishal Ammar
Koordinator Kota Banyumas
Koordinator Kota Sumpyuh
Yohanes Dicky  
Koordinator Kota Cilacap
Al Riyadh
Koordinator Kota Sokaraja
Hilmy Nugraha
Koordinator Kota Purbalingga
Anita Ika Cahyani
Atun Rohyat
Koordinator Kota Majenang
Imam Hamidi Antasalam
Koordinator Kota Purwokerto
Primas Swadyana Adi
Pertiwi Abdi

Bagian Media (Radio)
 Gery Liem
Bagian Media (Cetak)
Nugroho Pandhu Sukmono




 

Kamis, 03 November 2016

Temu Komunitas Sejarah se Indonesia 2016

Temu Komunitas Sejarah se- Indonesia 2016
Yogyakarta - Borobudur (Magelang)
bersama Borobudur Youth Forum 2016 dan Komunitas Night at the Museum
27 - 31 Oktober 2016


Dengan tema "Berkolaborasi Mencegah Lupa" kegiatan yang di selenggarakan oleh komunitas Night at the Museum ini adalah sebuah kolaborasi antara komunitas pecinta sejarah di daerah-daerah di seluruh Indonesia yang  untuk gerakan mencegah masyarakat dari lupa akan sejarah. Kegiatan ini juga menegaskan posisi komunitas sejarah sebagai garda terdepan dalam mengawal pengetahuan sejarah dan pelestarian warisan budaya di masyarakat. Dalam kegiatan ini peserta dalam hal ini pegiat sejarah yang tergabung dalam komunitas untuk menghasilkan produk-produk tulisan sejarah yang dapat berkontribusi besar bagi pengembangan kesejarahan lokal sebagai pendukung sejarah Nasional dan pelestarian warisan budaya.


 Peserta berfoto bersama di pelataran Hotel Sentong Asri Mbudur


Kegiatan yang di laksanakan di Balai Konservasi Borobudur (BKB) ini juga mempertemukan Komunitas-komunitas Sejarah dengan Borobudur Youth Forum 2016 (BYF2016) yang digagas oleh Balai Konservasi Borobudur dalam rangka melibatkan generasi muda sebagai upaya pelestarian Candi Borobudur. BYF 2016 merupakan agenda tahunan setelah sukses diadakannya BYF 2015 pada Juni tahun Lalu. 

Agenda kegiatan yang juga bertepatan dengan peringatan 25 tahun Candi Borobudur sebagai warisan dunia dan 88 tahun Sumpah Pemuda (hari Sumpah Pemuda) ini adalah pemaparan materi oleh  Kepala BKB Bapak Marsis Sutopo tentang kebijakan pemerintah dalam pelestarian cagar budaya, Bapak Hari Setyawan (pelestarian Candi Borobudur dan statusnya sebagai warisan dunia), Mas Elanto Wijoyono (optimalisasi pemanfaatan sumberdaya sejarah dan budaya untuk komunitas), serta Mas Gary Youidan Herlambang yang menyampaikan promosi melalui website maupun medsos.


 Pembukaan acara di Balai Pelestarian Borobudur

 Ibu Isni Wahyuningsih, Erwin Djunaedi, Bapak Marsis Sutopo, Mas Elanto Wijoyono, Mas Gary Youidan Herlambang Bapak Hari Setyawan


Mas Elanto sedang berperan sebagai sutradara 

Peserta kegiatan berfoto di aula Balai Kosnserfasi Borobudur

Sharing komunitas sebagai ajang saling berbagi informasi antar komunitas dilaksanakan pada Jumat Malam dan Sabtu Malam. Semua komunitas yang hadir memaparkan profil dan kegiatan kominitasnya secara bergantian dan membuka sesi tanya jawab. Kegiatan ini juga menjadi wawasan tersendiri untuk peserta BYF2016 (non komunitas). Karena pengalaman-pengalaman peserta Komunitas yang dipaparkan oleh setiap komunitas adalah pengalaman nyata yang terjadi di setiap daerah yang belum tentu terjadi di daerah lainnya. 

 Sharing komunitas yang di gelar di pendopo Pondok Tingal


 Jatmiko Wicaksono perwakilan BHHC sedang memaparkan profil dan kegiatan BHHC 


Jatmiko Wicaksono perwakilan BHHC sedang menjawab pertanyaan peserta


Erwin Djunaedi, Jatmiko W (BHHC), Abel (Kampung Salatiga)


 Erwin Djunaedi, Saiful Iskandar (Sahabat Museum Banten), JENANK, Arya (RCC), Lengkong Sanggar (Kopikola)


Erwin Djunaedi, Supangat (Museum 13), 


Erwin Djunaedi, Rosalia (Madya), Andika (Wonosobo Heritage), Edwin Daru (BKMS)


Erwin Djunaedi, Putu Anggita (Ikatan Duta Museum YK), Andre (Tjimahi Heritage)

Peserta kegiatan pada hari ke-2 diajak untuk merancang poster-poster atau media propaganda pelestarian Candi Borobudur yang nantinya digunakan oleh peserta kegiatan untuk mengkampanyekan langsung kepada pengunjung Candi Borobudur. Kegiatan ini secara tidak langsung mengajak peserta untuk berfikir bagaimana mengkomunikasikan bentuk bentuk pesestarian dan teks yang di gunakan. Sepuluh media propaganda mengenai pelestarian akhirnya bisa diselesaikan oeleh sepuluh kelompok yang di bentuk.



Pengarahan peserta oleh mbak Samantha


 Pembuatan materi propaganda 


Kelompok 9 dan mbak Samantha (@malamuseum)


Sesuai agenda yang telah di susun sebelumnya, peserta gegiatan juga menyusun sebuah deklarasi yang berjumlah tujuh poin ungkapan hati Pemuda Pelestari Cagar Budaya Indonesia atau Sapta Sidhikara. Yang kemudia di deklarasikan di pelataran Candi borobudur tepat jam 12 siang di depan pewarta Nasional dan Lokal. Deklarasi Sapta Sidhikara kemudian diikuti dengan aksi kampanye pelestarian Bangunan Cagar Budaya candi Borobudur dan bersih-bersih candi Borobudur yang di arahkan oleh Koordinator Pokja Pelayanan Masyarakat, Balai Konservasi Borobudur Ibu Isni Wahyuningsih di titik yang sudah di siapkan oleh pihak BKB. 


 Deklarasi Sapta Sidhikara oleh Pemuda Pelestari Cagar Budaya Indonesia
(Foto oleh metrojateng.com)

 Kampanye pelestarian kepada pengunjung Candi Borobudur

Bersih-bersih candi Borobudur


Di hari yang sama peserta juga secara bergilir mengunjungi Museum Konservasi Borobudur dan penonton filem konservasi Borobudur di studio mini.



Peserta berada di Museum konservasi Borobudur

Peserta berada di dalam Museum konservasi Borobudur

Peserta berfoto bersama di sela-sela kegiatan

Kegiatan ini juga masih berlangsung hingga 1 November 2016 namun penulis harus meninggalkan acara lebih awal karena adanya kegiatan lain di luar gegiatan ini. Saya atas nama Banjoemas History Heritage Community mengucapkan banyak terimakasih kepada penyelenggara Night at the Museum, Balai Konservasi Borobudur, Hotel Senthong Asri, Pondok Tingal dan para donatur untuk keberangkatan penulis.


Rabu, 12 Oktober 2016

Melacak Jejak Kungfu Tradisional di Indonesia (Segera Terbit)

banjoemas.com


Penulis; Alex, Charly, Erwin (ACE)

Penerbit; SHB (Sinar Harapan Bangsa)
Editor ; Tim ACE & tim SHB
Tanggal terbit; September 2016
Jumlah Halaman; 1648++
Jenis Cover; Hard Cover
Text Bahasa; Indonesia
Kategori; Sejarah
Harga kisaran; Rp. 500.000, - Rp. 600.000, 
Rp. 400.000, Pre order  (November)
 Buku sudah di jual di Gramedia
Saat membaca buku “Melacak Jejak Kungfu Tradisional di Indonesia” yang disusun oleh Team ACE ini, akan membuat kita bernostalgia tentang kondisi Indonesia tempo doeloe sekaligus mengajak pembacanya terbawa dalam romantika dunia kang-ouw alias rimba persilatan di Indonesia.  Pembaca juga akan dimanjakan dengan berbagai bahan dan foto langka yang selama ini hampir tak pernah muncul ke permukaan.

     Seperti yang dituturkan oleh Prof. Dr. Leo Suryadinata dalam bagian Kata Pengantar-nya yang dimuat dalam buku ini, tak banyak dokumentasi / penulisan mengenai tokoh-tokoh silat Tionghoa di Indonesia.  Walaupun cerita-cerita silat Tionghoa (wuxia xiaoshuo 武侠小说) dalam bahasa Melayu cukup populer sejak akhir abad ke-19, dan terus berkembang hingga abad ke-20, tepatnya sekitar tahun 1960-an, namun cerita-cerita tersebut berkisah mengenai para tokoh-tokoh dunia persilatan di daratan Tiongkok, dimana banyak dari tokoh-tokoh tersebut merupakan tokoh khayalan, sesuai peruntukan penerbitan bacaan silat pada zaman itu yaitu sebagai bacaan hiburan, tidak dimaksudkan sebagai dokumentasi.
     Atas dasar itu, patutlah diberikan apresiasi bagi karya Team ACE ini, dimana seperti tercantum dalam bukunya, nama ACE sendiri merupakan singkatan dari nama para penulisnya yaitu : Alex, Charly, Erwin.  Hasil kerja keras mereka dalam menyusun buku ini selama lebih dari 3 tahun bisa dibilang cukup fenomenal karena menjadi salah satu buku pertama yang bertemakan dokumentasi para tokoh pendekar kungfu tradisional Tionghoa di Indonesia yang cukup lengkap.
Ketika membaca buku ini bagian demi bagian, para pembaca terutama peminat beladiri kungfu di Indonesia akan terbuai dan tertarik untuk terus membaca buku yang tebalnya mencapai 1.600 halaman ini hingga selesai.  Hal ini selain disebabkan oleh kisah-kisah mengagumkan para pendekar di dalamnya, juga karena banyaknya foto-foto langka dari para tokoh tersebut, meskipun tak semua tokoh tercantum fotonya.
     Saat mengupas kisah-kisah para pendekar / tokoh kungfu tradisional, team ACE memiliki format yang serupa pada hampir setiap babnya, pertama adalah latar belakang atau kisah seputar sang tokoh, karakteristik kungfu, kisah-kisah mengenai keluarga, murid, cucu, atau pihak-pihak lain yang dijadikan nara sumber.  Selain itu masih ditambah juga dengan kisah-kisah heroik (seperti kisah pertarungan) atau kisah-kisah unik seputar kehidupan sang tokoh (seperti kisah persahabatan para tokoh).  Beberapa bab juga ditambahkan bagian artefak yang menampilkan benda-benda berharga peninggalan para tokoh atau keturunannya tersebut.
     Banyak dari nama para tokoh pendekar yang ditampilkan dalam buku ini mungkin masih asing di telinga pembaca seperti Oey Teng Tjong, Tan Kai Tjok, Oey Bie Dhian, Siauw A Tok, Encek Rebo, Encek Minggu, Sinshe Loo, dan lain sebagainya, padahal nama-nama tersebut cukup terkenal di zamannya serta tak sedikit dari mereka yang turut andil dalam melawan penjajah di daerah masing-masing saat Indonesia masih berusaha meraih kemerdekaannya.  Tentu saja selain nama-nama tokoh yang masih asing, ada juga nama tokoh pendekar kungfu yang cukup dikenal di kalangan masyarakat Tionghoa pada umumnya dan masyarakat beladiri pada khususnya, misalnya nama Sinshe Lo Ban Teng, Ji Xiao Fu, Ong Cu Kiu, Lie Tjhing Yan, Liem Khee In, Louw Djeng Tie, dan lain sebagainya.


Louw Djeng Tie, 
pendekar Parakan Temanggung

     Sebagai buku dokumentasi yang pertama kali membahas mengenai para tokoh pendekar kungfu tradisional di Indonesia, amat wajar jika masih ditemui ‘kekurangan’ disana-sini pada buku ini, misalnya belum adanya pemisahan jelas tokoh-tokoh pendekar yang hidup pada zaman dulu (era 1800-1900an) dengan tokoh kungfu generasi selanjutnya (era setelah kemerdekaan Republik Indonesia), sehingga tokoh-tokoh tersebut masih tercampur baur.  Selain itu buku ini juga tidak memisahkan para tokoh berdasarkan aliran kungfu mereka, sehingga tak jarang pembaca perlu mencari lebih lanjut mengenai tokoh tersebut.   Hal-hal semacam ini tentunya dapat dimaklumi karena para penulis memang bukan berasal dari pihak akademisi dan juga tidak berlatar belakang di bidang sejarah maupun sastra.  Toh, ‘kekurangan’ tersebut tidak mengurangi keasyikan membaca buku ini.
     Pertama kali melihat tingkat ketebalan dan ukuran dimensi buku ini sendiri awalnya dapat membuat pembaca cukup ‘kewalahan’.  Namun setelah mengupas halaman demi halaman, tanpa sadar buku ini dapat ‘menyihir’ pembacanya untuk tanpa sadar melupakan rasa ‘kewalahan’ akan tebal dan ukuran buku ini.
Walaupun mengupas kungfu tradisional Tionghoa, buku ini tidak bersifat eksklusif serta tidak menganaktirikan pembaca non-Tionghoa.  Hampir setiap istilah berbahasa Tionghoa baik dalam dialek lokal, Hokkian atau Mandarin dijelaskan dengan baik oleh penulisnya pada bagian catatan kaki, kecuali untuk istilah yang mungkin sudah dianggap umum atau ‘merakyat’ di Indonesia.  Bagi pembaca yang penasaran mengenai cerita tentang suatu nama, tempat, kejadian atau objek sejarah tertentu, juga diajak untuk mendalami lebih jauh melalui penjelasan yang cukup detil pada bagian catatan kaki.
     Ada hal unik yang cukup menarik pada buku ini yaitu terdapatnya kisah-kisah mengenai pendekar kungfu wanita di Indonesia, yang bisa dibilang namanya nyaris tak pernah terdengar.  Dalam bagian ini pihak penulis seakan ingin menunjukkan bahwa kungfu bukan hanya milik gender laki-laki saja.
Bagian yang membahas berbagai perkumpulan Tionghoa juga amat menarik dan dilengkapi dengan foto-foto yang cukup langka bahkan bisa dibilang ‘temuan baru’ di bidang pembahasan organisasi tradisional Tionghoa.  Selain itu pembaca masih terus dijamu dengan berbagai kisah mengenai para pendekar dari seantero Indonesia pada bagian Trivia.  Tak cukup sampai disitu, pembaca masih dimanjakan dengan bonus cerita berupa “Kampung Kungfu di Indonesia Tempo Doeloe” yang secara khusus membahas beberapa daerah di Indonesia yang pada zamannya dulu seakan menjelma menjadi dunia kang-ouw karena dipenuhi oleh para pendekar kungfu.
     Sebagai kalimat penutup, buku luar biasa yang menurut beberapa pihak dapat diibaratkan “Etalase Kungfu Tradisional di Indonesia” ini sangat layak untuk dikoleksi bahkan dapat juga dijadikan sebagai bahan penelitian bagi para peminat seni beladiri dan budaya tradisional Tionghoa di Indonesia.Terlepas dari kontroversi yang mungkin timbul seperti layaknya dunia kang-ouw yang sering mengalami kehebohan, yang pasti sumbangsih buku ini sebagai catatan penting mengenai kungfu tradisional Tionghoa di Indonesia untuk generasi berikutnya amat besar dan patut dipuji.


#kiongtjhioe


    


Kamis, 28 April 2016

Kuburan Belanda Purwokerto

Kerkhof di Poerwokerto

Kota baru Purwokerto yang di bangun oleh Belanda sejak dijadikan ibukota Regentschaap (Kabupaten) pada tahun 1836 menjadikan kota ini dipenuhi oleh orang orang Eropa. Terlebih lagi setelah masa mailese yang menyebabkan digabungkannya kabupaten Purwokerto dengan kabupaten Banyumas pada tahun 1937. Kota Purwokerto menjadi kota yang super sibuk sebagai ibukota kabupaten Banyumas sekaligus ibukota karsidenan Banyumas. Kota Purwokerto juga di lalui oleh dua maskapai kerta api yang saling terhubung satu sama lain yaitu Serajoedal Stoomtram Maatscappij yang di bangun pada tahun 1896 dan Staats Spoorwegen yang baru di bangun pada tahun 1917, menjadikan kota Purwokerto sebagai kota transit. Banyaknya sekolah-sekolah dan fasilitas-fasilitas lain yang lebih lengkap dari kota kota lain di karsidenan Banyumas membuat kota Purwokerto semakin ramai.

Orang-orang Eropa yang telah turun-temurun dan atau tinggal karena masa jabatan di Purwokerto juga banyak yang meninggal dan di kuburkan di Purwokerto. Di Purwokerto terdapat sebuah Kerkhof atau kuburan Belanda yang saat ini keberadaannya sangat memperihatinkan karena bekas tanah kuburan yang menjadi tanah "mati" sekarang banyak di pakai warga di daerah Pasirmuncang untuk dijadikan pemukiman. Dari puluhan kuburan yang pernah ada hanya beberapa kuburan saja yang masih bisa terlihat dan terawat.

Kuburan Belanda ini masuk sebagai wilayah kelurahan Tanjung kecamatan Purwokerto Selatan. Saat ini kuburan Belanda bisa dikunjungi namun lokasi sudah bercampur dengan pemukiman. Pada awal tahun 1980 an banyak masyarakat yang datang dan mendirikan bangunan di atas Kerkhof, sehingga saat ini sudah hampir 80 % dari kerkhof sudah berganti dengan bangunan rumah dan hanya menyisakan 5 % kuburan (nisan) yang tersisa. Selebihnya adalah lapangan dan fasilitas umum.


banjoemas.com
Pada peta lama Purwokerto Kerkhof terletak antara Pasirmuncang dan Tanjung


banjoemas.com
Pada peta Purwokerto sekarang bahwa taman makam pahlawan Purwokerto
berada di samping kerkhof  

banjoemas.com

Ilustrasi keberadaan nisan-nisan yang masih ada dan bisa di kunjungi


banjoemas.com
(1 & 2) Makam P. J. Tadema dan istrinya


P.J. Tadema (Petrus Jacobus) lahir 31 Mei 1898 - meninggal 5 Agustus 1969 dan Th. U. de Mey lahir 10 Desember 1909 - meninggal (tidak jelas). P.J. Tadema adalah pemilik "Villa Krandji" yang pada jaman pemerintahan Hindia Belanda di belakang terdapat perusahaan susu miliknya.

T.U. de Mey (Theresia Undina) (Meij) lahir di Semarang 10-12-1905 merupakan istri ke dua. Istri pertamanya bernama Elisabeth Müller namun penulis belum mendapatkan informasi lain.

Villa Krandji, sebelumnya dimiliki oleh G.J.H. Heezemans seorang pengusaha otomotif dan bengkel, dan setelah bangkrut rumahnya di tempati oleh P.J. Tadema dan istri. Setelah meninggal Villa Krandji dibeli oleh keluarga Arab yang kemudian dijadikan workshop batik.


banjoemas.com
(3) Makam J.W. van Dapperen


banjoemas.com
Advertentie De Maasbode 15-10-1937

J.W. van Dapperen (seorang administratur pabrik gula yang lama) lahir di Harleem 25 Agustus 1869 - meninggal di Baturraden 14 Oktober 1937. J.W. van Dapperen beristrikan seorang Jawa bernama Raden Roro Sudarminah. Van Dapperen pernah menuliskan beberapa buku mengenai flora dan fauna di wilayah gunung Slamet. Silsilah keluarga  J.W. van Dapperen.


banjoemas.com
(7) Makam J.P. Dom dan istri (info dari juru kunci makam)
banjoemas.com
Foto J.P. Dom dan istri 

banjoemas.com
Advertentie De Telegraaf 08-09-1936

J.P. Dom atau Johannes Pieter Dom Junior adalah Asisten Residen Purwokerto pada masa residen E.W.H. Doeve masa kerja 1913 - 1916. J.P. Dom adalah Assisten residen pertama keturunan indo Jawa Belgia di karsidenan Banyumas, karena ibunya Raden Nganten Sastropermadi adalah keturunan bupati Purwokerto Mertadireja II dengan seorang Belgia bermarga DomJohannes Pieter Dom Junior kemudian menikahi Maria van Vugt seorang wanita Belanda keturunan Willem Frederik van Vugt dan Anna Charlotte Boudriot (berdarah Iran - Belanda). Setelah mengundurkan diri sebagai asisten residen J.P. Dom dan istrinya tetap tinggal di Purwokerto, hingga J.P. Dom meninggal pada 7 September 1936 dalam usia 69 tahun (De Telegraaf 08 September 1936). Pasangan suami istri ini kemudian di makamkan berdampingan di kerkhof Purwokerto. 

Pada tahun 2016 kuburan mereka sempat dirusak oleh warga bahkan diatasnya dibangun sebuah warung makan, namun setelah ada komunikasi antara keluarga dan warga kuburan itu diperbaiki dan dikembalikan ke kondisi semua.
E.W.H. Doeve (1913 - 1916) yang mengundurkan diri pada tahun 1915 (Locale Belangen 16 Oktober 1915) 

banjoemas.com
(4) Latumahina dan istrinya

Bapak Latumahina dan Ibu Latumahina meninggal pada 19 Januari 1971. Latumahina dimungkinkan adalah seorang dokter pada rumah sakit Zending (RS Lama Purwokerto).


banjoemas.com
(5) Christina Elizabeth Hukom Aponno

Christina Elizabeth Hukom Aponno lahir 14 Februari 1889 - meninggal 26 Juni 1940. Tidak ditemukan jejaknya namun  Christina tercatat dalam daftar nama Naturalisasi pada tahun 1931 di naturalisaties.decalonne.nl




banjoemas.com
(6) Makam tidak teridentifikasi

banjoemas.com
(8) Makam tidak terientivikasi, Denny Purnomo (tim BHHC) bersama warga 

banjoemas.com
(9 & 10) Dua makam tidak teridentifikasi, 
satunya hanya terlihat semacam pondasi di sampingnya 

banjoemas.com
(11) Makam dibawah pondasi rumah

banjoemas.com
(12) Makam kecil tidak teridentifikasi

banjoemas.com

Sisa-sisa makam berserakan di beks kerkhof

banjoemas.com
Sisa-sisa tegel makam yang masih bisa di dapati di permukaan tanah


Sebagai salah satu bentuk peninggalan bersejarah kuburan/makam Belanda ini  seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk tetap mempertahankan sisa-sisa kuburan Belanda sebagai bukti bahwa di kota Purwokerto pernah di jajah dan ditinggali oleh orang-orang Eropa.

Terimakasih kepada juru kunci Kerkhof bapak Kartadimeja (alm.) dan warga yang menempati tanah kerkhof Purwokerto yang telah memberikan informasi. Kami juga menyampaikan banyak terimakasih kepada mas Gorba Dom, bapak Pieter Dom dan juga pak Eman Katamsi

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie 07-09-1936
Het Vaderland  staat- en letterkundig nieuwsblad 07-09-1936
De Telegraaf 08-09-1936
Het volk  dagblad voor de arbeiderspartij 27-08-1932
De Maasbode 15-10-1937
Reggeringsalmanak 02 01 1913 (dalam dr. Soedarmadji 2016)
commons.wikimedia.org

Tim Blusukan 11 Januari 2015
- Denny Purnomo (Gan Liang An)
- Jatmiko Wicaksono

Terimakasih pada pak Hans www.imexbo.nl

Artikel ini dipublikasikan pada tanggal 28/04/2016
Direvisi pada tanggal 31/07/2018