Tampilkan postingan dengan label Resensi Buku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Resensi Buku. Tampilkan semua postingan

Rabu, 12 Oktober 2016

Melacak Jejak Kungfu Tradisional di Indonesia (Segera Terbit)

banjoemas.com


Penulis; Alex, Charly, Erwin (ACE)

Penerbit; SHB (Sinar Harapan Bangsa)
Editor ; Tim ACE & tim SHB
Tanggal terbit; September 2016
Jumlah Halaman; 1648++
Jenis Cover; Hard Cover
Text Bahasa; Indonesia
Kategori; Sejarah
Harga kisaran; Rp. 500.000, - Rp. 600.000, 
Rp. 400.000, Pre order  (November)
 Buku sudah di jual di Gramedia
Saat membaca buku “Melacak Jejak Kungfu Tradisional di Indonesia” yang disusun oleh Team ACE ini, akan membuat kita bernostalgia tentang kondisi Indonesia tempo doeloe sekaligus mengajak pembacanya terbawa dalam romantika dunia kang-ouw alias rimba persilatan di Indonesia.  Pembaca juga akan dimanjakan dengan berbagai bahan dan foto langka yang selama ini hampir tak pernah muncul ke permukaan.

     Seperti yang dituturkan oleh Prof. Dr. Leo Suryadinata dalam bagian Kata Pengantar-nya yang dimuat dalam buku ini, tak banyak dokumentasi / penulisan mengenai tokoh-tokoh silat Tionghoa di Indonesia.  Walaupun cerita-cerita silat Tionghoa (wuxia xiaoshuo 武侠小说) dalam bahasa Melayu cukup populer sejak akhir abad ke-19, dan terus berkembang hingga abad ke-20, tepatnya sekitar tahun 1960-an, namun cerita-cerita tersebut berkisah mengenai para tokoh-tokoh dunia persilatan di daratan Tiongkok, dimana banyak dari tokoh-tokoh tersebut merupakan tokoh khayalan, sesuai peruntukan penerbitan bacaan silat pada zaman itu yaitu sebagai bacaan hiburan, tidak dimaksudkan sebagai dokumentasi.
     Atas dasar itu, patutlah diberikan apresiasi bagi karya Team ACE ini, dimana seperti tercantum dalam bukunya, nama ACE sendiri merupakan singkatan dari nama para penulisnya yaitu : Alex, Charly, Erwin.  Hasil kerja keras mereka dalam menyusun buku ini selama lebih dari 3 tahun bisa dibilang cukup fenomenal karena menjadi salah satu buku pertama yang bertemakan dokumentasi para tokoh pendekar kungfu tradisional Tionghoa di Indonesia yang cukup lengkap.
Ketika membaca buku ini bagian demi bagian, para pembaca terutama peminat beladiri kungfu di Indonesia akan terbuai dan tertarik untuk terus membaca buku yang tebalnya mencapai 1.600 halaman ini hingga selesai.  Hal ini selain disebabkan oleh kisah-kisah mengagumkan para pendekar di dalamnya, juga karena banyaknya foto-foto langka dari para tokoh tersebut, meskipun tak semua tokoh tercantum fotonya.
     Saat mengupas kisah-kisah para pendekar / tokoh kungfu tradisional, team ACE memiliki format yang serupa pada hampir setiap babnya, pertama adalah latar belakang atau kisah seputar sang tokoh, karakteristik kungfu, kisah-kisah mengenai keluarga, murid, cucu, atau pihak-pihak lain yang dijadikan nara sumber.  Selain itu masih ditambah juga dengan kisah-kisah heroik (seperti kisah pertarungan) atau kisah-kisah unik seputar kehidupan sang tokoh (seperti kisah persahabatan para tokoh).  Beberapa bab juga ditambahkan bagian artefak yang menampilkan benda-benda berharga peninggalan para tokoh atau keturunannya tersebut.
     Banyak dari nama para tokoh pendekar yang ditampilkan dalam buku ini mungkin masih asing di telinga pembaca seperti Oey Teng Tjong, Tan Kai Tjok, Oey Bie Dhian, Siauw A Tok, Encek Rebo, Encek Minggu, Sinshe Loo, dan lain sebagainya, padahal nama-nama tersebut cukup terkenal di zamannya serta tak sedikit dari mereka yang turut andil dalam melawan penjajah di daerah masing-masing saat Indonesia masih berusaha meraih kemerdekaannya.  Tentu saja selain nama-nama tokoh yang masih asing, ada juga nama tokoh pendekar kungfu yang cukup dikenal di kalangan masyarakat Tionghoa pada umumnya dan masyarakat beladiri pada khususnya, misalnya nama Sinshe Lo Ban Teng, Ji Xiao Fu, Ong Cu Kiu, Lie Tjhing Yan, Liem Khee In, Louw Djeng Tie, dan lain sebagainya.


Louw Djeng Tie, 
pendekar Parakan Temanggung

     Sebagai buku dokumentasi yang pertama kali membahas mengenai para tokoh pendekar kungfu tradisional di Indonesia, amat wajar jika masih ditemui ‘kekurangan’ disana-sini pada buku ini, misalnya belum adanya pemisahan jelas tokoh-tokoh pendekar yang hidup pada zaman dulu (era 1800-1900an) dengan tokoh kungfu generasi selanjutnya (era setelah kemerdekaan Republik Indonesia), sehingga tokoh-tokoh tersebut masih tercampur baur.  Selain itu buku ini juga tidak memisahkan para tokoh berdasarkan aliran kungfu mereka, sehingga tak jarang pembaca perlu mencari lebih lanjut mengenai tokoh tersebut.   Hal-hal semacam ini tentunya dapat dimaklumi karena para penulis memang bukan berasal dari pihak akademisi dan juga tidak berlatar belakang di bidang sejarah maupun sastra.  Toh, ‘kekurangan’ tersebut tidak mengurangi keasyikan membaca buku ini.
     Pertama kali melihat tingkat ketebalan dan ukuran dimensi buku ini sendiri awalnya dapat membuat pembaca cukup ‘kewalahan’.  Namun setelah mengupas halaman demi halaman, tanpa sadar buku ini dapat ‘menyihir’ pembacanya untuk tanpa sadar melupakan rasa ‘kewalahan’ akan tebal dan ukuran buku ini.
Walaupun mengupas kungfu tradisional Tionghoa, buku ini tidak bersifat eksklusif serta tidak menganaktirikan pembaca non-Tionghoa.  Hampir setiap istilah berbahasa Tionghoa baik dalam dialek lokal, Hokkian atau Mandarin dijelaskan dengan baik oleh penulisnya pada bagian catatan kaki, kecuali untuk istilah yang mungkin sudah dianggap umum atau ‘merakyat’ di Indonesia.  Bagi pembaca yang penasaran mengenai cerita tentang suatu nama, tempat, kejadian atau objek sejarah tertentu, juga diajak untuk mendalami lebih jauh melalui penjelasan yang cukup detil pada bagian catatan kaki.
     Ada hal unik yang cukup menarik pada buku ini yaitu terdapatnya kisah-kisah mengenai pendekar kungfu wanita di Indonesia, yang bisa dibilang namanya nyaris tak pernah terdengar.  Dalam bagian ini pihak penulis seakan ingin menunjukkan bahwa kungfu bukan hanya milik gender laki-laki saja.
Bagian yang membahas berbagai perkumpulan Tionghoa juga amat menarik dan dilengkapi dengan foto-foto yang cukup langka bahkan bisa dibilang ‘temuan baru’ di bidang pembahasan organisasi tradisional Tionghoa.  Selain itu pembaca masih terus dijamu dengan berbagai kisah mengenai para pendekar dari seantero Indonesia pada bagian Trivia.  Tak cukup sampai disitu, pembaca masih dimanjakan dengan bonus cerita berupa “Kampung Kungfu di Indonesia Tempo Doeloe” yang secara khusus membahas beberapa daerah di Indonesia yang pada zamannya dulu seakan menjelma menjadi dunia kang-ouw karena dipenuhi oleh para pendekar kungfu.
     Sebagai kalimat penutup, buku luar biasa yang menurut beberapa pihak dapat diibaratkan “Etalase Kungfu Tradisional di Indonesia” ini sangat layak untuk dikoleksi bahkan dapat juga dijadikan sebagai bahan penelitian bagi para peminat seni beladiri dan budaya tradisional Tionghoa di Indonesia.Terlepas dari kontroversi yang mungkin timbul seperti layaknya dunia kang-ouw yang sering mengalami kehebohan, yang pasti sumbangsih buku ini sebagai catatan penting mengenai kungfu tradisional Tionghoa di Indonesia untuk generasi berikutnya amat besar dan patut dipuji.


#kiongtjhioe


    


Sabtu, 29 Oktober 2011

Penaklukan Pulau Jawa

purwokertoheritage







Penulis; Major William Thorn
Penerbit; Elex Media Komputindo
Tanggal terbit; Maret - 2011
Jumlah Halaman; 436
Jenis Cover; Soft Cover
Kategori; Sejarah Indonesia
Text Bahasa; Indonesia


SINOPSIS BUKU
Peperangan era Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte (1799-1815) mengubah wajah dunia ketika itu, khususnya di Benua Eropa.
Perang itu sebetulnya bersifat kontinental, karena berlangsung di Benua Eropa, tapi kemudian merembet ke daerah-daerah koloni masing-masing negara yang terlibat, salah satunya Hindia Belanda (Jawa).
Inggris saat itu adalah lawan yang paling tangguh bagi Prancis, terutama armada lautnya. Bahkan, Inggrislah kemudian yang mengakhiri kekuasaan Napoleon pada 18 Juni 1815 dalam pertempuran Waterloo.
Pasukan Inggris di bawah kepemimpinan Lord Minto dan Letnan Jenderal Sir Samuel Auchmuty juga yang mengakhiri kekuasaan Prancis di Jawa. Jawa sebelumnya merupakan bagian dari koloni Belanda, tapi setelah Belanda dikuasai Prancis, kekuasaan atas Jawa pun berpindah ke tangan Prancis.
Prancis kemudian menunjuk Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Ia memerintah di sana dari 1808-1811.
Secara keseluruhan, Jawa diambil alih Inggris melalui pertempuran yang sengit di beberapa tempat, seperti di Batavia, Yogyakarta, Semarang, Surabaya hingga Madura.
Buku karya William Thorn ini merekam cukup detail penaklukan Jawa oleh Inggris, karena ia adalah salah satu tentara Inggris dengan pangkat Brigadir Mayor pada divisi pimpinan Sir Robert Rollo Gillespie.
Sebelum ekspedisi ke Jawa, Thorn berpangkat letnan dan terdaftar sebagai pasukan Light Dragoon ke-29 di India selama perang Maratha tahun 1803-1805, dan ikut terlibat dalam penaklukan Aligarth, Delhi, dan Agra tahun 1803.
Ia juga ikut dalam penyergapan Bharatpur pada 1805. Pada 1807, Thorn dipromosikan sebagai kapten dan diangkat sebagai brigadir mayor, ditempatkan di pangkalan militer di Bangalore.
Ia juga berpartisipasi dalam penaklukan Mauritius pada 1810. Thorn meninggal pada 29 November 1843, di Neuwied, yang terletak di Sungai Rhine, setelah menyatakan pensiun pada 1825.
Dalam buku yang selesai ditulis pada 1813 dan diterbitkan pada 1815 di London, Thorn tidak hanya mencatat jalannya peperangan yang terjadi di Jawa, terutama, yang kemudian berlanjut ke wilayah-wilayah lainnya, seperti Sumatera (Palembang), Kalimantan (Banjarmasin), Sulawesi (Makassar), hingga Maluku (Ambon).
Ia juga mencatat cukup detail kondisi sosiokultural masyarakat setempat. Tentang pola hidup masyarakat, kondisi lingkungan (iklim), mata pencarian, struktur pemerintahan hingga tingkat bawah warisan Belanda, kota-kota, jalan-jalan, dan sungai-sungainya.
Sebagian besar catatan itu mulanya ditulis Thorn untuk kepentingan militer Inggris, misalnya untuk mengetahui lokasi-lokasi benteng pertahanan, pos-pos militer, kota-kota, dan pangkalan-pangkalan militer, lengkap dengan peta grafisnya.
Tapi, Thorn kemudian melengkapinya dengan catatan-catatan lainnya. Thorn ini semasa dengan Sir Thomas Stamford Bingley Raffles yang mulai 1811 menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda setelah Jawa berhasil ditaklukkan.
Seperti halnya Thorn, Raffles juga penulis buku tentang Jawa. Namun, bukunya yang berjudul History of Java baru terbit pada 1817, dua tahun setelah buku Thorn ini terbit.
Seluruh penduduk Pulau Jawa dalam catatan Thorn ketika itu diperkirakan berjumlah 5 juta jiwa. Orang-orang pribumi bisa dikelompokkan berada dalam dominasi orang-orang Jawa dan orang-orang Melayu. Orang-orang Eropa terhitung sedikit, seperti halnya China dan Arab.
Orang-orang Melayu dikenal nekat dan suka merantau karena watak mereka yang gemar menjarah, berperang, dan melaut. Mereka ini, menurut Thorn, umumnya lamban, tapi juga di saat bersamaan grasak-grusuk, pendendam, dan pemberontak, serta tidak bisa dipercaya (hlm 216). Meski begitu, keberanian mereka tidak perlu dipertanyakan lagi. Mereka tidak takut mati.
Dibandingkan dengan etnis Melayu, etnis Jawa jauh lebih banyak. Etnis ini terutama mendiami daerah pedalaman. Secara umum, mereka merupakan penggarap tanah (masyarakat agraris).
Dalam pandangan Thorn, etnis Jawa ini dinilai luar biasa lamban, dan boleh dikatakan tidak ada dorongan positif apa pun, ataupun didorong suatu kebutuhan hidup, ataupun menuntut kesenangan hidup, yang bisa membangkitkan mereka dari kondisi yang apatis itu, yang wajar-wajar saja bagi mereka (hlm 218).
Thorn cukup heran dengan kondisi seperti itu, padahal penguasa mereka (Belanda) dianggap jelas-jelas sangat lalim.
Secara fisik, Thorn melihat etnis Jawa jauh lebih menarik daripada etnis Melayu. Kaum perempuannya juga memiliki bentuk wajah yang lebih menarik dibandingkan perempuan-perempuan Melayu.
Mereka biasanya memakai kebaya dan kain panjang hitam, dengan stagen lebar yang melingkari tubuh, yang berfungsi sebagai pakaian dalam. Kaum laki-lakinya berbaju panjang katun warna hitam, berikut sarung yang diikat di pinggang atau sepasang celana selutut.
Orang-orang dari kelas sosial yang lebih tinggi berdandan dengan kain bermotif, sutra, dan beludru yang sangat mereka sukai berhiaskan sulaman.
Mereka memakainya terutama ketika mendatangi acara-acara perayaan dan acara-acara umum lainnya. Agama mereka umumnya Islam. Namun, untuk etnis Jawa, dalam beberapa hal terjadi percampuran dengan tradisi Hindu (sinkretis).
Buku ini menjadi salah satu rujukan berharga untuk melihat sosiokultural masyarakat Jawa abad ke-19 ketika Jawa dikuasai Inggris, selain tentu saja jalannya perang Inggris di Jawa.
Meski kekuasaan Inggris tidak lama di Jawa, karena seiring kekalahan Napoleon pada 1815, Jawa dan Hindia Belanda secara keseluruhan dikembalikan kepada Belanda, tapi catatan Thorn menjadi peninggalan penting untuk melihat Jawa ketika itu. 

*Peresensi adalah Peneliti Institut Studi Agama Sosial & Politik (Isaspol) Jakarta.